Terik matahari membuat perjalanan ini semakin berat. Waktu menunjukkan pukul 10:12 Wita. Sepertinya waktu istirahat telah berakhir. Saya harus melanjutkan perjalanan menuju ke desa tujuan. Kali ini perjalanan saya menuju ke Desa Rinding Allo Kecamatan Rongkong Kabupaten Luwu Utara. Motor yang terparkir lesu seakan berbisik kepadaku “saya sudah capek bos, lanjut besok yah...”. Wajar saja, perjalanan 2 jam terakhir ini melewati medan yang cukup berat. Sepertinya tak ada tanah datar yang dilewati, hanya tanjakan dan tanjakan. Beruntung cuaca sedang tidak hujan, jadi motor tidak tertanam dalam kubangan lumpur. Hanya saja debu yang beterbangan menghalangi pandangan dan mengganggu pernapasan.
Kondisi jalan membelah hutan tropis, menyisir lereng berbatas jurang dan sungai, melihat keindahan air terjun yang menempel di tebing, barisan sawah terasering yang rapi memapas lereng, rumah-rumah penduduk yang nampak seperti titik putih dari kejauhan dan bertemu dangan kawanan hewan liar penghuni hutan adalah beberapa hal yang membuat saya tidak hentinya berdecak kagum. Jari ini tak henti-hentinya bermain dengan kamera telepon genggam memaksimalkan gambar yang terekam memaksa kemampuan kamera hingga batas terbaiknya agar gambar yang terekam bisa terlihat seperti mata yang memandang ke alam nyata.
Ada saat-saat dimana saya merasa takut untuk melihat beberapa bagian dari daerah yang saya lewati. Kondisi gunungnya yang telah gundul di beberapa bagian akibat pembukaan lahan entah itu untuk sarana pemukiman atau untuk bercocok tanam membuat peluang terjadinya bencana alam terbuka lebar. Namun, Apapun tujuannya, sebaiknya ada upaya edukasi dari pemerintah setempat agar masyarakat bisa mengetahui dan memahami arti pentingnya menjaga ekosistem lingkungan hidup. Misalnya saja dalam bentuk sosialisasi ataupun penyuluhan, agar dampak negatif dari pembukaan lahan tersebut bisa dicegah. Pada prinsipnya pembukaan lahan untuk pemukiman dan bercocok tanam adalah sesuatu yang tidak bisa kita hindari, sebab itu menjadi kebutuhan mendasar sebagai manusia dan sebagai masyarakat petani. Namun terdapat metode-metode yang dapat diterapkan agar dampak pembukaan lahan tersebut bisa diminimalisir atau bahkan dihilangkan. Dalam hal inilah peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk membangun paradigma masyarakat bagaimana mencintai lingkungannya.
Desa diantara Dua Dinding
Waktu menunjukkan pukul 12:13 Wita. Tanjakan yang saya lewati terasa panjang dengan kondisi mesin motor yang terasa sangat panas akibat silinder yang terpacu lama dengan beban dan track yang nanjak. Sesekali kedua kaki ini harus diturunkan untuk membantu motor berjalan menapaki bebatuan besar yang berserakan di jalan. Setelah empat jam lebih perjalanan dari Kota Masamba dengan perjuangan yang berat saya kemudian memasuki wilayah Desa Rinding Allo. Desa yang diapit oleh dua gunung ini sungguh elok dipandang. Mungkin dari semua tempat yang pernah saya datangi hanya tempat ini dan Danau Sentani di Papua yang membuat saya betah berlama-lama memandanginya.
Rumah-rumah kayu khas Sulawesi berdiri indah di kelilingi petak-petak sawah yang tersusun rapi. Beberapa petani nampak beraktifitas di sawah bersama kerbau dengan tanduknya yang melengkung yang ujungnya nyaris bertemu satu sama lain. Cahaya matahari yang muncul dari celah awan nampak jelas menyinari desa ini. Ibarat lukisan dengan cahaya mataharinya yang menyorot petani di sawah. Jalan-jalan desa nampak jelas menghubungkan dusun satu ke dusun lainnya dan bunga-bunga warna-warni yang tumbuh liar di sekitar jalan menambah khidmat mata ini memandang. Belum lagi kabut tipis yang selalu menutupi dua puncak gunung yang menjadi dinding desa ini.
Desa Rinding Allo secara administratif terletak di Kecamatan Rongkong Kabupaten Luwu Utara. Adapun batas-batas desanya di sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Limbong, sebelah selatan Desa Lodang, sebelah barat Desa Embonatana dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Minanga. Secara morfologi nama Rinding Allo terdiri dari dua suku kata yaitu Rinding yang berarti dinding dan Allo yang berarti Matahari. Secara harfiah kata Rinding Allo berarti 'Dinding Matahari' dan secara maknawi berarti desa yang diapit oleh dua gunung yang cahayanya selalu terhalang baik saat terbit maupun saat terbenam.
Mayoritas penduduk di desa ini bersuku Rongkong. Suku yang masih asing di benak saya mengingat suku-suku yang saya ketahui di Sulawesi Selatan hanya ada Makassar, Bugis, Toraja, Mandar, Luwu, dan Duri. Sewaktu saya berkunjung, desa ini masih dipimpin oleh seorang pejabat sementara sebab kepala desa yang lalu telah lebih dulu wafat. Desa Rinding Allo terdiri dari enam dusun yaitu Dusun Kawalean, Dusun Buntu Malabbi, Dusun Manganan, Dusun Pambuntang, Dusun Salurante dan Dusun Mabusa. Kepala Keluarga di desa ini berjumlah 205 kepala keluarga dan bertani sebagai profesi yang paling dominan hanya sebagian kecil saja yang bekerja sebagai pegawai.
Sawah di desa ini dikelola dengan model terasering dan panen sakali dalam setahun. Hasilnyapun hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga, jika ada lebih, akan dibarter dengan kebutuhan lainnya. Sumber pendapatan lain berasal dari kegiatan Matekke. Matekke adalah kegiatan membawa barang-barang kebutuhan pokok dengan mengunakan kuda untuk di barter di tempat lain. Biasanya orang-orang di desa ini membawanya ke Seko. Barang-barang kebutuhan pokok dibeli di Sabbang, kemudian dengan menggunakan kuda barang-barang tersebut akan diangkut menuju desa ke tetangga untuk dibarter. Barang-barang yang ditukarkan seperti kopi dan kakao dan hasil-hasil kebun lainnya.
Kondisi Sosial Masyarakat
Fasilitas desa terdiri dari Kantor Desa Rinding Allo, Kantor Polisi Sektor Rongkong, Balai Penyuluhan Pertanian dan UPT SD Negeri 060 Manganan. Untuk penerangan, desa ini telah memiliki pembangkit listrik sendiri. Pembangkit listrik tenaga air yang gardu turbinnya berada di Desa Salorante. Pembangkit listrik ini dipasang sekitar tahun 2015. Listrik menyala pada malam hari saja, kecuali untuk hari kamis sore sampai Sabtu pagi. Hal ini sebagai bentuk apresiasi di hari Jumat. Pembayaran listrik dilakukan dengan sistem iuran perbulan sebesar 40 ribu per rumah. Sekolah Dasar di desa ini adalah sekolah induk kecamatan namun kondisi fisiknya masih jauh dari kata layak. Kiranya pemerintah setempat masih perlu meninjau fisik beberapa sekolah yang ada di kecamatan ini dan mungkin juga kecamatan lainnya di Luwu Utara. Selain fisik sekolah, tenaga pengajarpun menjadi persoalan di desa ini. Guru-guru yang berasal dari luar desa dan parahnya berstatus PNS biasanya sering datang telat atau bahkan tidak masuk mengajar dengan berbagai alasan. Beda halnya tenaga pengajar yang tinggal di desa ini dan hanya berstatus sebagai honorer, pagi-pagi mereka sudah harus menuju ke sekolah, jika tidak maka murid-murid yang datang akan kembali pulang ke rumah sebab mereka tidak menemukan guru yang siap mengajar di kelas. Seringkali tenaga pengajar ini (seorang wanita) meninggalkan kewajiban mereka sebagai ibu rumah tangga di pagi hari. Beruntung suami mereka mau mengerti dengan kondisi tersebut. Kecemburuan pasti ada, namun jangan dipandang sebagai percik konflik sosial tapi sebagai cambukan keras bahwasanya keadilan sosial utamanya dalam dunia pendidikan masih jauh api dari panggang. Seharusnya pemerintah pusat lebih bijak melihat situasi seperti ini misalnya dengan memprioritaskan tenaga pengajar yang berdomisili di daerah tersebut. Sebab mereka tidak hanya mengejar gaji semata, namun beban moral untuk memajukan desa mereka melalui pendidikian selalu menghantui dan menjadi api semangat untuk terus bekerja.
Perilaku masyarakat tradisional masih bertahan di desa ini. Matua adalah pemangku adat yang ditunjuk berdasarkan genealogi. Dalam menjalankan tugasnya Matua dibantu oleh dua orang yang masing-masing membidangi pelaksana adat. Pungarong dan To Siaja, adalah dua lembaga adat yang masing-masing memiliki fungsi berbeda. Pungarong berfungsi sebagai lembaga musyawarah yang memutuskan masalah pertanian seperti waktu untuk menanam dan panen. Jadi masyarakat di desa ini tidak sembarangan dalam menanam padi, harus bersamaan dengan waktu yang sudah ditentukan berdasarkan hasil musyawarah. Sedangkan To Siaja adalah lembaga adat yang bertugas untuk menjaga keamanan desa, memberikan sanksi kepada pelanggar norma adat. Seperti menetapkan hukuman untuk pelaku perkelahian, pencurian, silariang (kawin lari) dan lainnya.
Untuk tempat wisata menurut saya keseluruhan tampilan desa ini adalah tempat wisata yang sesungguhnya. Lokasinya yang berada di lembah di antara dua gunung dengan kabut yang selalu menutupi puncaknya. Suara percikan air di bebatuan menyatu dengan warna-warni bunga di pinggir jalan. Sesekali nampak burung elang, berputar-putar di atas gelombang angin. Namun bagi anda yang membutuhkan lokasi khusus untuk tempat mendirikan tenda untuk menginap, di desa ini tersedia lokasi camp dengan posisi yang sangat cocok. Puncak Tabone namanya, adalah lokasi camp yang berada di daerah ketinggian di hutan pinus. Anda bisa memasang tenda di sini juga hammock tentunya, untuk sekedar bersantai ria bersama keluarga. Lokasi ini masih dalam kategori hidden paradise sebab belum begitu dikenal masyarakat utamanya masyarakat Sulawesi.