Akhir pekan lalu, Presiden Joko Widodo menyetujui dokumen target iklim nasional terbaru atau yang disebut Enhanced Nationally Determined Contribution (Enhanced NDC) Indonesia.
Dokumen ini merupakan janji tertulis negara peserta Perjanjian Paris – kesepakatan iklim internasional yang disepakati pada 2015 – untuk berkontribusi dalam menahan pemanasan suhu bumi ke angka maksimum 1,5 °C pada 2030 mendatang.
Dalam NDC teranyar, pemerintah berkomitmen mengurangi emisi dengan skenario kemampuan sendiri (unconditional) sebesar 31,8% dan dengan bantuan internasional (conditional) sebesar 43,2% pada 2030. Angka tersebut lebih besar dibandingkan target dalam dokumen updated NDC yang terbit pada 2021 yakni sebesar 29% dan 41% untuk unconditional dan conditional .
Pembaruan NDC menjadi angin segar bagi upaya Indonesia mengatasi perubahan iklim. Pasalnya, seruan bagi negara-negara untuk meningkatkan target iklimnya semakin bergema seiring terbitnya laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) keenam pada tahun lalu. Laporan ini menyatakan kerusakan bumi tengah menuju kondisi yang tak bisa dihuni.
Saya mengamati NDC baru ini merupakan langkah pemerintah menyelaraskan komitmen Perjanjian Paris dengan kebijakan keseimbangan emisi atau net zero emission nasional. Keadaan net zero terjadi ketika penyerapan emisi bumi seimbang dengan pelepasannya.
Secara umum, NDC tahun 2022 memang lebih baik dibandingkan target sebelumnya. Berikut ini perbaikan yang layak dicermati dari masing-masing sektor.
1) Hutan dan penggunaan lahan lainnya
Petugas berusaha memadamkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Desa Cibuntu, Kecamatan Pesawahan, Kuningan, Jawa Barat. (Dedhez Anggara/Antara)
Dokumen NDC 2022 memasukkan target sektor kehutanan Indonesia untuk mencapai net sink, atau kondisi penyerapan emisi yang lebih besar dibandingkan pelepasan emisi. Emisi sektor kehutanan Indonesia diharapkan dapat ditekan dari 647 juta ton setara CO2 (MTCO2e) pada 2010 ke 214 MTCO2e (dengan usaha sendiri). Emisi bahkan diharapkan mencapai minus 15 MTCO2e dengan bantuan internasional pada 2030.
Target ini ditopang oleh rencana pemerintah membatasi deforestasi Indonesia sebesar 359 ribu ha per tahun dengan upaya sendiri. Sementara, jika disokong bantuan internasional, target deforestasi bisa lebih diperkecil hingga 175 ribu ha per tahun.
Dokumen NDC baru juga memuat target pengelolaan air di lahan gambut, terutama di konsesi perkebunan sawit maupun hutan tanaman industri. Pemerintah pun menggenjot target angka pertumbuhan hutan alam (annual growth rate) dari 0,71 ton karbon per ha per tahun menjadi 0,98 ton karbon per ha per tahun.
Upaya untuk mencapai net sink bukanlah hal yang mudah. Pemerintah perlu bekerja keras untuk merealisasikan pendanaan untuk program pengurangan deforestasi dan degradasi lahan yang berbasis kinerja. Kemitraan pengelolaan hutan seperti yang disepakati pemerintah Indonesia-Norwegia baru-baru ini perlu diperbanyak.
2) Energi
Foto udara panel surya pada Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kompleks Parlemen, Jakarta. (Galih Pradipta/Antara)
Ambisi Indonesia meredam emisi gas rumah kaca sektor energi juga meningkat. Dalam NDC 2021, pengurangan emisi dengan upaya sendiri dari sektor ini hanya ditargetkan 314 MTCO2e. Sedangkan di NDC baru angka pengurangan emisi dengan upaya sendiri meningkat hingga 358 MTCO2e.
Peningkatan target dilatari penambahan rencana kapasitas energi terbarukan dari 7,4 Gigawatt (GW) menjadi 20,9 GW pada 2030. NDC terbaru juga mencantumkan rencana pemerintah untuk mencantumkan proyek pembangkit listrik tenaga surya atap bangunan.
Perencanaan anyar lainnya yang termuat dalam NDC adalah target elektrifikasi kendaraan sebesar 15,1 juta unit dan kompor listrik 18,1 juta unit pada 2030. Dalam NDC 2021, rencana ini belum tercantum.
2) Pertanian
Dalam dokumen NDC terbaru, pemerintah tak banyak menaikkan target pemangkasan emisi sektor pertanian dengan bantuan sendiri. Pemangkasan emisi dari aktivitas pertanian justru ditargetkan naik secara signifikan dengan skenario bantuan internasional, dari 4 ke 12 MTCO2e.
Peternakan sapi perah di Tulungagung, Jawa Timur. (Destyan Sujarwoko/Antara)
Dalam sektor ini, pemerintah memasukkan sejumlah rencana baru seperti penerapan pupuk organik sebesar 1,28 juta ton. Rencana ini diharapkan mengurangi emisi gas rumah kaca dari pemakaian pupuk nitrogen sintetis.
Sedangkan dalam sub-sektor peternakan, pemerintah mewacanakan pemanfaatan kotoran dari sekitar 166 ribu sapi untuk energi biogas. Emisi gas metana dari sistem pencernaan sapi juga berusaha dikurangi melalui pemberian suplemen pakan ke sekitar 8,07 juta sapi.
3) Sampah
Sampah merupakan salah satu sektor yang mengalami peningkatan besar dalam enhanced NDC. Targetnya, ada sekitar 40 MTCO2e emisi yang akan diredam dari sektor sampah – meningkat jauh dari NDC tahun lalu yang hanya 11 MTCO2e.
Target di atas merupakan rencana yang akan dilakukan sepenuhnya oleh Indonesia. Jika mendapatkan bantuan internasional, Indonesia ditargetkan dapat mengurangi emisi sampah hingga 43,5 MTCO2e.
Sederet upaya pun dicanangkan mulai dari pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah, pemanfaatkan bahan bakar sampah tertolak (refuse derived fuel).
Pemerintah juga memasukkan rencana baru seperti pengelolaan limbah cair maupun padat dari industri sawit, pulp and paper menjadi energi biogas ataupun material lainnya.
Ada pula rencana pengelolaan limbah cair rumah tangga melalui pembangunan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) komunal dan instalasi biogas. Rencana ini tak termaktub dalam NDC tahun 2021.
4) Industri
Industri merupakan sektor yang masih perlu banyak pembenahan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Dalam target terbaru, pemerintah turut mendongkrak target pemangkasan emisi sektor industri dari 2,75 ke 7 MTCO2e melalui usaha sendiri, dan pemangkasan hingga 9 MTCO2e pada 2030 dengan bantuan internasional.
Ambisi pengurangan emisi direncanakan berasal dari berbagai revitalisasi fasilitas industri, maupun peningkatan efisiensi.
Khusus industri semen, pemerintah menargetkan pemakaian bahan baku alternatif (misalnya dari limbah pembakaran batu bara) untuk mengurangi emisi dari produksi semen.
Tantangan ke depan
Banjir yang turut melumpuhkan rumah sakit di Sintang, Kalimantan Barat, pada akhir 2021. (Helena Wuysang/Antara)
Berkaca dari berbagai kenaikan ambisi iklim di atas, pemerintah tampaknya berupaya meraup berbagai peluang kemitraan internasional untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari berbagai sektor.
Langkah ini tidaklah mudah. Berkaca dari pelaksanaan konferensi iklim sebelumnya, isu pembiayaan iklim kerap berakhir alot.
Pemerintah perlu memperkuat diplomasi iklimnya ke berbagai negara dan forum internasional. Tentunya hal ini perlu disertai pembuktian komitmen melalui aksi-aksi pengurangan emisi yang nyata di tanah air.
Hal lainnya yang tak boleh terabaikan adalah upaya adaptasi menghadapi risiko bencana alam yang terjadi akibat perubahan iklim. Tanpa upaya adaptasi yang memadai, maka ketahanan masyarakat rentan terganggu sehingga bisa mengurangi efektivitas aksi pemangkasan emisi untuk jangka menengah maupun jangka panjang.
Saya juga mengharapkan peningkatan ambisi iklim dalam NDC bukanlah yang terakhir. Pemerintah mesti terus mengevaluasi targetnya sesuai dengan situasi terkini dan bukti-bukti ilmiah mutakhir.
Mahawan Karuniasa, Dosen Program Studi Ilmu Lingkungan, Universitas Indonesia
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.