Hari masih pagi. Jarum jam baru menunjukan pukul 07.25 WIT. Rin Bodi dan suaminya Lius Popo meninggalkan rumah menuju kebun dan dusun kelapa yang berada kurang lebih tiga kilometer dari desa Podol Kecamatan Tabaru Kabupaten Halmahera Barat. Podol sendiri adalah satu dari enam belas desa di kecamatan Tabaru yang didiami masyarakat Tobaru atau warga setempat menyebutnya dengan Tabaru.
Sekadar diketahui, kelompok masyarakat Tobaru adalah salah satu suku asli Halmahera yang mendiami sebagian besar Halmahera Barat, beberapa desa di Halmahera Utara dan Halmahera Selatan. Hidup mereka bergantung pada hutan untuk berkebun tanaman pangan dan perkebunan.
Keduanya berangkat sejak pagi untuk mengumpulkan buah pala yang jatuh, dan untuk memeriksa tanaman padi di kebun. Padi di kebun Rin dan Lius sudah mulai bunting setelah lima bulan ditanam. Rin menanam padi dari sumber benih lokal yang telah ditanam turun temurun oleh masyarakat Tobaru. Di kebun itu selain padi juga ada pisang dan jahe.
“Padi ini ada biasa disebut dengan padi alus,” kata Rin. Padi jenis ini ditanam sebanyak tiga kulak. Ukuran satu kulak itu sekira delapan cupak atau kaleng susu. Jika diamati, padi yang mulai berisi ternyata terlihat ada banyak jenis. Ada juga padi pulut hitam dan merah ikut tercampur,” katanya.
Dalam kepercayaan masyarakat Tobaru dan lazimnya petani padi ladang di Maluku Utara, saat padi mulai berisi pantang untuk menebang pohon, memanen buah kelapa yang jatuh. atau menghasilkan bunyi sangat kuat di dekat kebun. Jika pantangan ini dilanggar, padi akan mengalami puso atau gagal panen karena tidak berisi.
Rini juga bercerita di kebun yang ditanami padi itu, saat pembersihan lahannya dikerjakan sendiri. Bersama suami, ia menebang pohon dan semak belukar kemudian dibersihkan sebelum ditanam padi ladang.
Lahan ini sebenarnya bekas kebun yang sebelumnya sudah pernah dibuka dan belum ditanami tanaman tahunan. Di sebelah kebun padinya masih ada lahan berhutan yang belum diolah menjadi kebun. Rencananya, pada musim tanam padi berikut lahan tersebut akan dibuka lagi untuk ditanami padi. Sementara lahan yang sudah ditanami padi akan ditanami pisang dan tanaman tahunan seperti pala dan kelapa.
Menanam padi ladang seperti yang dilakukan Rin adalah bagian dari tradisi orang Tobaru. Setiap tahun mereka menanam padi, tidak hanya untuk dikonsumsi sendiri tetapi juga untuk dijadikan bagian dari kebutuhan berbagai ritual, syukuran serta beragam acara adat.
Bagi masyarakat Tobaru hutan dibuka untuk dijadikan kebun yang hanya sekali ditanami padi atau tanaman pangan lainnya lalu dibiarkan menjadi hutan sekunder. Praktik yang sama juga dilakukan oleh sebagian besar suku asli di Halmahera dan Maluku Utara. Praktik ini disebut Jorame.
Jorame atau pembukaan lahan hutan dilakukan setiap 10 hingga 15 tahun. Lahan hutan dibuka untuk dibuat kebun dan ditanami padi lagi atau tanaman pangan lainnya. Kebun yang saat ini dikelola Rin sebelumnya adalah jorame yang ditinggalkan sekira 15 tahun lalu dan dibuka untuk ditanami padi.
Praktek ini sebenarnya biasa dilakukan warga di Halmahera untuk mengembalikan kesuburan tanah kebun. Bagi Rin, kehidupan mereka tidak bisa dipisahkan antara hutan dan berkebun. Kebun menjadi sumber penghidupan tak hanya untuk mendapatkan uang tetapi sebagai tempat menghasilkan pangan.
Masyarakat Tobaru memandang kebun dan hutan sebagai hal yang sangat penting. Mereka memiliki pegangan hidup yang dikenal dalam bahasa lokal mereka dengan ‘obongana gena mia wawango ma ugulu ka gengino o orasa nena si ado-ado nika o ngoka deo dononguku’ yang berarti hutan adalh sumber hidup kami dari dulu, saat ini, hingga anak cucu. Kalimat bijak ini menjadi dasar masyarakat adat Tobaru di Kabupaten Halmahera Barat dalam melaksanakan aktivitas bertani.
Gotong Royong dalam Berkebun
Masyarakat Tobaru sangat percaya bahwa alam punya kekuatan. Oleh karena itu, saat membuka lahan baru, masyarakat Tobaru selalu memulai dengan prosesi dan ritual.
Saat membuka kebun, masyarakat Tobaru juga memiliki tradisi gotong royong yang dikenal dengan wange mia makakaesa atau saling membantu membuat kebun. Wange mia makakaesa ini dilakukan sejak membuka lahan, menanam benih, hingga panen. Setiap tahapan dilakukan secara bergotong royong, baik dengan warga sekampung maupun dalam lingkaran keluarga inti.
“Tradisi ini masih hidup di tengah masyarakat hingga saat ini,”jelas Tawas Tuluino, Ketua Adat Tobaru Desa Togoreba Tua. Menurut Tawas Tuluino, praktik ini juga dilakukan dalam banyak kegiatan lain seperti saat panen kelapa.
Saat ini wange mia makakaesa mengalami sedikit pergeseran karena sudah banyak kelompok warga yang bisa disewa untuk membersihkan atau menanam di kebun. Meski ada pergeseran karena sudah berbayar, namun praktik saling membantu ini masih tetap hidup di tengah masyarakat melalui kelompok-kelompok ini.
Satu kelompok warga dapat terdiri dari empat sampai puluhan orang. Mereka melakukan hal ini untuk sekadar mencari pendapatan tambahan guna memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pendapatan utama kelompok adalah dari menjual hasil kebun. Namun dengan membentuk kelompok kecil, mereka bisa saling membantu untuk pembersihan kebun.
Layaknya sebuah kelompok masyarakat adat, masyarakat Tobaru juga sangat menjunjung tinggi nilai- nilai kekeluargaan. Mereka mengenal ‘nou po maka dora’ yang berarti kita semua saling menyayangi dan membantu.
Istilah po maka dora sebenarnya dipakai dalam berbagai hal. Dalam hubungannya dengan berkebun lebih ini berhubungan dengan rasa sayang seseorang pada kerabat termasuk anak perempuan yang telah menikah dan keluar dari rumah orang tua. Jadi ada satu bagian dari lahan yang sudah dibersihkan dan siap ditanam untuk diberikan kepada anggota keluarga yang dikasihi.
Dalam istilah orang Tobaru, anak perempuan yang telah menikah dan keluar dari rumah orang tua dan balik meminta sesuatu dikenal dengan mongangaweka. Jika nanti diberikan, maka kebun yang sudah dibersihkan juga diberikan kepada anak perempuan itu. Biasanya lahan yang sudah bersih itu ditanam padi.
Membuka Kebun Baru
Dalam tradisi membuka kebun tahapan pertama dimulai dengan sodoaka atau potong tali dan kayu yang kecil-kecil atau o sodoaka. Setelah sodoaka lalu membersihkan rumputnya. Jika sudah selesai dilanjutkan dengan penebangan pohon pohon.
Kayu- kayu kecil itu dipotong potong setelah melewati tahapan penebangan menunggu musim panas untuk dibakar. Karena telah dihitung waktunya, dahan dan ranting yang kering dan siap dibakar itu memasuki musim panas atau kemarau. Dalam membakar lahan yang baru dibuka selalu dibersihkan batas agar api tidak merambat keluar.
Arah membakar mengikuti arah angin dan dibakar dari pinggiran. Setelah melewati tahap bakar jika api terbakar keseluruhan akan bersih tetapi jika tidak bersih maka diangkat batang- batang yang tersisa atau disebut dengan yokaagomo untuk dibakar ulang dengan ditumpuk di suatu tempat. Setelah melewati tahap tersebut lalu dibersihkan bahkan disapu bersih menggunakan salara atau sapu lidi dari dari daun enau. Jika sudah bersih selanjutnya dilakukan proses menanam padi. Biasanya untuk kebun yang baru dibuka dari hutan itu tanaman utamanya adalah padi.
Ketua Program Studi Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Khairun Ternate Syafrudin Abdurahman menjelaskan terdapat kemiripan di dalam aktivitas membuka dan menyiapkan kebun hingga menanam. Pada masyarakat Tobaru atau Tobelo Galela atau dikawasan Halmahera yang lain terdapat kemiripan tradisi membuka lahan.
Menurut Syafrudin, banyak tradisi lama masyarakat petani mulai hilang seiring masuknya agama. Secara umum katanya berbagai ritual sejak membuka hutan membersihkan hingga menanam itu semua ada ritual dan hampir sama di semua daerah di Maluku Utara. “Di kalangan orang Tobelo Dalam, tradisi Gomatere itu sudah perlahan lahan mati karena masuknya agama kepada mereka,” jelas Abdurahman.
Dalam tradisi syukuran yang dilakukan kampung-kampung di Ibu termasuk di kalangan orang Tobaru, terdapat bagian dari tradisi atau ritual yang dipersembahkan kepada alam sebagaimana mereka yakini. Tetapi ketika ada keyakinan baru masuk kepada mereka kemudian bentuk ucapan syukur yang dipersembahkan kepada alam itu beralih ke gereja misalnya. Karena hasil panen yang didapatkan dari hasil kebun itu tidak terlepas dari campur tangan Tuhan. Sementara tradisi lama mereka membuat ritual atau makan-makan yang dipersembahkan ke pohon-pohon atau tempat di alam yang dianggap punya kekuatan. (*)
Tulisan ini pernah dimuat di Mongabay.co.id
Artikel bersumber dari https://kabarpulau.co.id/orang-tobaru-dan-tradisi-menanam