Beberapa waktu lalu, tim riset gabungan Indonesia, Australia, dan Amerika Serikat (AS) merilis survei nasional pertama tentang diagnosis kesehatan mental remaja di Indonesia. Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) ini melibatkan 5.664 rumah tangga dengan remaja 10-17 tahun.
Kajian ini menemukan sekitar 5,5% remaja terdiagnosis punya gangguan mental mengacu pada manual diagnostik global (DSM-5) – atau di Indonesia disebut Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Sementara, sekitar sepertiga (34,9%) terdiagnosis punya setidaknya satu masalah kesehatan mental – atau tergolong Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK). Artinya, dengan 44,5 juta orang berusia 10-19 tahun di Indonesia, diperkirakan ada sekitar 2,45 juta dan 15,5 juta remaja yang masing-masing tergolong ODGJ dan ODMK.
Survei I-NAMHS juga menemukan hanya 2,6% remaja dengan masalah kesehatan mental tersebut yang mengakses layanan bantuan dan konseling. Temuan ini menambah urgensi peningkatan kesadaran, akses, dan kualitas layanan kesehatan mental di Indonesia, apalagi di tengah berbagai kasus bunuh diri remaja dalam beberapa tahun ke belakang.
Tak hanya akses layanan bantuan dan konseling, orang tua atau pengasuh (primary caregiver) memegang peranan penting dalam pemberian dukungan bagi anak remaja dengan masalah kesehatan mental. Sayangnya, meski lebih dari sepertiga remaja punya masalah kesehatan mental, survei I-NAMHS yang sama juga menemukan bahwa hanya 4,3% dari orang tua atau pengasuh yang mengatakan bahwa anak remaja mereka membutuhkan bantuan terkait masalah kesehatan mental.
Dari mereka yang merasa anaknya butuh dukungan, hanya 16,7% (atau 1 dari 6) orang tua atau pengasuh yang mengaku bahwa kebutuhan anak remaja mereka telah terpenuhi. Tapi, hampir setengahnya (43,8%) melaporkan bahwa mereka tidak mengakses layanan atau bantuan karena merasa bahwa mereka ingin menangani masalah tersebut sendiri, atau bersama keluarga dan sahabat.
Banyak dari mereka juga tidak mengetahui tempat mencari layanan bantuan (19,2%), menganggap anak remaja mereka bisa membaik dengan sendirinya (15,4%), dan merasa kesulitan membayar biaya layanan (13,6%). Bagi rumah tangga yang berujung mencari bantuan, hampir dua perlima (atau 38,2%) dari orang tua atau pengasuh menyebutkan staf sekolah sebagai layanan yang paling banyak diakses. Layanan yang paling populer ini disusul oleh dokter atau perawat (24,3%), lalu tokoh agama (20,5%),
Stigma dan literasi kesehatan mental
Amirah Ellyza Wahdi, dosen dan peneliti kesehatan remaja Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga terlibat dalam survei I-NAMHS mengatakan bahwa temuan di atas menunjukkan masih rendahnya literasi kesehatan mental pada orang tua dan pengasuh di Indonesia – baik dalam mengenali gejalanya, berkomunikasi dengan anak remaja mereka, maupun mengetahui harus kemana mencari bantuan.
Dalam survei I-NAMHS, hanya 4,3% orang tua atau pengasuh merasa anaknya butuh bantuan kesehatan mental, padahal prevalensinya sekitar 34,9%. “Berarti ada lebih dari 80% yang punya masalah kesehatan mental, yang bahkan orang tuanya tidak merasa anaknya punya masalah. Ini gap yang besar,” kata Amirah.
Amirah juga mengatakan masih ada stigma yang bisa jadi membuat banyak orang tua enggan pergi ke layanan kesehatan. Hal ini bisa membuat mereka lebih memilih untuk menangani masalah anaknya sendiri agar “menjaga tetap di dalam keluarga”.
Stigma ini juga bisa membuat remaja enggan bercerita ke orang tua atau pengasuh mereka. Padahal, banyak remaja membutuhkan bantuan orang tua mereka – entah karena biaya ataupun syarat administratif bagi remaja di bawah usia dewasa (age of consent) – untuk mengakses layanan. Bagi orang tua yang memutuskan untuk mencari bantuan, Amirah juga mengatakan bahwa pilihan staf sekolah sebagai layanan paling populer patut kita waspadai. “Di sekolah mereka punya kemampuan nggak untuk menangani hal ini? Itu gap lagi,” ujarnya.
“Masuk bimbingan dan konseling (BK) itu seakan hukuman, bukan sesuatu yang untuk pencegahan [..] Dia tidak jadi prioritas, sehingga waktunya dihabiskan sama pelajaran lain.” Amirah mengatakan bahwa untuk remaja dengan gejala yang berat – misal bersifat psikosis atau bergejala skizofrenia – orang tua relatif memahami perlunya membawa anak mereka ke rumah sakit jiwa (RSJ) dan spesialis psikiatri. “Tapi kalau misal depresi, kecemasan, mereka tidak tahu bahwa itu adalah gangguan mental.”
Masalahnya, sebagian remaja yang menunjukkan masalah kesehatan mental bisa jadi juga memenuhi kriteria DSM-5 sebagai pengidap gangguan mental (ODGJ), namun tidak terdiagnosa. Ketidakmampuan orang tua mengenali gejala dan mencari bantuan yang tepat – ditambah kemungkinan diagnosa yang salah pada tingkat pertama atau pengalaman buruk remaja saat layanan sehingga berhenti melakukan kunjungan – dapat berkontribusi pada kegagalan deteksi tersebut. Dalam survei I-NAMHS, misalnya, meski sekitar 5,5% remaja terdiagnosis sebagai ODGJ, tak sampai 1 dari 20 di antaranya mengakses layanan bantuan dalam 12 bulan terakhir.
Menurut Amirah, ini menandakan pentingnya mempertimbangkan faktor orang tua atau pengasuh dalam kebijakan kesehatan mental remaja. “Sekarang ini kalau kita mau melakukan intervensi ke remaja, nggak bisa ke mereka saja. Harus sebagai unit: remaja; primary caregiver; dan bahkan guru,” katanya.
Para peneliti dalam survei I-NAMHS juga merekomendasikan berbagai pendekatan lain. Mengingat terbatasnya tenaga profesional kesehatan mental, penting untuk melatih jaringan tenaga kesehatan yang lebih luas, termasuk sebagai tenaga komunitas dan staf konseling sekolah, hingga membangun jalur rujukan ke layanan klinis melalui lembaga pendidikan.