Indonesia dikaruniai dengan keberagaman suku, ras, adat, bahasa, budaya, keyakinan, dan antar golongan. Keberagaman yang dimiliki Indonesia harus diimbangi dengan sikap toleransi untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sikap toleransi ini ditunjukkan untuk menghormati dan menghargai pihak lain, baik pemikiran, gagasan, maupun kepercayaan yang dimiliki kelompok atau individu. Kurang memahami keberagaman dalam masyarakat Indonesia menyebabkan sikap intoleransi yang tak jarang memicu konflik. Selama 20 tahun terakhir, Indonesia telah menyaksikan beberapa insiden terkait terorisme dan radikalisasi. Dalam beberapa tahun terakhir, tren yang mengkhawatirkan dari penyebaran opini radikal di kalangan anak muda telah muncul. Sebuah jajak pendapat tahun 2018 oleh Pusat Studi Islam dan Masyarakat (PPIM) Negeri Syarif Hidayatullah, yang mencakup 2.181 siswa dan guru, menemukan bahwa 58,5 persen responden mahasiswa universitas dan sekolah menengah memiliki pandangan agama radikal.
Salah satu penyebab selain kurangnya pemahaman tentang keberagaman, masalah ekonomi juga dapat berkontribusi pada menjamurnya paham radikal di kalangan anak muda. Banyak anak muda yang menganggur, membuat mereka menjadi sasaran empuk kelompok radikal.
Ini pula yang mendorong Kristi Praptiwi (Lulusan S2 Development Studies, Melbourne University) bersama dengan Aliansi Kerukunan Antar-Pemuda Lintas Agama (AKAPELA) di Lombok, Nusa Tenggara Barat dan LBH APIK Lombok menggagas 'Peacepreneurship' untuk Memerangi Intoleransi Pemuda. Tujuan utamanya adalah untuk mengurangi radikalisasi pemuda dengan meningkatkan kemampuan dan pemahaman peserta tentang pembangunan perdamaian melalui usaha kecil. Sehingga, para peserta berpotensi meningkatkan pendapatan mereka dan sekaligus menurunkan tingkat pengangguran di Lombok, daerah yang sering menjadi saksi ketegangan antaragama.
Kristi yang sejak tahun 2008 berkiprah dalam dunia pembangunan di KTI, melihat ada banyak potensi yang dimiliki oleh pemuda di Lombok. Namun karena keterbatasan akses, kurangnya pemahaman mereka tentang keberagaman, kurangnya ruang untuk dialog antar umatberagama, bahkan tak jarang konflik muncul dipicu oleh hal-hal sederhana dan berakibat trauma.
Cinta Tuhan, Cinta Manusia dan Cinta Alam di Peacepreneurship
Aktivitas pertama kali yang dilakukan adalah berdialog dengan pemuda lintas agama dan penganut kepercayaan. Karena tak jarang konflik muncul karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang keberagaman. Tujuan utama dari dialog selain untuk membangun pemahaman juga untuk mencapai kemajuan bersama. Dalam pelaksanaannya pula, melibatkan pemimpin agama yang progresif, yang memiliki pemahaman tentang pentingnya peacebuilding.
Setelah pemahaman pemuda terbangun lewat dialog, kemudian dilanjutkan dengan program-program lainnya yang mempertemukan pemuda tersebut dalam satu wadah, di antaranya adalah Peacepreneurship. Mengapa kewirausahaan? Pemuda yang baru saja lulus sekolah atau kuliah, biasanya mereka gelisah mencari pekerjaan. Padahal di daerah mereka memiliki begitu banyak potensi sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan dan dikelola sebagai sumber penghasilan.
Pemuda lintas agama dan penganut kepercayaan kemudian kembali berdialog, mencari solusi apa yang dapat dilakukan dengan mengelola potensi sumber daya alam dan kegelisahaan mereka dari kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh sampah yang semakin memprihatinkan ditambah dengan Lombok sebagai salah satu destinasi wisata.
Sehingga lahirlah Peacepreneurship, yang merupakan gabungan peacebuilding dan entrepreneurship, atau dengan kata lain kombinasi kegiatan kewirausahaan sosial dan pembangunan perdamaian dalam mencari solusi untuk menumbuhkan toleransi dan kerukunan antaragama di kalangan anak muda. Peacepreneurship mempertemukan anggota kelompok pemuda, untuk berkolaborasi dalam kampanye harmoni sosial melalui usaha kecil yang dipimpin oleh pemuda.
Melalui wadah ini, pemuda menciptakan usaha bersama dengan tujuan yang bukan hanya membangun kerukunan antar umat beragama dan penganut keyakinan, namun juga kerukunan antar manusia dengan lingkungan/alam. Sementara kegiatan peacebuilding biasanya hanya melibatkan diskusi peningkatan kesadaran, peacepreneurship mengharuskan pemuda untuk berinteraksi dengan orang lain dari latar belakang agama yang berbeda, misalnya untuk pendampingan usaha kecil.
Dengan menggunakan pendekatan partisipatif, peacepreneurship lahir dari aspirasi para pemuda yang sedang gelisah mencari pekerjaan, di sisi lain mereka juga menginginkan usaha yang berkelanjutan yang sejalan dengan penyelamatan lingkungan. Walaupun dalam proses berdialog dan menyuarakan ide dan aspirasi sering terjadi bentrok, namun seiring waktu peserta belajar menemukan resolusi konflik.
Pada tahun 2018, Kristi Praptiwi kemudian memperoleh Alumni Grant Scheme dari Australia Awards Indonesia. Kristi kemudian bersama AKAPELA dan Lembaga Bantuan Hukum Persatuan Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Nusa Tenggara Barat, bersama dengan pemuda yang telah didampingi menjalankan peacepreneurship.
Proyek ini berlangsung dari Oktober 2018 hingga Desember 2019 dan terdiri dari tiga langkah. Pertama, serangkaian sesi pelatihan dan pendampingan memperkenalkan konsep sociopreneurship kepada 112 anak muda. Sociopreneurship dijelaskan sebagai bisnis yang tidak semata-mata fokus pada profit, tetapi juga mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan. Bekerja sama dengan anak muda yang memiliki wirausaha sosial di Lombok untuk melakukan mentoring kepada peserta mulai dari membuat rencana bisnis, berjejaring hingga membaca pangsa pasar.
“Ternyata ada banyak anak muda yang memiliki usaha sosial di Lombok dan mereka kami minta melakukan mentoring ke anak muda yang menjadi peserta peacepreneurship ini,” jelas Kristi.
Setelah pelatihan dan pendampingan selesai, para peserta dibagi menjadi dua kelompok di mana kedua kelompok ini berfokus pada lingkungan. Kelompok pertama berkonsentrasi pada pertanian organic bekerja sama dengan petani lokal seperti petani Lombok, teh mint. Sedangkan kelompok kedua mendirikan usaha yang mendukung Zero Waste, seperti pembuatan suvenir untuk mempromosikan kerja sama antaragama seperti pembuatan tottee bag, daur ulang botol kaca, bekerja sama dengan pengrajin bamboo untuk sedotan bambu.
Setelah bisnis mereka berjalan, para peserta mengunjungi sekolah menengah terpilih untuk berbicara tentang pengetahuan peacepreneurship, potensi ekonomi di Lombok, dan ide bisnis mereka, tujuannya untuk menyebarkan semangat kepada anak muda dan sekaligus membuka peluang kolaborasi dengan pihak sekolah, bahkan beberapa sekolah termasuk pesantren tertarik untuk mereplikasi peacepreneurship. Selain itu, juga berjejaring dengan pemerintah, peserta kemudian difasilitasi untuk ikut serta dalam berbagai pameran yang digelar pemerintah daerah.
Walaupun dukungan dari AGS telah selesai, namun beberapa peserta masih melanjutkan aktivitas peacepreneurship, ada yang bekerja sama dengan karang taruna untuk untuk membuat kerajinan dari botol bekas, menggerakkan petani di desa untuk menanam cabai organic dan membuat bubuk cabai kering khas Lombok tanpa MSG. Sedangkan peserta yang masih kuliah, aktiv menjalankan gerakan mengurangi sampah plastic bersama.
Pesan utama Ketika proyek selesai, banyak peserta mendirikan usaha di desa mereka untuk mempromosikan kesejahteraan ekonomi dan pesan kerukunan antaragama sehingga pesan utama yang digaungkan peacepreneurship yaitu Cinta Tuhan, Cinta Manusia dan Cinta Lingkungan dapat terwujud.
Melahirkan Lebih Banyak Pemimpin Perempuan
Melibatkan perempuan dalam kegiatan pembangunan rupanya masih menjadi tantangan di Lombok. Inilah salah satu target peacepreneurship, bagaimana mendorong partisipasi dan keterlibatan perempuan dalam bisnis dan kampanye sosial, dengan target 60% penerima manfaat perempuan. Selama pelaksanaan peacepreneurship ini, bakat dan kepemimpinan perempuan muda berkembang. Berdasarkan evaluasi proyek (menggunakan survei kecil, FGD, dan metode wawancara) yang dilakukan dengan tiga belas pemuda champion (tujuh perempuan dan enam laki-laki), mereka setuju bahwa kegiatan proyek meningkatkan pengetahuan dan kepemimpinan mereka. Selain itu, ketujuh remaja putri juara merasa kepemimpinan mereka meningkat dan didukung oleh rekan-rekan pria mereka, teman-temannya pun mendukung kepemimpinan perempuan dalam kelompok mereka. Widiya dan Yuni adalah dua contohnya.
“Setelah saya terlibat dalam Peacepreneurship, saya mulai memahami kewirausahaan sosial. Saya bergabung dengan komunitas dan mengambil peran dalam kelompok sebagai Koordinator Kontrol Kualitas. Banyak hal yang saya pelajari selama pelaksanaan proyek, dari hal yang paling sederhana hingga yang paling rumit, misalnya mengelola anggota kelompok (kebanyakan laki-laki), membangun hubungan yang sehat dalam kelompok, berjejaring dengan pemerintah daerah, sekolah, dan kelompok perempuan, serta memfasilitasi sesama perempuan untuk lebih berdaya,” kata Yuni.
Sebagai milenial, Widiya dan Yuni terpelajar dan percaya diri. Mereka diberdayakan. Namun, sebagai perempuan, mereka seringkali tidak memiliki banyak kesempatan untuk menunjukkan kemampuan mereka di depan umum dibandingkan dengan rekan laki-laki mereka, terutama dalam masyarakat konservatif. Peacepreneurship adalah cara untuk memungkinkan mereka menjadi pemimpin melalui partisipasi aktif, hubungan dan komunikasi yang sehat, jaringan, pengambilan keputusan, dan pemecahan masalah.
Peacepreneurship menjadi salah satu upaya untuk melahirkan dan membangun generasi yang sehat, generasi yang mengutamakan peacebuilding sehingga Indonesia yang damai dan maju dapat terwujud.