Sebuah strategi tanpa data yang memadai tentu tidak akan menjadi strategi yang mumpuni. Hanya jadi jargon dan bisa dipastikan tidak akan efektif untuk dilaksanakan di lapangan. Begitu pentingnya data sebelum merumuskan sebuah strategi. Itu yang disadari oleh tim komunikasi PROSPPEK dari KOMPAK-BaKTI. Perumusan strategi komunikasi dimulai dengan pengumpulan data atau asesmen yang dilakukan di lapangan.
Program perlindungan sosial (Perlinsos) yang digelar oleh Pemerintah Provinsi Papua Barat ini adalah program afirmasi untuk Orang Asli Papua (OAP). Program Perlinsos ini berupa pemberian bantuan tunai kepada anak balita di bawah 5 tahun dan orang tua atau lansia di atas 60 tahun. Pemberian bantuan tunai ini bertujuan untuk meningkatkan gizi anak dan menjaga kesehatan para lansia. Keseluruhan dana yang digunakan adalah dana Otonomi Khusus (Otsus). Program ini pun merupakan satu kesatuan dari pelaksanaan Program Strategis Peningkatan Pembangunan Kampung Otonomi Khusus (PROSPPEK Otsus) yang sudah diluncurkan di tahun 2020 oleh Gubernur Papua Barat, Dominggus Mandacan.
Komunikasi menjadi salah satu aspek penting untuk mendukung program tersebut. Bagaimana agar program bisa dimengerti oleh masyarakat dan pemangku kepentingan yang lain, dan bagaimana program tersebut bisa diterima dan lain-lain. Di bagian inilah tim komunikasi PROSPPEK dari KOMPAK-BaKTI mengambil bagian. Menyusun strategi komunikasi, melakukan pelatihan, pendampingan, hingga monitoring dan evaluasi kegiatan komunikasi. Semua proses itu dimulai dengan asesmen.
Tantangan Para Penyandang Disabilitas
Asesmen dimulai di bulan Maret 2021 di empat kabupaten dampingan untuk proyek LANDASAN. Keempatnya adalah: Manokwari Selatan, Sorong, Kaimana, dan Fakfak serta asesmen di tingkat provinsi yang diadakan di Manokwari. Asesmen ini dilakukan dengan metode tanya jawab kepada representasi kelompok sasaran dan pemangku kepentingan lainnya. Sebelumnya, alat asesmen telah dirumuskan sebelum dijadikan pegangan oleh tim asesmen.
Asesmen pertama di bulan Maret ini kemudian dilanjutkan dengan pendalaman asesmen di bulan Mei, mengikut pada kegiatan pelatihan dan monitoring program LANDASAN.
Dari kegiatan asesmen ini ditemukan beberapa fakta terkait komunikasi. Mulai dari kebiasaan masyarakat dalam bertukar informasi, lokasi pertukaran informasi, metode yang digunakan, alat yang dipakai, hingga waktu yang biasa digunakan untuk melakukan sosialisasi.
Dalam kegiatan asesmen ini, ada bagian yang paling menjadi perhatian yaitu: kesetaraan gender dan inklusi sosial. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul adalah, apakah perempuan juga punya kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam menerima informasi atau terlibat dalam kegiatan kampung? Apakah mereka yang menyandang disabilitas juga berkesempatan menerima informasi yang sama dan terlibat dalam kegiatan yang sama dengan mereka yang bukan penyandang disabilitas? Apakah para lansia juga masih diikutkan dalam kegiatan sosialisasi atau bahkan kegiatan pembangunan di kampung?
Hasil asesmen awal di kabupaten tersebut menunjukkan bahwa masih ada sebagian kelompok rentan (lansia dan penyandang disabilitas) yang tidak diikutkan atau memilih untuk tidak ikut dalam kegiatan-kegiatan sosialisasi. Alasannya beragam. Dari tidak mendapat undangan, kegiatan yang bersamaan dengan kegiatan domestik mereka, akses yang sulit, atau bahkan sudah merasa diwakili oleh orang terdekat.
Arobi Rumagaseng (34 tahun) yang berasal dari Distrik Fakfak Barat, Kabupaten Fakfak, Papua Barat, menjadi penyandang disabilitas sejak usia 5 tahun. Arobi mengalami kelumpuhan dan tinggal bersama dengan Ibunya yang sudah berusia 72 tahun dan seorang adik laki-laki yang berusia 10 tahun. Arobi mengaku bahwa selalu ada keinginan untuk mengikuti pertemuan yang digelar di kampungnya, tetapi karena kondisi fisik tubuhnya yang tidak memungkinkan maka dengan terpaksa dia memendam keinginan itu. Diapun merasa belum mendapatkan akses khusus untuk bisa ikut dalam perencanaan kampung.
Kisah Arobi ini memberi bukti bahwa masih ada kesenjangan yang memisahkan mereka yang hidup sebagai penyandang disabilitas dengan kebijakan-kebijakan di kampung mereka. Mereka punya niat untuk bisa ikut membangun kampung, tapi kondisi fisik, akses, dan kebijakan tidak bisa mewadahi.
Perempuan Ikut Serta
Kondisi perempuan dalam setiap kegiatan sosialisasi dan musyawarah relatif lebih baik dibanding para penyandang disabilitas. Perempuan masih sering ikut serta dalam setiap kegiatan sosialisasi maupun musyawarah pembangunan di tingkat kampung.
“Perempuan itu lebih aktif kalau ada sosialisasi. Mereka selalu semangat datang, kalau laki-laki kadang malas,” kata Ferdinand Kilala, kepala Puskesmas Distrik Makbon, Kabupaten Sorong. Menurutnya, perempuan memang lebih tertarik untuk hadir dalam sosialisasi atau penyuluhan, apalagi bila temanya seputar kesehatan.
“Laki-laki itu biasanya baru semangat datang kalau ada pertemuan menyangkut pembangunan fisik,” kata Yurike Nanggewa, anggota Bamuskam Kampung Marsi, Distrik Kaimana, Kabupaten Kaimana.
Namun, bukan berarti perempuan bisa selalu hadir dalam kegiatan sosialisasi atau penyuluhan karena menurut Ibu Stefani, warga Kampung Waroser Distrik Oransbari, Kabupaten Manokwari Selatan, mereka pun terkadang harus rela tidak menghadiri kegiatan sosialisasi atau penyuluhan di kampungnya karena baku tabrak dengan jadwal domestik. Sebagai ibu rumah tangga, dia tetap harus mengurusi pekerjaan domestik seperti memasak, mencuci atau membersihkan rumah.
“Mungkin sebaiknya harus ada pemberitahuan dua hari sebelumnya dari aparat kampung atau RT, supaya kita bisa siap-siap,” katanya memberi saran.
Hal ini juga dikonfirmasi oleh Geta Mustika Kabes dari Kampung Purwasak, Distrik Fakfak Barat, Kabupaten Fakfak. “Jika ada kegiatan Sosialisasi di Kampung yang hadir biasanya suami saya karena saya harus masak dan menjaga anak apalagi saat masa pandemik harus menemani anak belajar di rumah,” katanya.
Ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi aparat kampung atau pelaksana sosialisasi. Apalagi karena menurut Mikhael, salah seorang kader kampung dari kampung Bamaha, Distrik Ransiki, Manokwari Selatan, keterlibatan perempuan, lansia dan penyandang disabilitas sangat penting karena banyak persoalan yang ada pada mereka yang tidak tersampaikan pada perencanaan kampung.
Internet untuk Komunikasi
Beberapa responden dalam proses asesmen mengakui kalau mereka dan warga di kampung mereka terbiasa menggunakan internet. Termasuk produk turunannya seperti Facebook dan WhatsApp. Kondisi ini dimungkinkan karena ada banyak wilayah di Papua Barat yang sudah tersentuh internet. Baik internet seluler maupun internet lewat jaringan wi-fi yang disediakan oleh Kemenkominfo. Kebiasaan ini memunculkan kanal-kanal baru yang bisa digunakan sebagai media sosialisasi.
Puskesmas Kaimana termasuk salah satu yang memanfaatkannya. Menurut Manik Samani, salah seorang staf Puskesmas Kaimana, mereka aktif menggunakan media sosial dan aplikasi chatting untuk menjalin komunikasi dengan warga. Baik untuk menyampaikan materi sosialisasi seputar kesehatan, hingga mendapatkan masukan dari warga.
“Kita punya grup di Facebook, namanya Puskesmas Kaimana. Di grup itu warga bisa bertanya atau memberikan kritikan untuk pelayanan Puskesmas Kaimana. Di situ juga kita sering melakukan edukasi atau penyuluhan kesehatan,” kata Manik Samani.
Penggunaan media sosial dan grup chatting ini adalah salah satu variasi media yang digunakan untuk komunikasi dan sosialisasi. Di luar media-media baru itu, pelaksana sosialisasi masih menggunakan media yang sudah umum digunakan seperti lembar balik, poster, maupun leaflet dan brosur.
“Tapi kadang-kadang bahasa di poster itu masih susah kami pahami,” kata Yurike Nanggewa. Menurutnya, bahasa yang digunakan di media sosialisasi itu seharusnya bisa lebih “membumi” bahkan kalau bisa menggunakan bahasa atau logat mereka sehari-hari. “Biar kami lebih paham,” pungkasnya. Ini bisa dimaklumi mengingat materi-materi komunikasi tersebut memang biasanya dibuat secara massal dan digunakan se-Indonesia.
Data yang Menjadi Dasar
Beragam data yang dijaring dari kegiatan asesmen itu menjadi dasar untuk menyusun strategi komunikasi. Data itu diharapkan bisa membuat strategi komunikasi yang mengakomodasi kesetaraan gender dan inklusi sosial. Jangan sampai melupakan peran perempuan, lansia, dan para penyandang disabilitas.
Begitu juga dengan materi komunikasi yang dihasilkan. Setidaknya, materi-materi tersebut bisa dicerna dengan baik oleh para penerima manfaat. Tidak perlu menggunakan bahasa yang terlalu tinggi, sebaliknya sebisa mungkin dibuat dekat dengan keseharian para penerima manfaat. Tentu saja harapannya agar pesan kunci yang disampaikan bisa sampai dan dipahami.
Di sisi kanal media komunikasi, kehadiran internet menjadi salah satu pilihan yang tidak bisa ditepikan. Internet dengan produk-produk turunannya tentu bisa digunakan untuk mempromosikan, mensosialisasikan atau bahkan menceritakan kemajuan sebuah kegiatan. Termasuk kegiatan pembangunan di level kampung.
Hingga bulan Mei 2021, penjaringan data telah dilakukan dan data telah siap dijadikan landasan untuk membangun strategi komunikasi. Karena strategi yang terbaik adalah strategi yang dibuat berdasarkan data.