Menghapus Stigma dan Menumbuhkan Ruang Aman bagi Anak dan Remaja di Sulawesi Selatan
Penulis : Andi Nurlela

Tanggal 10 Oktober diperingati sebagai Hari Kesehatan Mental Sedunia (World Mental Health Day). Ini menjadi momen penting untuk mengingatkan bahwa kesehatan mental adalah hak asasi setiap manusia. Pada Hari Kesehatan Mental Sedunia para Edukator HAT Helping Adolescents Thrive (HAT) kembali mengingatkan bahwa kesehatan mental adalah hak asasi manusia melalui Program UNICEF dan Yayasan BaKTI. 

Edukator HAT berasal dari kalangan guru, pelajar, mahasiswa yang telah mengikuti rangkaian kegiatan pelatihan yang diselenggarakan oleh Program UNICEF-BaKTI. Para edukator HAT secara rutin membagi pengetahuan kepada teman sebaya tentang bagaimana cara menghindari kondisi yang bisa menyebabkan mereka terjerumus di dunia daring. Mereka menginisiasi diskusi-diskusi di tingkat komunitas untuk mengenal kesehatan mental, ketahanan diri, dan hubungan positif antar sebaya, mencegah eksploitasi dan kekerasan seksual di ranah daring menekankan perlindungan anak di ranah daring, literasi digital, hingga cara melaporkan kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah daring. 

Para edukator HAT yang telah dilatih ini berasal dari lima wilayah kabupaten/kota di Sulawesi selatan yaitu Makassar, Gowa, Maros, Bone, dan Wajo. Mereka pun mengunjungi sekolah dan komunitas di wilayah mereka masing-masing untuk menghadirkan rangkaian kegiatan pendampingan, refleksi, dan terapi sederhana bagi anak dan remaja.

Menghapus Stigma, Memberi Validasi pada Perasaan yang Sering Disembunyikan

Dalam sesi pembelajaran, para edukator tidak memulai dengan ceramah panjang. Mereka kerap membuka ruang dengan contoh dialog sederhana yang kemudian digunakan sebagai materi interaktif agar peserta mampu mengenali dan menamai perasaannya sendiri. Salah satu contoh yang sering digunakan adalah:

“Gimana kabarmu?”
“Baik kok, Alhamdulillah.”
“Yakin? Kamu kelihatan capek banget.”
“Ah, enggak. Aku baik-baik aja kok. Biasa aja.”

Dialog ini bukan sekadar contoh bahasa sehari-hari; ia berfungsi sebagai alat untuk menunjukkan bagaimana jawaban otomatis “baik-baik saja” kerap menutup realitas batin. Dengan menjadikan dialog tersebut sebagai materi, edukator mengajak anak dan remaja memahami bahwa mengakui perasaan bukanlah kelemahan, melainkan langkah awal menuju pemulihan.

Terapi sederhana, dampak yang menguatkan

Di SMA Negeri 1 Bone, puluhan hingga ratusan siswa mengikuti sesi self-hug therapy latihan sederhana untuk menenangkan tubuh dan pikiran melalui perhatian pada diri sendiri. Dalam keheningan yang dipandu, beberapa siswa menitikkan air mata; bagi banyak dari mereka, itu adalah pengalaman pertama merasa “boleh” lelah tanpa dihakimi.

“Rasanya aneh tapi lega,” ungkap seorang siswa seusai sesi. “Baru kali ini saya merasa boleh mengakui kalau saya capek.”

Di Gowa, sesi refleksi kelompok membahas sumber stres seperti tekanan akademik dan tantangan media sosial. Fasilitator menggunakan permainan empatik dan teknik pernapasan sadar, membantu remaja mengenali tanda-tanda stres dan saling memberi dukungan. Peserta menyampaikan bahwa berbicara di ruang yang aman membuat mereka menyadari: mereka tidak sendiri.

Sementara di Lorong Makassar, komunitas bersama Shelter Warga Tamamaung menyelenggarakan pertemuan di ruang publik yang hangat, menggabungkan cerita pengalaman warga dengan latihan menenangkan diri. Di Maros, aktivitas Pohon Harapan mengajak siswa menulis perasaan dan harapan pada kertas warna-warni pesan-pesan sederhana seperti “Saya ingin diterima apa adanya” menjadi bukti betapa kuatnya kebutuhan emosional anak-anak.

Belajar untuk Mendengar, Bukan Menghakimi

Mendengarkan adalah keterampilan yang perlu dilatih. Di dunia yang serba cepat ini, kita sering memberi solusi sebelum benar-benar memahami. Para Edukator HAT menekankan tiga prinsip sederhana namun penting:

  • Berhentilah menilai; mulailah mendengarkan.
  • Berhentilah menyembunyikan perasaan; mulailah memberi ruang untuk merasa.
  • Berhentilah berpura-pura kuat; mulailah mengakui bahwa kita juga manusia.

Kekuatan sejati sering muncul bukan dari menahan air mata, melainkan dari keberanian untuk berkata jujur: “Aku sedang tidak baik-baik saja.” Dari pengakuan ini, proses penyembuhan dapat dimulai lewat tatapan yang memahami, pelukan yang menenangkan, dan kehadiran yang konsisten.

Setiap Jiwa Pantas Bahagia

Inisiatif Edukator HAT tidak hanya memenuhi kebutuhan individu tetapi juga memperkuat sistem pendukung di lingkungan pendidikan dan komunitas. Ketika guru, teman sebaya, dan keluarga belajar mendengarkan, sekolah menjadi ruang yang mendidik bukan hanya untuk prestasi akademik tetapi juga kesejahteraan emosional.

Lain kali ketika kita bertanya, “Gimana kabarmu?”, cobalah berhenti sejenak, tatap mata lawan bicara, dan dengarkan sungguh-sungguh. Di balik kata “aku baik-baik saja”, mungkin ada hati yang sedang mencari tempat untuk pulang.

“Tidak apa-apa jika kamu sedang tidak baik-baik saja. Kamu tidak harus menutupi kesedihanmu atau berpura-pura kuat. Karena kamu tidak sendirian, selalu ada orang yang peduli, mau mendengarkan, dan ingin membantu,” ujar salah satu edukator dari Shelter Warga Tamamaung, Makassar.

Pada akhirnya kesehatan mental adalah tanggung jawab bersama. Mari jadikan sekolah, rumah, dan lingkungan kita sebagai ruang aman di mana anak dan remaja boleh jujur, didengar, dan dipeluk tanpa syarat. Dengan langkah-langkah sederhana mendengarkan tanpa menghakimi, memberi ruang untuk merasa, dan hadir ketika diperlukan kita menanamkan fondasi bagi generasi yang lebih tangguh dan berempati.

Mari terus saling peduli, saling mendengar, dan saling menguatkan, karena setiap perasaan layak diterima, dan setiap jiwa pantas untuk bahagia.

 

Info Lebih Lanjut:

Hubungi kami melalui email info@bakti.or.id untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai Program Pencegahan Eksploitasi dan Kekerasan Seksual di Ranah Daring Kerjasama UNICEF-BaKTI yang menyelenggarakan Pelatihan Edukator HAT. 

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.