Istilah toleransi belakangan ini nampaknya sangat familiar. Kata ini juga sering digunakan di berbagai forum seminar bahkan di media sosial. Sekalipun orang sering menulis kata toleransi ini di akun pribadinya, baik untuk tulisan pribadi atau polemik di kolom komentar.
Terma seperti toleransi, Pancasila, kerukunan, nampaknya dewasa ini sudah menjadi mantra ajaib untuk meyakinkan orang atau bisa juga menjadi semacam ‘bumbu penyedap’ dalam retorika yang dibawakan oleh tokoh politik di muka umum.
Saya ingat betul ketika Pilpres 2019 berlangsung, istilah toleransi, radikalisme, Pancasila adalah kalimat yang selalu diusung oleh tiap politisi yang ingin mendapat simpati dari masyarakat. Bablasnya, pasca pilpres, terma toleran dan intoleran sering dilontarkan untuk memojokkan lawan politik atau orang yang tak sepaham dengan garis politik pemerintah.
Pada satu sisi, kita sepakat bahwa toleransi adalah terma positif. Istilah ini merujuk pada sikap moderat, tenggang rasa, dan lapang dada. Namun, yang mungkin menjadi aneh dalam perpolitikan kita belakangan istilah ini toleransi itu sendiri bukan lagi sebagai kata sifat yang mencerminkan perilaku, tetapi predikat untuk kelompok tertentu yang memiliki garis sepaham dengan pemerintah yang kebetulan tengah konsen mengkampanyekan program deradikalisasi.
Kelompok yang menyebut dirinya toleran, justru mencap pihak lain sebagai intoleran dan belakangan muncul identifikasi lagi untuk menyebut kelompok intoleran ini, seperti kampret, kadal gurun (kadrun), sumbu pendek, pentol korek, radikal dan istilah lainnya yang sering diketik di kolom komentar Facebook atau Twitter.
Mengidentifikasi Intoleran
Jika kita membaca kamus untuk memahami istilah toleransi dan intoleransi, mungkin secara mudah kita akan mengerti bahwa toleransi merujuk pada sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian atau pendapat pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan yang berbeda atau bertentangan dengan pendiriannya sendiri. Sedangkan intoleransi adalah kebalikan dari makna di atas. (KBBI, 1992)
Namun, dalam kenyataan politik dan sosial, membedakan kelompok toleransi dan intoleransi jauh lebih sulit ketimbang hanya berhenti pada pemahaman definitif. Dalam artikel ini, penulis agak ‘menantang’ sidang pembaca untuk menarik pembeda mana kelompok toleran dan intoleran. Sebab pada realitas masa kini, kelompok yang mengaku diri toleran bahkan bisa lebih intoleran ketimbang kelompok yang diidentifikasi sebagai intoleran,
Contoh pertama adalah mengenai penangkapan Bahar bin Smith yang belakangan tersandung kasus provokasi dan berita bohong yang dialamatkan padanya. Dalam beberapa rekaman ceramahnya, Bahar memang terkenal keras baik suara maupun isi penyampaiannya yang tak jarang membuat orang tersinggung.
Memang jika dilihat dari muatan ceramahnya, Bahar bin Smith terkesan intoleran karena kerap blak-blakan dan mengutuk seseorang atau satu kelompok secara lugas dan keras. Namun, terkait dengan penangkapan dan pemenjaraan dirinya, apakah tindakan pemerintah bisa dikatakan toleran karena membungkam intoleran? Atau pihak yang memaksa Bahar untuk ditangkap juga intoleran karena tak mentolerir pandangan dan kelakuan Bahar bin Smith?
Baiklah, jika Bahar bin Smith dicap intoleran karena ucapan provokatifnya pada pemerintah dan juga kerap memaki pandangan orang lain, bagaimana kita menempatkan Ferdinand Hutahaean, tokoh politik pendukung pemerintah yang belakangan ditangkap karena cuitannya di media sosial menyakiti perasaan umat beragama? Apakah Ferdinand bisa diidentifikasi sebagai intoleran? (Pedomantangerang.com, 08/01/2022)
Contoh lainnya adalah video yang viral tahun lalu, yaitu terkait dengan para santri yang menutup telinga di sebuah ruangan ketika alunan musik disetel oleh pengelola tempat. Banyak warganet bahkan politisi menyebut perilaku santri tersebut mencerminkan sikap kelompok intoleran yang anti musik.
Namun, sejumlah tokoh yang dijuluki ‘toleran’ seperti Alissa Wahid mengecam label intoleran kepada para santri yang menutup telinga dari musik. Alasannya adalah para santri tersebut adalah para huffaz (para penghafal Qur’an) yang secara tradisi dijauhkan dari musik. Dalam konteks ini saja sudah terlihat bahwa labelisasi intoleran dan toleran belakangan ini sangat bias karena didasarkan pada sentimen politik. (Detik.com, 16/09/2021)
Paradoks Toleransi
Jika kita menengok pandangan Karl Popper dalam The Open Society and Its Enemies, kita akan menemukan terma ‘paradoks toleransi’ di mana Karl Popper mengatakan pemahaman toleransi juga bisa disebut intoleran karena secara tegas mendukung penindasan kelompok intoleran. (Popper, 2013)
“Hal yang tidak banyak diketahui adalah paradoks toleransi: Toleransi tak terbatas akan memicu hilangnya toleransi. Apabila toleransi tak terbatas juga diberikan kepada kelompok intoleran, apabila kita tidak siap mempertahankan masyarakat toleran dari serbuan kelompok intoleran, maka kelompok toleran akan hancur bersama toleransi itu sendiri.”
Dalam penutup kalimatnya, Karl Popper mendukung tindakan keras yang dilakukan pemerintah untuk membungkam kelompok intoleran yang dianggap mengganggu iklim toleransi dalam suatu masyarakat.
Mungkin prinsip Popper ini yang digunakan oleh salah satu kelompok yang sangat keras dan sepakat pemenjaraan pihak-pihak yang diidentifikasi sebagai intoleran. Namun, paradoks tetap paradoks. Jika hal tersebut dilakukan, maka hal ini sama saja kelompok intoleransi satu melawan kelompok intoleransi lainnya.
Pun yang menjadi pekerjaan rumah adalah, tidak adanya tolak ukur yang jelas untuk mengidentifikasi kelompok lain sebagai intoleran. Sebab yang menjadi tolak ukur saat ini adalah, mereka yang toleran adalah kelompok yang setia pada pemerintah dan koalisinya, sedang oposisi dicap sebaliknya karena berlaku keras dalam mengkritik pemerintah.
Tanpa berniat untuk menyudutkan pihak manapun, akan sangat baik jika kita tidak mudah menjustifikasi dan mengidentifikasi kelompok manapun sebagai intoleran jika tolak ukurnya adalah sentimen politik yang bersifat relatif.
Mereka yang mendeklarasikan diri sebagai toleran akan sangat baik jika memandang secara objektif dan lebih legowo dalam menilai kelompok lain, pun terhadap kelompok yang selalu bersikap kritis terhadap gagasan kebebasan, feminisme dan demokrasi.
John Rawls, filsuf Amerika terkemuka, menegaskan bahwa dalam bertoleransi, masyarakat harus menerima mereka yang menganut intoleransi, sebab jika tidak, maka masyarakat tersebut juga disebut intoleran. Ini yang dikatakan John Rawls dalam bukunya A Theory of Justice (Rawls, 2011)
Namun dalam hal ini perlu dicatat, bahwa ada syarat-syarat di mana kaum intoleran sudah tak bisa mendapat haknya, yaitu ketika mereka sudah bergerak mengangkat senjata atau secara terang-terangan melakukan intimidasi kepada kelompok lain.
Peristiwa penendangan sesaji di lokasi gunung Semeru oleh seorang pria tak dikenal merupakan bentuk intoleransi yang harus diadili dan diberantas, sebab tindakan pria tersebut sudah secara nyata mengganggu keharmonisan masyarakat dan mengintimidasi kelompok agama lain.
Pun dalam menilai Bahar bin Smith atau Ferdinand Hutahaean, akan lebih bijak jika kita tidak mudah menjustifikasi, selama tidak ada tindakan nyata yang mengancam demokrasi dan kebebasan sipil. Jika mereka berkomentar secara keras dan membuat hati panas, anggap saja itu sebagai pandangan pribadi mereka, tanpa harus dibawa ke meja hijau atau jeruji penjara.
Sebaiknya, kita lepas sekat-sekat sentimen dan pengelompokan ‘toleran’ dan ‘intoleran’ hanya karena perbedaan masalah politik. Sikap toleran lebih diutamakan ketimbang mendeklarasikan diri sebagai toleran. Lebih baik menyeduh kopi sembari menghisap rokok, ketimbang marah-marah ketika menghadapi pandangan yang berbeda dengan kita.
Sumber: https://suarakebebasan.id/membincang-kembali-toleransi-dan-intoleransi/