“Kaget, takut … langsung nangis, kirain kenapa-napa”. Itulah yang dirasakan Nadia, siswa kelas 6 SD di DKI Jakarta ketika melihat ada darah yang menempel di celananya. Nadia tidak sendiri. Saat pertama kali mengalami menstruasi, 70 dari 75 siswa yang kami wawancarai mengaku memiliki perasaan kurang nyaman, takut, kaget, bingung, menangis, bahkan berteriak-teriak memanggil ibunya.
Pada kasus lain, terhitung sudah lima kali Nita[2] pulang sekolah lebih awal. Pembalut terasa sudah penuh, darah menstruasi menembus pakaian, dan mendapatkan hari pertama menstruasi di sekolah merupakan beberapa alasan yang menyebabkan Nita pulang cepat. Nita tidak membawa pembalut cadangan ke sekolah karena khawatir diejek oleh teman laki-laki yang sering membuka tas siswa perempuan tanpa izin untuk meminjam sesuatu.
Cerita lainnya datang dari Aster. Aster juga memilih untuk tidak mengganti pembalut di sekolah karena toilet kotor dan pintunya rusak.
Menstruasi adalah hal normal bagi perempuan. Namun, menstruasi bisa menjadi pengalaman yang kurang menyenangkan jika remaja perempuan tidak dipersiapkan untuk menjalaninya dan lingkungan sekitarnya tidak memberikan dukungan.
Memenuhi kebutuhan menstruasi sama dengan memenuhi hak perempuan
Kesehatan menstruasi memiliki peran dalam menentukan kualitas hidup perempuan karena berpotensi memengaruhi kesehatan (reproduksi dan kehamilan), partisipasi pendidikan, bahkan dalam jangka panjang juga memengaruhi partisipasi kerja mereka. Pemenuhan hak kesehatan dan kebersihan menstruasi remaja perempuan juga berarti menjamin terpenuhinya hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal.
Saat menstruasi, perempuan perlu mengelola kebersihannya, yakni mengganti pembalut setiap empat jam, mencuci tangan pakai sabun sebelum dan setelah mengganti pembalut, dan membungkus pembalut dengan plastik/kertas bekas sebelum dibuang ke tempat sampah. Tak hanya itu, mereka juga perlu tahu tentang siklus reproduksi; perubahan fisik, hormonal dan emosional yang terjadi; dan mengelola kondisi biologis (sakit menstruasi) dan psikologisnya saat menstruasi.
Untuk menjamin terpenuhinya hak kebersihan menstruasi perempuan, diperlukan intervensi holistik yang berbasis hak. Pemenuhan hak atas sarana air dan sanitasi layak saja tidak cukup. Agar dapat menjalani menstruasi dengan nyaman, diperlukan pemenuhan hak perempuan (terutama remaja) atas informasi untuk membentuk pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam menghadapi menstruasi. Membentuk sikap teman sebaya, terutama teman laki-laki, juga diperlukan agar remaja perempuan yang sedang menstruasi tidak lagi menjadi objek perundungan. Perlu tercipta juga norma masyarakat yang tidak lagi menganggap ‘tabu’ pembicaraan mengenai menstruasi, sehingga transfer pengetahuan dan keterampilan kepada remaja perempuan dapat terjadi dengan baik. Pandangan bahwa menstruasi adalah kotor dan larangan-larangan terkait menstruasi, seperti larangan masuk kebun di Nusa Tenggara Timur (NTT), juga perlu diintervensi karena mendiskriminasi perempuan di ruang publik.
Berdasarkan penelitian yang kami lakukan terkait pengalaman remaja dalam menghadapi menstruasi di tiga kabupaten/kota di Indonesia, pemenuhan kebutuhan kesehatan menstruasi secara holistik masih belum terlihat. Edukasi dari orang tua, guru, dan tenaga kesehatan kepada remaja perempuan belum terlaksana dengan baik, dan siswa laki-laki masih suka mengejek teman perempuan yang sedang haid. Di beberapa wilayah di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan NTT, menstruasi masih dianggap kotor dan tabu untuk dibicarakan, baik di kalangan anak-anak maupun orang dewasa. Misalnya, ada guru yang tidak mengajarkan materi pelajaran IPA terkait alat reproduksi di kelas. Tindakan ini pun mendapat restu dari kepala sekolah. Pihak yang seharusnya melindungi hak-hak perempuan untuk belajar, justru bungkam dan menganggap hal ini ‘wajar’ untuk tidak diajarkan.
Jika membicarakan menstruasi saja masih diwarnai oleh tabu, bagaimana anak perempuan bisa siap menghadapi menstruasi yang akan datang di usia belia?
Intervensi Untuk Mendukung Praktik Manajemen Kebersihan Menstruasi (Mkm) Remaja Perempuan
Melihat kenyataan bahwa isu MKM belum mendapatkan perhatian khusus, Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) berusaha menjembatani tantangan pengelolaan kebersihan menstruasi yang dihadapi remaja perempuan dengan merancang intervensi yang holistik. Intervensi ini tidak hanya dengan membangun infrastruktur toilet yang aman dan nyaman, tetapi juga membangun dukungan dari lingkungan sekitar melalui edukasi kepada berbagai pihak. Toilet yang dibangun Plan Indonesia dinamai ‘toilet MKM’ yang di dalamnya dilengkapi tempat sampah, sabun cuci tangan, pembalut cadangan, dan rok cadangan.
Dalam membangun dukungan lingkungan, bentuk intervensi yang dilaksanakan oleh Plan Indonesia beragam tergantung audiensnya. Bagi tenaga kesehatan di tingkat kabupaten, proses edukasi diawali dengan pelaksanaan training of trainer (ToT) terkait MKM. Di beberapa wilayah, lokakarya ini juga dihadiri perwakilan guru dan siswa. Di tingkat sekolah, edukasi MKM dilakukan dalam bentuk lokakarya yang dihadiri guru, kepala sekolah, dan perwakilan orang tua. Lokakarya ini bertujuan meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya dukungan orang-orang di sekitar remaja perempuan untuk membantu mereka menghadapi menstruasi dan menjaga kebersihan menstruasi.
Untuk menarik perhatian para siswa, termasuk siswa laki-laki, bentuk sosialisasi dibuat lebih menarik dengan memanfaatkan media seni pementasan teater/lenong. Topik yang diangkat dalam pementasan drama ini meliputi penjelasan tentang menstruasi, cara menjaga kebersihan selama menstruasi, dan larangan mengganggu siswa perempuan yang sedang menstruasi. Dengan strategi edukasi seperti ini, informasi yang sensitif diharapkan dapat menjadi lebih mudah dipahami.
Pelajaran Apa yang Bisa Dipetik?
Kami menemukan bahwa program intervensi terkait isu MKM, seperti yang dilakukan oleh Plan Indonesia, memiliki dampak positif. Di beberapa sekolah intervensi, kepala sekolah, komite sekolah, guru, siswa perempuan dan bahkan siswa laki-laki sudah lebih terbuka untuk membicarakan topik menstruasi. Selain itu, keberadaan toilet yang aman, aksesibel, dan nyaman membuat remaja perempuan mau mengganti pembalut di sekolah dan tidak lagi pulang ke rumah. Implikasinya, kehadiran siswa perempuan di sekolah intervensi lebih baik dibandingkan siswa di sekolah yang tidak mendapat intervensi pembangunan toilet. Secara tidak langsung, program intervensi ini mendukung pemenuhan hak remaja perempuan untuk mendapatkan akses pendidikan yang setara dengan laki-laki.
Meski dampak positif dari program intervensi sudah terlihat, masih banyak tantangan yang perlu diatasi. Pertama, masih adanya anggapan beberapa orang tua yang tidak merasa perlu memberikan informasi seputar menstruasi kepada anak laki-lakinya. Padahal, sikap negatif siswa laki-laki, misalnya melalui perundungan, dapat memengaruhi siswa perempuan dalam melakukan praktik MKM.
Selain itu, orang dewasa di lingkungan siswa perempuan, termasuk guru dan orang tua, masih belum menerapkan praktik MKM yang baik, seperti dalam aspek frekuensi penggantian pembalut dan mencuci tangan sebelum dan sesudah mengganti pembalut. Bagaimana mungkin mereka dapat memberikan edukasi yang memadai jika mereka sendiri, yang merupakan sumber informasi pertama dan utama MKM bagi remaja, masih belum mempraktikkan kebersihan menstruasi dengan baik?
Selanjutnya, ketika intervensi hanya dapat dilakukan dalam waktu terbatas, exit strategy menjadi hal yang perlu diperhatikan untuk memastikan keberlanjutan program meski setelah intervensi selesai dilakukan. Dalam studi ini, strategi keluar yang perlu didorong adalah memastikan pihak di sekitar remaja perempuan mengambil langkah berkelanjutan untuk melakukan edukasi terkait MKM. Di sekolah intervensi, belum ditemukan kebijakan sekolah untuk meneruskan pemberian informasi MKM kepada siswa perempuan setelah program Plan Indonesia berakhir. Tenaga kesehatan juga tidak melanjutkan pelaksanaan sosialisasi MKM ke sekolah-sekolah.
Terakhir, siswa perempuan di sekolah intervensi belum mempraktikkan seluruh aspek MKM dengan baik, termasuk masih menggunakan pembalut dalam durasi panjang (tidak diganti setiap 4 jam) dan jarang mempraktikkan cuci tangan dengan sabun sebelum mengganti pembalut. Kondisi ini menunjukkan bahwa intervensi berbasis informasi yang dilaksanakan hanya satu kali, seperti melalui pementasan drama, belum berdampak langsung pada perubahan perilaku remaja. Kepercayaan dan kebudayaan yang memandang menstruasi secara negatif juga menjadi faktor penghambat remaja mengetahui dan melakukan MKM.
Apa yang Perlu Kita Lakukan Ke Depannya?
Program Plan Indonesia membuka mata kita bahwa banyak remaja perempuan belum siap menghadapi menstruasi dan mendukung mereka merupakan kewajiban kita semua, meski terdapat ruang perbaikan yang perlu dilakukan.
Pemangku kepentingan dan masyarakat memiliki tanggung jawab untuk memastikan terbangunnya lingkungan belajar yang aman dan nyaman bagi semua siswa. Dengan begitu, siswa perempuan berhak mendapatkan lingkungan sekolah yang bisa memastikan terpenuhinya praktik MKM. Dalam merancang intervensi untuk meningkatkan praktik MKM, penting juga untuk melihat keragaman kondisi remaja perempuan, seperti remaja dengan disabilitas atau remaja dari kelompok kesejahteraan tertentu yang memengaruhi praktik MKM. Dengan demikian, intervensi yang dirancang dapat benar-benar sesuai dengan kebutuhan remaja perempuan.
Khusus menyoroti ketersediaan toilet, meski sudah ada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 26 Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), dan Sekolah Menengah Atas/Madrasayh Aliyah (SMA/MA). Namun masih ada pertanyaan apakah toilet yang disediakan sudah memenuhi standar. Studi kami menemukan bahwa di beberapa sekolah, toilet dalam keadaan memprihatinkan. Kondisi sekolah seperti ini menggambarkan tidak adanya perhatian khusus untuk isu MKM dan tidak adanya kesadaran dari masyarakat, khususnya sekolah, bahwa isu ini berdampak besar pada pemenuhan hak belajar remaja perempuan.
Edukasi kepada guru dan orang tua, yang merupakan sumber informasi pertama dan utama remaja terkait menstruasi, perlu diarahkan agar mendorong mereka mempraktikkan MKM dengan baik dan menciptakan cara pandang dan perilaku yang lebih positif terhadap menstruasi.
Hal kecil yang dapat dilakukan sekolah tetapi sangat berharga bagi siswa perempuan adalah tersedianya toilet terpisah untuk laki-laki dan perempuan; memastikan siswa laki-laki dan guru laki-laki tidak menggunakan toilet perempuan; memastikan semua infrastruktur toilet dapat diakses orang dengan disabilitas; tersedianya air bersih dan sabun; adanya tempat sampah serta plastik/kertas untuk membungkus pembalut di dalam toilet; serta tersedianya seragam, pembalut cadangan, dan celana dalam ganti minimal di ruang UKS. Bagaimana dengan peran kita? Mari tengok kiri kanan. Remaja putri di sekitar kita seringkali memiliki segudang pertanyaan yang belum terjawab.
Kenapa menstruasi bisa tiba-tiba datang dan tiba-tiba hilang? Kenapa siklus menstruasi ada yang tidak teratur? Bagaimana cara menggunakan pembalut supaya tidak bocor? Berapa kali harus mengganti pembalut? Apakah perempuan yang sedang menstruasi bisa hamil jika duduk berdekatan dengan teman laki-laki?
Bantu mereka untuk tahu dan mampu menghadapi menstruasi dengan baik. Kegelisahan dan ketakutan remaja terkait menstruasi yang diperparah oleh ejekan teman laki-laki layak untuk dianggap penting dan segera diatasi. Ini adalah saatnya bagi orang tua, guru, kepala sekolah, pemerintah, dan kita semua untuk membuat remaja perempuan, apa pun kondisi dan latar belakangnya, siap dan mampu mengelola kebersihan menstruasinya dengan baik. Memahami isu MKM sebagai tanggung jawab bersama berarti kita berada satu langkah lebih maju dalam kesetaraan pemenuhan hak perempuan atas kesehatan dan pendidikan.
[1] Nama samaran
Artikel ini bersumber dari https://smeru.or.id/id/article-id/manajemen-kebersihan-menstruasi-tanggung-jawab-siapa