Kampung-kampung di pesisir Lombok , Nusa Tenggara Barat, terancam tenggelam. Tahun demi tahun, dampak banjir rob dan abrasi makin parah. Warga terpaksa mengungsi, meninggalkan rumah bahkan sudah ada yang pindah.
Hunaidi, mengenang kenangan 12 tahun silam di kampungnya, Telok Kombal, Desa Pemenang Barat, Kecamatan Pemenang, Lombok Utara. Kala itu, dia relawan Siaga Bencana dari satu organisasi, membantu evakuasi warga pesisir terdampak banjir rob.
Sejak itu, setiap akhir tahun, saat musim hujan disertai angin, rob selalu datang di Telok Kombal. Mereka mengungsikan warga dengan rumah terendam parah. Hunaidi pun ikut memberikan bantuan air bersih dan makanan siap saji pada warga terdampak. “Saya baru sadar ternyata semua kelapa yang dulu masih hidup, sekarang mati,’’ kata Hunaidi.
Hunaidi masih ingat dan menyebut satu persatu rumah warga yang terendam rob pada Maret 2012 itu. Sebagian besar dari mereka sudah pindah. Hanya beberapa masih bertahan karena tidak mampu membeli lahan di tempat lain. Dulu, banjir rob sering terjadi di Telok Kombal. Sekali dalam setahun. Di akhir atau awal tahun, hanya terjadi sepekan, lalu air pun surut.
Kalau tak ada rob, masyarakat beraktivitas di pesisir maupun jalankan ritual, seperti ritual nyawen laut, yang mereka lakukan tiap tahun. Nyawen laut merupakan ritual tolak bala dan syukuran atas berbagai karunia Tuhan terhadap sumber daya laut. Tapi kenangan itu mulai hilang. Telok Kombal pesisir sekarang ini adalah kampung sekarat yang perlahan mulai ditinggalkan warganya. Meski begitu, Telok Kombal masih pesisir yang bertahan sebagai kampung nelayan.
Tak jauh berbeda dengan pesisir barat Kota Mataram, tepatnya di Kampung Bugis, Kecamatan Ampenan. Warga tak pernah tidur tenang di malam hari sejak pekan terakhir Desember 2024. Gelombang tinggi di akhir 2024 datang lebih parah dibandingkan akhir 2023.
Mirip dengan kejadian akhir 2022, gelombang tinggi disertai angin kencang menyapu rumah warga di sepanjang pesisir. Rumah yang dulu masih tersapu seperempat atau setengah, tinggal menunggu waktu roboh atau terseret gelombang.
Beberapa rumah rusak ditinggalkan penghuninya sejak awal 2023. Bangunan itu kini jadi tanggul penyelamat rumah di bagian belakangnya, tetapi tetap tak bikin tidur tenang. “Saya sudah memindahkan orang tua. Dulu, orang tua tinggal di sini,” kenang Faisal, pemilik rumah yang rusak.
Rumah Faisal berada persis di bibir pantai. Dulu, ada jarak dengan batas pasang tertinggi. Kalau pun ada rob, paling hanya sebatas air yang terlihat di depan teras. Namun sejak 2022, karena abrasi, gelombang langsung menghantam tembok rumah. Rumah yang ia bangun dari tabungan keluarga bertahun-tahun itu pun ambruk dihantam gelombang.

Rumah warga di Kampung Bugis, Kecamatan Ampenan, Kota Mataram yang sudah ditinggalkan penghuninya. Foto: Fathul Rahman/Mongabay Indonesia
Karena kondisi makin parah, warga membuat tanggul dari bambu tetapi tidak bisa mengatasi gelombang tinggi. Tanggul justru ikut terbawa gelombang. Fenomena ini pun memakan jalan pesisir Kampung Bugis. Warga tak bisa melintas saat gelombang besar. Juga karena abrasi, jalan pun amblas akhir 2024. Belum ada kejelasan nasib warga yang menjadi korban. Pejabat daerah sempat berkunjung pada akhir 2022, tetapi hingga kini belum ada penanganan apapun.
Warga di pesisir Mapak, Kecamatan Sekarbela, Kota Mataram, juga jadi korban rob dan sudah direlokasi. Pemerintah membangun rumah hunian baru bagi mereka. “Di Ampenan malah pemerintah bangun Taman Pantai Boom. Setiap tahun diperbaiki, sementara kampung nelayan yang rusak tidak ada tindakan,’’ kata Faisal. Padahal, kedua lokasi itu hanya berjarak 400 meter. Pantai Boom berada di sebelah selatan Kampung Bugis.
Di tengah mereka terdapat terminal Ampenan PT Pertamina. Tanggul kokoh berdiri untuk mengamankan aset vital nasional itu. Pemerintah juga membangun tanggul permanen di Pantai Boom untuk melindungi kawasan wisata Kota Tua Ampenan. Sedang masyarakat Kampung Bugis harus selalu siaga kalau sewaktu-waktu rob kembali masuk rumah mereka. “Kalau sore begini masih aman, bisa kita lihat ombak. Kalau malam itu yang bikin tidak tenang,’’ kata Rahmat, warga Kampung Bugis.
Tak jauh dari Rahmat, terpasang spanduk peringatan bahaya tsunami. Ironisnya, tidak perlu menunggu tsunami menggerus rumah warga di pesisir Kampung Bugis. Gelombang dan banjir rob setiap tahun mengikis jalan. Kini pun mulai mengikis tembok rumah warga. Kampung Bugis perlahan tenggelam.

Perwakilan pemerintah melihat kondisi warga yang masih bertahan di pesisir Telok Kombal, Desa Pemenang Barat, Kabupaten Lombok Utara. Sebagian warga masih bertahan karena tidak memiliki lahan untuk pindah. Foto: Fathul Rahman/Mongabay Indonesia
Bangun ketangguhan dan kolaborasi
Para kepala desa di Kecamatan Pemenang sadar akan kerentanan daerah mereka. Rob, longsor, banjir, kekeringan, atau bencana hidometerologi terjadi setiap tahun. Untuk itu, membangun ketangguhan lewat adaptasi dan kolaborasi menjadi pilihan. “Tidak bisa sendiri-sendiri menangani bencana,’’ kata Asma’at, Kepala Desa Pemenang Barat.
Belajar dari pengalaman gempa Lombok 2018, masyarakat di desa-desa Kecamatan Pemenang tidak bisa bekerja sendiri. Kolaborasi antar desa perlu dilakukan untuk membangun ketangguhan. Pada 2024, para kepala desa meneken peraturan desa bersama untuk penanggulangan bencana.
Kolaborasi ini untuk mengatasi bencana yang tidak mengenal administrasi wilayah, karena saling terkait satu sama lain. Misal, daerah-daerah pesisir di Desa Pemenang Barat, Pemenang Timur, dan Malaka, rentan dengan banjir rob dan banjir bandang disaat bersamaan. Banjir luapan sungai juga kerap terjadi karena dipengaruhi daerah lain, seperti faktor penyebab di hulu.
Untuk itu, katanya, perlu kolaborasi semua desa untuk menyelesaikan masalah ini. Begitu juga ketika terjadi bencana, antar desa bisa saling mendukung. Menyediakan lokasi pengungsian, transportasi, dan logistik akan mengurangi beban desa.
Datu Aryanata Bayuaji, Camat Pemenang Kabupaten Lombok Utara mengatakan bahwa kerjasama antar desa dalam penanggulangan bencana bisa menguatkan masyarakat. Kerjasama tidak hanya saat bencana, juga untuk kesiapsiagaan masyarakat.
“Perlu peningkatan kapasitas masyarakat, jadi selain kegiatan-kegiatan sosialisasi, edukasi kebencanaan bisa menjadi program bersama.” ungkap Datu Aryanata.
Sebagai kecamatan berbasis pariwisata, kerentanan bencana menjadi satu isu penting. Masalah yang terjadi di Gili Trawangan dan Desa Gili Indah terkait air bersih akan berdampak pada desa lain dan pariwisata di Lombok Utara umumnya. “Kita harapkan kerjasama ini bisa menjadi contoh bagi desa-desa lain, tidak hanya di Lombok Utara tapi semua daerah.” pungkasnya.
Sumber: https://www.mongabay.co.id/2025/01/05/hadapi-bencana-begini-strategi-kolaborasi-desa-desa-di-lombok/