Bocah-bocah kecil sedang bergerombol mengitari kapal Arka Kinari pada Minggu sore, 8 September 2024. Kapal Arka Kinari sedang bersiap menjadi panggung pertunjukan Filastine & Nova di Tanjung Mas, Semarang.
Kapal Arka Kinari adalah sebuah proyek yang melibatkan sebuah kapal yang dirancang dan dimodifikasi oleh duo musisi suami-istri Grey Filastine dan Nova Ruth Setyaningtyas. Proyek ini menggabungkan musik, seni, dan aktivisme dengan tujuan meningkatkan kesadaran masalah sosial dan lingkungan, serta memberikan platform untuk artis dan komunitas yang terpinggirkan. Arka Kinari yang dibuat pada 1947 di Rostock, Jerman ini juga menjadi tempat tinggal untuk kedua pasutri itu beserta para kru kapal. Kapal 18 meter tersebut dilengkapi panel surya dan dua layar. Tenaga angin membuatnya bebas karbon.
Selain menjadi kapal untuk berlayar, Arka Kinari juga telah dimodifikasi menjadi semacam studio keliling dan ruang pertunjukan. Filastine dan Nova menggunakannya untuk melakukan perjalanan ke berbagai tempat, menyelenggarakan konser, dan berkolaborasi dengan komunitas lokal sambil menyampaikan pesan-pesan sosial dan politik. Melalui proyek ini, mereka berusaha untuk mengeksplorasi dan memperkenalkan budaya serta isu-isu global dengan cara yang inovatif dan menyentuh langsung pada setiap hadirin yang datang.
Termasuk malam itu. Arka Kinari tampil dalam acara Salam Jumpa, sebuah rangkaian acara dari Nuju 20 Tahun Hysteria. Acara tersebut diinisiasi oleh Kolektif Hysteria dan Hysteria Artlab dari Semarang. Tampil sebagai pembuka acara ada Pohon Sarjono, Farid Stevy, Fanny Soegi, dan ditutup dengan Koplotronika. Halaman parkir depan KSOP Kelas I Semarang menjadi latar dari pertunjukan yang dilangsungkan untuk menyemarakkan ulang tahun Kolektif Hysteria tersebut.
Menjelang jam 8 malam, tulisan No Music on A Dead Planet dan gambar semacam jangkar yang merupakan logo Arka Kinari di layar kapal telah berubah. Itu pertanda Filastine & Nova tampil di atas Kapal. Para penonton yang awalnya berada halaman langsung mendekat ke arah Kapal. Di atas kapal, dua musisi lintas Benua itu menampilkan pertunjukan musik dengan visual yang ditembakkan ke layar kapal.
Mereka tampil dengan memainkan lagu-lagu di album Drapetomania dan beberapa hits andalan termasuk Colony Collapse. Pada visualnya kita dihadirkan sebuah perjalanan di dunia yang rasanya sedang tidak baik-baik saja. Dibuka dengan kompas yang terus berputar, kita dibawa ke sebuah dunia yang kering, banyak sampah berserakan, cerobong-cerobong asap yang keluar dari pabrik-pabrik, dan peperangan.
Selepas pertunjukan saya menemui Nova Ruth untuk mewawancarainya sekaligus minta izin untuk menginap di Kapalnya malam itu. Nova bercerita tentang perjalanan empat tahun Arka Kinari mengelilingi Samudera Indonesia. Berikut petikannya:
Setelah mengelilingi banyak lautan di Indonesia selama 4 tahun, jadi apakah Indonesia Negara yang se-maritim seperti disebutkan banyak orang?
Kalau di kepulauan kecil, terutama di Indonesia Timur, budaya maritim itu cukup kuat. Mereka masih menjalani Budaya Sasi, yang melindungi sebagian dari laut supaya hasilnya itu maksimal ketika diambil. Terus orang-orangnya bisa berenang, punya kemampuan untuk membuat akses menghubungkan satu pulau dengan yang lainnya. Kalau di situ kekuatan maritimnya terasa.
Tapi untuk semacam penyebaran informasi, pendidikan, infrastruktur yang seharusnya ada pada Negara Maritim, itu tidak bisa dinilai sebagai Negara Maritim yang maju.
Jadi misalnya infrastruktur untuk kapal layar, hanya ada kapal dagang atau tidak ada regulasi untuk kepemilikan kapal pribadi. Kapal itu hanya untuk keperluan komersial. Jadi infrastrukturnya hanya untuk kapal penumpang atau kapal kargo.
Rasanya budaya maritim itu ada di Indonesia Timur. Mereka itu masih terpapar keindahan alam, jadi kalau ada tuntutan untuk keseimbangan alam itu orang-orang Indonesia timur masih bisa berkata, masih valid. Tapi kalau orang Jawa, orang Sumatera, orang Kalimantan, atau Bali itu kan lahir sudah melihat kekacauan alam kan. Jadi bahkan kita tidak mempelajari untuk mempertahankan, karena kita hidup dalam kerusakan.
Indonesia Timur sebelah mana saja?
NTT, NTB, Flores, Maluku, itu daerah-daerah yang masih terpapar keindahan. Meskipun hari ini sudah tereksploitasi besar-besaran tapi ada ruang-ruang untuk menikmati kekayaan seperti koral-koral di beberapa tempat yang masih bagus. Meskipun ada pengeboman di mana-mana.
Menurutku yang jadi pertanyaan memang Indonesia ini negara kepulauan tapi transportasi utama untuk pergi ke pulau-pulau itu masih menggunakan pesawat sih. Kadang saya merasa itu kurang efisien dalam beberapa hal. Jadi hal-hal apa yang paling menjengkelkan ketika berlayar di Indonesia?
Kalau tentang transportasi mungkin karena aku hanya bergerak dengan kapalku ya jadi kurang bisa menilai dengan transportasi yang lain. Tapi merasakannya ketika menerima kru baru. Kadang mendatangkan masalah ketika harus mendatangkan seorang kru baru ke sebuah tempat yang terpencil, itu agak susah.
Seperti ketika membeli tiket ferry, dikabarkan ada beberapa kelas. Ada kabin yang bisa disewa tapi tidak bisa dibeli lewat websitenya. Tidak jelas sistemnya. Itu untuk mencari tahu bagaimana cara mendapatkan kabinnya saja sangat susah. Sampai pada akhirnya ada cerita selama berhari-hari “itu biasanya beli tiket regular dulu yang ekonomi baru nanti di kapal ada yang jual”. Terus pas di kapal, udah deal, oh ternyata ini perwiranya sudah menawarkan kabinnya buat yang lain. Itu terjadi loh.
Jadi ternyata kok aneh. Terus kapal itu disebut korupsi itu kan tidak bisa menyalahkan juga kenyataannya kalau dapat cerita dari kru aku sendiri yang secara official adalah pelaut dengan sertifikat dan sebagainya, mendapatkan pekerjaan sebagai pelaut itu bukanlah hal yang mudah. Lalu sekarang sudah sangat mahal dan tadi pelaut di Indonesia itu ya cuma untuk kerja aja. Bukan karena mereka suka melaut. Enggak passionate. Karena mereka butuh pekerjaannya pada akhirnya para pelaut kita punya kompetensi yang cukup rendah bahkan tidak bisa berenang itu banyak. Ada juga yang takut sama laut itu kan malah membahayakan keamanan kapal.
Ceritanya banyaklah. Di daerah-daerah terpencil itu kapal kita juga jadi menolong kapal-kapal nelayan karena kapalnya tidak layak, terus mereka tidak punya alat untuk membetulkan kerusakan. Jadi kapal kita itu kayak bengkel.
Kalau soal pengrusakan alam, selama perjalanan di Indonesia apa saja yang sudah disaksikan?
Ada sesuatu yang general terjadi itu kalau ngomong soal kelautan ya banyak orang yang tidak mengerti ada apa di bawah lautan. Terus ada kayak behaviour-nya manusia berpikir bahwa laut itu kayak vacuum cleaner-nya. Jadi membuang apa-apa itu di laut.
Tapi itu susah. Kayak di tempat terpencil sekalipun mereka terkena buangan dari sampah air karena aliran kan banyak popok-popok gitu kan. Jadi kadang mikir kenapa orang masih membuang popok itu ke Sungai dan itu karena ada semacam mitos bahwa bayi itu kalau popoknya dibuang ke tempat sampah lalu pada akhirnya dibakar itu bayinya bisa gatal-gatal atau merasa terbakar. Hingga pada akhirnya dibuang ke laut atau sungai. Padahal jaman dulu kan kita gak kenal popok. Kayak ada perlu semacam peningkatan kapasitas itu mesti diberikan pada masyarakat kita.
Tidak itu saja sih. Seperti kita sudah tertinggal jauh dari negara-negara tetangga kita yang dekat-dekat. Kayak misalnya tentang penanganan sampah dan penggunaan popok yang tidak sekali pakai itu kan sudah banyak toh, tapi kan enggak tahu kenapa kita kok selalu tertinggal. Mungkin karena terlalu banyak orang dan juga informasi. Informasi sudah menyebar tapi tidak dengan baik.
Kalau yang paling indah dan menyenangkan ketika melaut di Indonesia, pengalaman apa yang bisa diceritakan?
Interaksi antar komunitas, apalagi komunitas tradisi. Itu special sekali. Ada kayak di Waibao. Di Waibao itu kita berdiskusi kan dengan Masyarakat setelah storytelling performance. Terus di Watu Krus, itu di Flores. Ada juga di Kojadoi, atasnya (utara) Maumere. Mereka itu selalu menyambut dengan luar biasa. Ada solidaritas orang laut, kalau bisa dibilang begitu. Tapi ini kalau kita ada di wilayah Indonesia Timur itu rasanya semacam di dongeng-dongeng, ketika berinteraksi dengan orang-orang lokal. Tapi permasalahannya, menurutku, orang lokal kita menganggap kelompok mereka itu tidak modern dan tidak bisa dibandingkan dengan orang-orang kota gitu. Minder. Padahal kan pengetahuannya itu jauh lebih asli daripada kita yang hari ini. Banyak hal yang mereka pikir tidak modern, menurut kami, adalah yang dibutuhkan hari ini.
Kalau soal pemandangan, itu tetap dipegang daerah sana juga. Daerah Maluku, pokoknya Indonesia Timur itu keren. Keren banget. Makanan juga kan akhirnya kita ketemu orang-orang yang punya semangat-semangat mengembalikan makanan asli di luar nasi, terus bibit-bibit asli sana. Seperti itulah orang-orangnya.
Sumber:
https://jurno.id/arka-kinari-dan-petualangan-samudera-tanpa-batas