Agar pelestarian Gunung Rinjani naik kelas: berdayakan warga lokal
Marcellinus Mandira Budi Utomo, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Gunung Rinjani adalah taman nasional dengan bentang alam sangat indah. Kawasan berstatus Cagar Biosfer versi Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) ini menjadi rumah bagi ratusan jenis flora dan fauna, termasuk anggrek, beberapa jenis rotan, lutung, elang bondol, dan sebagainya. Mata air dari kawasan ini juga menghidupi 3,2 juta warga di sekitarnya.
Di tengah melimpahnya sumber daya alam di Gunung Rinjani, masyarakat di sekitarnya masih belum kebagian banyak berkah. Berdasarkan data Pemerintah Nusa Tenggara Barat, masih ada 18 dari total 37 desa di sekitar Taman Nasional Gunung Rinjani yang berstatus desa miskin.
Berkah dari Gunung Rinjani semestinya bisa menetes lebih banyak kepada masyarakat. Merekalah yang setiap hari bersinggungan dengan alam Rinjani, sekaligus secara tak langsung menjaga keutuhannya secara turun-temurun.
Indonesia memiliki peluang mengungkit kesejahteraan masyarakat sekitar sembari melestarikan alam Gunung Rinjani, bahkan memperkuat usaha pelestariannya. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah memperkuat kemitraan konservasi bersama masyarakat.
Kemitraan konservasi di Gunung Rinjani
Kemitraan Konservasi adalah salah satu bentuk Perhutanan Sosial yang melibatkan masyarakat mengelola sebagian wilayah Kawasan Pelestarian Alam dan Kawasan Suaka Alam, seperti di taman nasional.
Kemitraan merupakan cara pandang baru agar pengelolaan kawasan konservasi harmonis, bermanfaat, dan menempatkan warga sebagai salah satu subyek atau pelaku konservasi. Melalui skema ini, kawasan konservasi diharapkan tidak lagi menjadi area tertutup yang sepenuhnya membatasi masyarakat dan memicu konflik tenurial.
Ada dua bentuk Kemitraan Konservasi, pertama adalah kerja sama pemulihan ekosistem di zona rehabilitasi.
Bentuk kedua adalah pemberdayaan masyarakat. Pemerintah membolehkan masyarakat mengambil dan mengelola hasil hutan bukan kayu dari kawasan konservasi (zona tradisional), seperti getah, daun, buah, rumput, madu, dan sebagainya.
Syaratnya, masyarakat harus membantu menjaga kawasan konservasi dari perburuan ataupun penebangan ilegal, ataupun kebakaran,dan pemanenan yang tidak lestari.
Hasil hutan jenis ini berpotensi besar menyokong penghidupan masyarakat sekitar. Sebab, sekitar 90% nilai hutan berasal dari hasil hutan bukan kayu.
Taman Nasional Gunung Rinjani telah menerbitkan surat keputusan Kemitraan Konservasi bagi dua kelompok pemulihan ekosistem dan delapan kelompok pemberdayaan masyarakat. Delapan kelompok ini mendapatkan izin memanen madu, nangka, rumput, rotan, rumbia, kemiri, dan pakis dari Gunung Rinjani.
Saya mengamati bagaimana skema Kemitraan Konservasi berjalan di kawasan ini selama 2023. Temuan saya, sejauh ini kemitraan masih belum efektif mengungkit kesejahteraan masyarakat karena beberapa hal.
Di sekitar Gunung Rinjani, misalnya, masyarakat belum mampu mengolah dan membudidayakan hasil hutan non kayu, seperti rotan jernang, pranajiwa, jamur morel, madu, dan hasil lainnya. Masalah kemampuan pengolahan juga dapat kita temui dalam perhutanan sosial di daerah lainnya.
Pengolahan dan budi daya adalah kemampuan yang sangat penting agar warga sekitar hutan tak tergantung dengan penjualan bahan baku. Penjualan hasil olahan dan budi daya juga dapat meningkatkan nilai penjualan sehingga memperbesar kontribusi hasil hutan dalam pendapatan masyarakat.
Selain pengolahan, usaha warga juga masih terbentur dengan keterbatasan kemampuan pemasaran dan semangat kewirausahaan.
Saya menganggap persoalan ini terjadi karena pembentukan kelompok masyarakat Kemitraan Konservasi masih bersifat top-down. Artinya, selama ini masyarakat hanya mendapatkan penawaran pengelolaan dari pengelola Taman Nasional Gunung Rinjani. Pola ini membuat inisiatif dari mitra lebih rendah dibandingkan pola bottom-up atau pengajuan dari masyarakat.
Kemitraan Konservasi yang lebih efektif
Kemitraan Konservasi Gunung Rinjani perlu meningkatkan nilai tambahnya agar lebih menguntungkan masyarakat sekitar.
Namun, kemampuan pengelola Taman Nasional Gunung Rinjani memberikan dukungan finansial bagi pengembangan Kemitraan terbatas. Karena itulah, masyarakat mitra konservasi membutuhkan dukungan dari pihak luar.
Mereka, misalnya, membutuhkan teknologi pengelolaan resin dari rotan jernang. Resin ini merupakan komoditas ekspor untuk bahan baku obat, cat pelapis, dan sebagainya. Penjualan resin yang sudah diolah akan menambah nilai penjualannya, sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat.
Masyarakat juga perlu mendapatkan sokongan untuk berserikat membentuk koperasi. Tujuannya untuk memperkuat aktivitas pemasaran produk hasil hutan bukan kayu, terutama komoditas yang melimpah dan bernilai tinggi.
Indonesia dapat mencontoh koperasi yang tengah dikembangkan dan diarusutamakan untuk menyejahterakan para petani hutan di Amerika Latin dan Amerika Tengah. Hadirnya koperasi menjadikan petani memiliki posisi tawar yang lebih tinggi dan berkedudukan lebih setara dengan para pembeli.
Lebih dari itu, koperasi juga dapat memicu masyarakat dalam memperbaiki posisi mereka dalam sistem pasar, sembari memegang prinsip gotong-royong. Koperasi pun berpotensi merangsang perbaikan tata kelola bisnis mereka yang lain, seperti jasa wisata.
Kemitraan Konservasi untuk mendukung pelestarian Gunung Rinjani perlu naik kelas dan membutuhkan kolaborasi setidaknya triple-helix: masyarakat, pengelola taman nasional, dan ahli di bidangnya. Pemerintah daerah juga dapat ikut serta guna memenuhi tujuan menyejahterakan warganya.
Kolaborasi seperti ini, juga perlu menjadi model dasar untuk skema Kemitraan Konservasi lainnya di Indonesia. Harapannya, target konservasi Indonesia yang bermanfaat bagi keanekaragaman hayati dan penanganan perubahan iklim juga mengungkit taraf hidup masyarakat.
Marcellinus Mandira Budi Utomo, Peneliti Madya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.