Bagaimana masyarakat bisa menyampaikan gagasan mereka? Saban hari hal ini terus dipikirkan oleh Yayasan Bingkai Cerita Rakyat (Bicara). Berdiri sejak tahun 2022, Yayasan Bicara terus berupaya untuk menjadi wadah belajar bagi publik untuk bersuara, menghadirkan zona aman dan nyaman bagi siapa saja untuk menyampaikan gagasan.
Sejak tahun 2020, Andi S.B Saragih atau yang akrab disapa Bang Andi membagikan kegelisahannya dalam group Facebook yang diberi nama “Bingkai Cerita Rakyat”. Sejak dulu ia memang menyimpan harapan untuk bisa punya ruang berbagi cerita dengan masyarakat. Di group itu, semua bisa berbagi cerita dan pendapat. Hingga kini, grup Facebook yang dibuatnya telah memiliki anggota sebanyak 3.500 orang.
Dulu Andi sering bertugas mengorganisir masyarakat di kampung-kampung dan mencatat cerita dari pengorganisasi tersebut. Sejak tahun 2003, ia mulai merasa bahwa mencatat dan mendokumentasikan segala sesuatu yang ada di masyarakat dalam suatu wilayah dan membagikan ceritanya adalah hal yang penting. Tidak hanya persoalan, berbagai potensi di suatu wilayah pun dapat diinformasikan lebih luas. Dengan begitu, berbagai hal bisa terdokumentasikan.
Akhirnya di tahun 2022, ia menuangkan gagasan itu ke wadah yang lebih serius lagi dengan mendirikan Yayasan Bicara, singkatan dari Bingkai Cerita Rakyat. Kini Andi yang menjabat sebagai Direktur Yayasan Bicara, sehari-hari juga bertugas sebagai komisioner Informasi Provinsi Papua Barat.
Dok. Yayasan Bicara
Jurnalisme warga di Papua Barat
Di Papua Barat, sebagaimana berbagai wilayah lainnya di Indonesia juga terdiri dari berbagai wilayah yang terpencil dan sulit diakses. Akses internet bahkan belum merata ke semua wilayah. Karena itu, mendengarkan pendapat dari mereka tentu akan menjadi sebuah sudut pandang lokal yang orisinil. Namun, memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berbicara tentu tidak dapat dilakukan begitu saja, butuh proses hingga masyarakat dapat menyampaikan pendapat atau minimal menceritakan kondisi di wilayah mereka sendiri dengan baik.
“Sesederhana mereka bicara itu orisinil, meskipun tidak memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik namun apa yang mereka sampaikan akurat dan orisinil.” Ungkap Andi.
Menurut Andi, media mainstream itu sulit diakses oleh masyarakat di Papua Barat yang hendak menyampaikan pendapat atau informasi secara langsung. “Pengalaman bertahun-tahun yang saya lihat, media mainstream ini tidak semua warga bisa mengakses. Hanya orang tertentu saja, tapi warga di kampung dan komunitas itu belum tentu padahal mereka juga punya keinginan untuk berbagi informasi, atau mereka juga sebenarnya punya informasi yang penting untuk pemerintah. Mereka mau ke media tapi itu sulit, butuh biaya dan waktu. Jika dia diwawancara lalu disunting juga ya akan beda lagi bahasa dan maknanya. Makanya kalau warga langsung menyampaikan, itu lebih orisinil.”Papar Andi.
Dok. Yayasan Bicara
Yayasan Bicara dalam mendorong jurnalisme warga di Papua Barat
“Bicara jurnalisme warga sebenarnya jauh lebih luas dari sekadar memposting di medsos, tapi kita ingin ada budaya menganalisis dan melihat lebih dalam informasi yang mereka terima.” Karena itulah, kali ini Yayasan Bicara ingin memfokuskan pendampingan ke arah literasi digital. Yayasan Bicara memiliki prinsip inklusi dan lestari, untuk sampai ke tahap inklusi dalam pembangunan maka Bicara menganggap harus mengejar kesempatan berpendapat bagi semua orang.
Kali ini, Yayasan Bicara juga bekerja sama dengan Yayasan BaKTI untuk peningkatan literasi digital masyarakat di Papua Barat. Jika sebelumnya Yayasan Bicara memberikan pelatihan kepada mahasiswa, kali ini Bicara tidak membatasi masyarakat mana dalam program mereka. “Sepanjang ia masyarakat Papua Barat apapun latar belakangnya, kami mengajak mereka untuk bersuara. Setiap latar belakang punya ceritanya dan persoalannya masing-masing yang dihadapi.” Kata Andi. “Untuk program dengan BaKTI, kita modifikasi dengan melibatkan banyak masyarakat di komunitas atau kampung. Dulunya kita melibatkan mahasiswa saja, tapi sekarang ingin kita coba berbagai latar belakang.” Tambahnya.
Salah satu lokasi program dari Yayasan Bicara adalah Pulau Lemon, di sana masyarakat diajak menceritakan Pulau Lemon dalam tiga aspek yaitu sosial-budaya, lingkungan dan sejarah. “Mungkin mereka tidak bisa mengerti apa itu ekologi atau biofisik, tapi ketika minta mereka mengcapture dengan foto ternyata mereka sangat baik.” Ungkap Andi.
Mereka, para peserta berkeliling pulau dan memotret apa saja lalu kembali dan menceritakan foto-foto mereka. Dengan begitu, kita mulai dari wilayah mereka yang paling dekat dengan mereka. Namun justru dengan begitu, info yang diperoleh menjadi sangat informatif dan beragam. “Kita yang punya bekal pengetahuan dan metode jurnalistik ini juga belum tentu bisa bercerita sedalam itu karena keterbatasan akses.” Kata Andi.
Hal yang menarik adalah Yayasan Bicara menjadikan momen ini sebagai pintu. Masuk untuk mengetahui permasalah yang ada di masyarakat. Misalnya permasalahan sampah, dengan berupaya menuliskan cerita tentang wilayah mereka, nantinya mereka bisa menangkap dan menemukan sendiri permasalahannya. “Jadi kita tidak masuk langsung bicara tentang sampah tapi menggunakan pintu masuk salah satunya jurnalisme warga ini.” Beber Andi.
Dari upaya membangkitkan jurnalisme warga ini, Yayasan Bicara berharap ada perubahan pemahaman yang diikuti dengan perubahan sikap. “Contohnya Pulau Lemon yang didekati, mereka beranggapan bahwa sampah ini dari luar, bukan dari dalam pulau sehingga dibiarkan saja. namun dengan diskusi dan literasi, kita berharap nanti ada satu titik perubahan untuk tidak menyalahkan orang luar tapi mau mengelola bahkan mengolah sampah yang ada. Namun jika itu datang dari kita sebagai program yang bagaikan turun dari langit, tentu akan sangat sulit. Tiba-tiba datang mesin pencacah plastik itu kan justru mereka jadi tidak ada kesadaran, jadi mestinya dimulai dari kesedaran mereka dulu.” Papar Andi menceritakan pengalaman mereka di Pulau Lemon.
Dok. Yayasan Bicara
Ada agenda yang lebih besar dari mengajarkan masyarakat mengetahui wilayahnya, namun membawa perubahan dari situ. Tantangan yang dihadapi memang adalah konsistensi, namun menggunakan metode photostory justru membuat mereka bersemangat, mengingat ini salah satu metode yang disenangi dan membangkitkan rasa penasaran karena diselingi dengan belajar fotografi juga.
Andi menceritakan awal mula mengajak masyarakat berlatih. “Awalnya memang mereka mengira bahwa belajar photografi tuh yang kita akan pelajari adalah teknisnya seperti angel, pencahayaan dan lain-lain. Ya memang itu satu hal. Namun ada banyak hal lain, karena ini kan bicara photostory. Bagaimana menggali informasi dan melihat sudut pandang.” Katanya.
Andi menceritakan tentang mimpi Yayasan Bicara untuk mendorong pembangunan berkelanjutan dengan menjadikan isu pembangunan ini lebih inklusif. “Ini hadir dari kegelisahan kami juga, kadang-kadang kita NGO bicara program terlalu tinggi tapi tidak sampai di masyarakat. kami berupaya juga bagaimana isu-isu yang kita jalankan yang mungkin berat untuk dipahami masyarakat awam, seperti pemetaan wilayah adat, itu bisa menjadi inklusif, tidak eksklusif. Caranya dengan memperkenalkannya kepada masyarakat terutama anak-anak muda.”
Yayasan Bicara percaya bahwa Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memastikan keselamatan ekosistem dan kesejahteraan manusia secara harmonis dan sinergis, agar pembangunan berkelanjutan menjamin hak publik secara adil tanpa pandang bulu, maka diperlukan pendekatan inklusif.
Info Lebih Lanjut:
Cerita tentang Yayasan Bicara juga dapat Anda simak melalui Kanal Youtube Yayasan BaKTI pada link https://youtu.be/HPF_R3UrYGA?feature=shared