Komodo adalah saudara orang Baar. Karena itu, berkomitmen melestarikan hewan endemik terancam punah ini, orang Baar sepakat mengurangi periode perburuan adat. Namun, apakah upaya kolaboratif ini akan membantu meningkatkan ekonomi warga adat Baar?
Perbukitan Torong Padang di semenanjung utara Pulau Flores tampak menghitam pada awal Oktober 2023. “Baru sepekan lalu dibakar,” kata Amar Ma’ruf Malik Dulung. Di puncak bukit, lelaki 25 tahun itu menunjuk lereng di seberang, “Lahan itu sengaja dibakar sebagai persiapan menjelang malang.”
Malang merupakan istilah setempat yang mengacu budaya berburu tradisional suku Baar yang tinggal di Riung, Kabupaten Ngada. Hewan-hewan yang diburu, kata Amar, adalah rusa Jawa (Rusa timorensis), yang tersebar di berbagai pulau di Indonesia, dan rusa Timor (Cervus timorensis), satwa endemik Nusa Tenggara Timur. Selain itu, babi hutan, landak, dan musang.
Amar adalah salah satu generasi muda suku Baar yang tinggal di Mortauk, Desa Sambinasi Barat. Sebagian besar anggota suku Baar bermukim di sepanjang pantai utara Riung yang berhadapan dengan Laut Flores.
Anggota suku Baar, yang mengidentifikasi diri sebagai masyarakat adat, telah tinggal di Sambinasi selama ratusan tahun, ujar Hasan Abas, tetua adat Baar yang bertugas mengurus ritual adat. Tidak ada angka tercatat terkait jumlah populasi warga adat Baar saat ini, tapi menurut lelaki 56 tahun itu, anggota komunitasnya berjumlah sekitar 200 orang.
“Berburu merupakan tradisi warisan nenek moyang yang setiap tahun wajib kami lakukan,” katanya. Ia lalu melantunkan syair pembuka perburuan adat. Bagi komunitas Baar sendiri, perburuan adat adalah cara mereka “menetapkan wilayah.”
Sekitar dua bulan sebelum perburuan adat, warga adat Baar mulai membakar sabana di tempat-tempat tertentu yang tercakup dalam wilayah perburuan adat. “Lahan dibakar sehingga rusa tidak bisa bersembunyi saat diburu,” jelas Hasan.
Amar Ma’ruf Malik Dulung (kiri) menemani Tim Floresa berkeliling perbukitan di sekitar Sambinasi pada 2 Oktober 2023. Tugu di sebelah kiri merupakan penanda perbatasan Kabupaten Ngada-Manggarai Timur. Tugu dibangun di perladangan alih-alih di sekitar sungai, seperti lumrahnya penanda perbatasan di kawasan lain. (Anastasia Ika/Floresa)
Sebelum membakar sabana, keturunan Baar lebih dulu melakukan ritual adat. Dalam ritual itu, mereka memberi tahu mbau, nama lokal komodo (Varanus komodoensis), supaya lekas mencari gua-gua perlindungan sehingga terhindar dari dampak pembakaran.
Tanjung Torong Padang, hamparan seluas 800-an hektare, tempat berburu tradisional suku Baar, juga merupakan habitat mbau. Pengetahuan komunitas meyakini mbau lahir dari seorang leluhur perempuan suku Baar. Maka, kata Hasan, “kami diajarkan untuk tidak bersikap kasar, apalagi menghina mbau, karena dia saudara kami.”
“Itulah sebabnya hingga saat ini kami masih sangat menghormati mbau, termasuk saat berburu adat.” Dalam perburuan adat, kata Hasan, komodo juga ambil bagian. “Bila mbau berhasil menangkap seekor rusa, kami tidak mengambil [rusa] karena itu bagiannya [komodo].”
Sebaliknya, tetua adat yang memimpin perburuan acapkali berseru-seru dari atas bukit. Ia meminta komodo tidak mengejar rusa yang berlari mendaki perbukitan karena itu jadi tempat tinggal manusia.
“E miu pereng wa, on rapang gami,” kata Hasan dalam bahasa Mortauk. “Kalian [komodo] tunggu di lembah, rusa di bukit jatahnya manusia.” Komodo, katanya, mengabulkan permintaan tetua adat. “Alih-alih menaiki bukit, mereka [komodo] akan menjaga dan menangkap rusa yang berlari turun menuju lembah.”
Pakan Berlimpah untuk Rusa
Pemerintah Indonesia mulai memberikan perhatian terhadap komodo di Riung sekitar 1992-1996. Diatur melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, sejumlah hutan lindung terbentuk, termasuk Cagar Alam Wolo Tado, Cagar Alam Riung, dan Taman Wisata Alam Laut 17 Pulau di Laut Flores. Semuanya itu berada di Riung yang kini dikelola Balai Besar Konservasi dan Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Timur.
Usai penetapan skala nasional, pemerintah melarang masyarakat membakar sabana untuk menghindari kerusakan ekosistem dalam kawasan konservasi. Namun, beberapa ahli dan masyarakat adat itu sendiri berpendapat praktik tersebut bersifat protektif dan tak menyebabkan kerusakan lingkungan.
“Membakar sabana membantu rumput tumbuh lebih cepat pada musim hujan, menyediakan makanan berlimpah bagi rusa,” kata Cypri Paju Dale, antropolog dan aktivis lingkungan kelahiran Flores, yang risetnya berfokus pada hubungan antara pariwisata dan warga adat di Flores.
Ibrahim Malik, salah satu kepala suku Baar, berkata warga adat masih membakar sabana sebelum berburu adat. “Ini tradisi kami. Kami akan terkena dampak buruk bila tak melakukannya,” katanya. Dampak buruk yang disebutkannya termasuk gagal panen dan tiba-tiba jatuh sakit.
Pembakaran sabana hanya di tempat-tempat yang jadi lokasi perburuan adat, yang “akan memacu pertumbuhan rumput baru. Rusa menjadi gemuk dan komodo yang memangsanya tak akan kelaparan,” ujar lelaki 62 tahun itu, yang juga ayah Amar.
“Perburuan adat dan pembakaran sabana bukanlah tradisi yang mengancam kelestarian komodo,” tambahnya, “dan belum pernah terjadi seekor komodo terpanggang api saat pembakaran sabana.” Willem Amu Blegur, ahli ekologi dari Universitas Timor, bersama dua peneliti lain dari Universitas Gadjah Mada dalam kajian “Vegetasi Habitat Komodo dalam Bentang Alam Riung dan Pulau Ontoloe di Nusa Tenggara Timur” (2017), menemukan “ketersediaan sabana di Pulau Flores merupakan sumber makanan bagi rusa, pakan komodo. Mereka menambahkan, “pembakaran sabana skala kecil tidak berpengaruh pada ketersediaan habitat yang dibutuhkan komodo.”
Sekali dalam Dua Tahun
Meski begitu, beberapa pihak lain memercayai manfaat nyata dalam mengendalikan pembakaran sabana. Yayasan Komodo Survival Program, organisasi nirlaba berbasis di Denpasar, memberikan perhatian khusus terhadap kelestarian komodo serta keanekaragaman hayati dan habitatnya.
Bekerja di Riung sejak Agustus 2016, organisasi itu berkolaborasi dengan warga adat Baar dalam upaya pelestarian komodo di Torong Padang. “Warga adat lambat laun menyadari dampak buruknya [pembakaran] sehingga mereka sepakat mengurangi jumlah periode perburuan adat dalam setahun,” kata peneliti Komodo Survival Program, Achmad Arifieandy.
Kesepakatan dimufakati pada Maret 2019 dalam pertemuan adat yang dihadiri perwakilan Yayasan. Lima tahun sebelumnya, warga adat Baar berburu adat selama dua kali dalam setahun, masing-masing selama tiga hari. Kini mereka berburu adat hanya sekali dalam dua tahun, yang selesai dalam waktu 3-4 hari.
Warga adat Baar juga menyepakati aturan adat yang ketat. Salah satunya memufakati rusa hanya untuk dikonsumsi pribadi, bukan untuk memenuhi kebutuhan pasar. “Kami sepakat siapa pun tidak boleh berburu di sana di luar waktu perburuan adat,” kata Ibrahim.
Habitat di Tepi Laut
Komodo merupakan hewan endemik Indonesia yang hanya terdapat di Nusa Tenggara Timur. International Union for Conservation of Nature menetapkan komodo sebagai hewan terancam punah dalam kongres di Perancis pada 2021. Lembaga konservasi internasional itu mencatat populasi komodo dewasa sebanyak 1.383 individu pada 2019, tahun terakhir pencatatan mereka.
Komodo hidup di dalam maupun di luar kawasan konservasi di Pulau Flores dan sekitarnya, misalnya di Taman Nasional Komodo; Golo Mori di Kabupaten Manggarai Barat; Pota di Kabupaten Manggarai Timur; dan di Torong Padang. Dikelilingi belasan pulau kecil di Laut Flores, kontur daratan Riung didominasi barisan perbukitan dengan pohon-pohon jati menjulang.
Perbukitan yang berdekatan dengan pesisir Laut Flores itu kaya akan mangan, ujar Ma’ruf Malik Dulung. Karena itulah, tambahnya, “bukit-bukit itu dibeli pemodal dan mengubah Riung menjadi perbukitan tambang batu hitam.”
Perbukitan di Riung yang terhubung dengan Laut Flores. Perbukitan itu kaya mangan dan ditambang. (Anastasia Ika/Floresa)
Desa Sambinasi dan pusat Kecamatan Riung terpaut sekitar 10 kilometer. Sambinasi berada di dataran lebih tinggi yang terhubung dengan pusat Riung melalui seruas jalan berkelok-kelok. Jalan itu sempit dan membuat sesama pengendara mobil dari arah berlawanan mesti mengatur siasat; siapa minggir duluan, memberi jalan bagi pengendara yang datang dari seberang.
Pemantauan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam NTT pada 2018 mencatat 23 ekor komodo pada kelas umur remaja dan dewasa hidup di Torong Padang. Ciri fisiknya umumnya berbadan kecil, berwarna keemasan, lebih liar dan agresif. Ia berbeda dengan komodo di Taman Nasional Komodo yang lebih gemuk, warnanya lebih gelap, dan lebih jinak.
Cypri Paju Dale menduga perbedaan warna dan ukuran komodo di Taman Nasional Riung dan Taman Nasional Komodo dipicu kontur habitat dan jenis mangsa. “Perlu penelitian lebih lanjut mengenai fisiologis komodo di kedua kawasan konservasi tersebut,” ujarnya dan menambahkan, “masih sedikit peneliti yang berfokus pada komodo.”
(bersambung)
Sumber: https://projectmultatuli.org/warga-baar-di-flores-pertahankan-adat-untuk-konservasi-saudara-komodo/