Indonesia telah berkomitmen untuk mengadopsi Agenda Pembangunan 2030 dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan di New York, AS pada September 2015. Agenda pembangunan baru ini bertujuan untuk melanjutkan berbagai komitmen bersama, di antaranya untuk mengakhiri kemiskinan, kelaparan, dan mengurangi ketimpangan, serta mengatasi perubahan iklim dan menjaga lingkungan.
Ada 5 (lima) dimensi fundamental dalam TPB yang membedakannya dari agenda sebelumnya (Tujuan Pembangunan Millenium/MDGs). Dimensi-dimensi tersebut adalah: 1) People; 2) Planet3) Prosperity: 4) Peace; dan 5) Partnership. Kelima dimensi fundamental menekankan prinsip people-centered, inklusif, universal, kesetaraan, keberlanjutan, dan interdependensi dari seluruh isu, pemangku kepentingan, dan aktor tidak terkecuali pemuda dan remaja yang berperan dalam pencapaian TPB. Tulisan ini akan memotret situasi pemuda di wilayah Timur Indonesia terkait indikator-indikator dalam TPB berdasar Laporan Baseline TPB Pemuda dan Remaja di Indonesia yang disusun oleh BAPPENAS dan the SMERU Research Institute dengan bantuan dari UNFPA.
Salah satu pesan kunci dari laporan tersebut adalah pencapaian target TPB Pemuda dan Remaja di wilayah timur Indonesia menghadapi tantangan yang sangat berat karena kondisi baseline yang ada sekarang masih jauh tertinggal di banding wilayah lain.
TPB & Kondisi Pemuda dan Remaja di KTI
Kawasan Timur Indonesia adalah rumah bagi sekitar 13 juta pemuda dan remaja1 atau sekitar 15 persen dari keseluruhan pemuda dan remaja di Indonesia. Dari 13 juta tersebut, setengahnya (52%) ada di Sulawesi, hampir sepertiganya (28%) ada di Nusa Tenggara, dan sisanya (sekitar 20%) ada di Maluku-Papua. Walaupun jumlah dan proporsinya kecil, kondisi pemuda dan remaja di KTI yang terkait dengan target yang akan dicapai dalam TPB tahun 2030 cenderung lebih buruk dari kondisi pemuda dan remaja di wilayah lain di Indonesia.
Pada 2015, sekitar 15 persen atau 3 dari 20 pemuda dan remaja di KTI adalah pemuda dan remaja miskin. Angka ini adalah 1,5 kali lipat dari angka kemiskinan nasional. Provinsi dengan pemuda dan remaja termiskin di KTI adalah provinsi dengan pemuda dan remaja termiskin di Indonesia (warna merah paling tua dalam Gambar 1) dan hanya ada 3 dari 12 provinsi di KTI yang angka kemiskinan pemuda dan remajanya di bawah angka nasional (Maluku Utara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara).
Untuk Tujuan Mengatasi Kelaparan, angka prevalensi pemuda dan remaja dengan kerawanan pangan sedang dan berat di KTI adalah sebesar 16,4% atau hampir 2 kali lipat dari angka prevalensi nasional. Bahkan di NTT, 1 dari 3 pemuda dan remaja pernah mengalami kerawanan pangan berat dan sedang. Hanya ada 1 provinsi di KTI, yaitu Sulawesi Selatan, yang memiliki prevalensi lebih kecil dari prevalensi nasional. Kita tahu bahwa pemuda dan remaja membutuhkan asupan gizi yang cukup untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan mereka agar optimal. Dengan angka baseline di atas menunjukkan parahnya permasalahan kecukupan pangan di antara pemuda dan remaja di KTI. Dari data yang ada, persoalan gizi pemuda dan remaja di KTI tidak hanya yang terkait kondisi undernutrisi yang persisten saja, namun juga kasus berat badan berlebih dan obesitas yang meningkat yang dikenal dengan istilah beban ganda nutrisi. Berdasarkan literatur yang ada, kondisi status gizi pemuda dan remaja sangat dipengaruhi oleh akses air minum dan sanitasi yang layak. Jika dilihat dari data yang ada, kondisi akses air minum dan sanitasi layak di KTI memang di bawah angka nasional dan bahkan beberapa di antaranya adalah yang terendah di tingkat nasional, seperti di NTT dan Papua.
Untuk kondisi perilaku berisiko seperti merokok, prevalensi pemuda dan remaja merokok di KTI hampir sama dengan prevalensi nasional (18%) walaupun di beberapa provinsi angkanya jauh di atas nasional. Prevalensi perokok muda tertinggi tingkat nasional ada di NTT (22%). Perilaku berisiko ini memiliki kaitan positif dengan status kesehatan di masa yang akan datang. Kelompok ini akan rentan terhadap penyakit kardiovaskular yang merupakan salah satu penyakit paling mematikan di Indonesia.
Di sisi lain, beberapa provinsi di KTI masih termasuk dalam daerah endemis penyakit infeksi menular seperti malaria dan juga HIV/AIDS. Tingginya prevalensi penyakit non-infeksi (non-communicable disease) dan pada saat yang sama juga tingginya prevalensi penyakit infeksi menular menunjukkan fenomena beban ganda penyakit yang berdampak pada penurunan produktivitas, peningkatan risiko penyakit degeneratif, dan beban ekonomi dari individu maupun pemerintah dalam mengatasi masalah kesehatan ini.
Secara umum, akses pendidikan dasar 6 tahun di KTI sudah cukup tinggi, namun tidak untuk tingkat pendidikan di atasnya. Angka Partisipasi Kasar (APK) tingkat SMP/sederajat bahkan masih di bawah angka rata-rata nasional. Sedangkan untuk APK tingkat SMA/sederajat dan Perguruan Tinggi, angkanya di atas angka nasional, namun disparitas antar provinsi juga sangat tinggi. Perhatian khusus terutama harus ditujukan untuk Provinsi Papua karena APK seluruh tingkat pendidikannya tercatat paling rendah di KTI dan nasional.
Prevalensi pernikahan dini2 tertinggi di Indonesia sebagian ada di provinsi KTI, terutama Sulawesi, Papua, dan NTB. Di Sulawesi Barat, angka prevalensinya adalah 21,38% yang berarti 1 di antara 5 perempuan muda usia 20-24 tahun yang menikah pernah melakukan praktik pernikahan dini. Angka ini merupakan prevalensi tertinggi di KTI dan nomor dua di Indonesia setelah Kalimantan Selatan.
Tingkat pengangguran terbuka usia 15-30 tahun di beberapa provinsi merupakan yang tertinggi sekaligus yang terendah di Indonesia. Yang tertinggi ada di Maluku (23,9%) dan di Sulawesi Utara (22,7%). Sedangkan yang terendah ada di Sulawesi Barat (7,7%) dan Papua (8,1%) dimana angkanya. Angka pengangguran terbuka yang tinggi mengindikasikan bahwa penciptaan lapangan kerja di provinsi tersebut rendah dan tidak sebanding dengan jumlah angkatan kerja pencari kerja.
Sebaran akses internet untuk pemuda dan remaja di KTI hampir sama angkanya dengan rata-rata nasional, yaitu 4 dari 10 pemuda dan remaja yang mengakses internet. Namun di beberapa provinsi seperti Papua, Maluku Utara, dan NTT, jumlahnya di bawah angka tersebut. Jika kondisi ini tidak dapat ditingkatkan, pemuda dan remaja di provinsi-provinsi tersebut berpotensi mengalami ketertinggalan dan ketimpangan yang lebih besar lagi terhadap utilisasi dan literasi teknologi dibanding pemuda dan remaja di daerah lain di Indonesia.
What's Next ?
Pemuda dan remaja di KTI memang menghadapi tantangan yang sangat berat dalam mencapai target yang ada dalam TPB. Potensi pemuda dan remaja di KTI untuk memetik bonus demografi dalam 5-10 tahun mendatang akan sulit terjadi kecuali ada terobosan-terobosan besar untuk membalikkan keadaan yang ada sekarang, salah satunya dengan lebih memberikan kesempatan kepada pemuda dan remaja itu sendiri untuk melakukan perubahan.