Pada 28 September 2018, serangkaian bencana alam menghantam provinsi Sulawesi Tengah di Indonesia. Gempa bumi berkekuatan 7,5 magnitudo yang diawali dengan beberapa gempa awal menyebabkan salah satu likuifaksi tanah terparah di dunia dan menelan seluruh wilayah permukiman
Peristiwa seismik tersebut memicu beberapa gelombang tsunami, yang mencapai Kota Palu dalam waktu enam menit setelah gempa bumi terjadi. Di beberapa tempat, ketinggian air mencapai hampir enam meter, sehingga menghancurkan rumah di dataran rendah dan infrastruktur di pantai.
Bencana tersebut mengakibatkan lebih dari 4.400 kematian, 170.000 orang mengungsi, kerusakan senilai lebih dari US$500 juta (sekitar Rp7,1 triliun), dan kerugian lebih dari US$1,3 miliar (sekitar Rp18,48 triliun) – dengan estimasi sebesar 13,7 persen dari PDRB Sulawesi Tengah. Sejak saat itu, pemerintah Indonesia menggandeng Bank Dunia untuk merehabilitasi, merekonstruksi, dan “membangun kembali secara lebih baik” melalui Proyek Rehabilitasi dan Rekonstruksi Sulawesi Tengah (Central Sulawesi Rehabilitation and Reconstruction Project/CSRRP) dan Komponen Kontinjensi Tanggap Darurat dalam Proyek Perbaikan Permukiman Kumuh Nasional (Contingent Emergency Response Component under the National Slum Upgrading Project/CERC-NSUP)
Selama lebih dari tiga tahun, banyak hal telah kami pelajari. Ada empat pembelajaran penting dari proses pemulihan di Sulawesi Tengah, yang juga dapat diterapkan pada pemulihan pasca bencana di wilayah lain.
Pelajaran 1: Seimbangkan antara ketangkasan dengan ketangguhan jangka panjang.
Dengan menggunakan estimasi kerusakan jarak jauh, pemerintah dapat segera mengidentifikasi kebutuhan pembiayaan penting dan dijadikan masukan untuk penilaian yang lebih terperinci. Di Sulawesi Tengah, tim menggunakan metodologi Estimasi Cepat Kerusakan Pasca Bencana Global/Global Rapid Post-Disaster Damage Estimation (GRADE) milik Bank Dunia untuk dengan cepat membuat gambaran dampak bencana secara keseluruhan. Informasi ini membantu dalam memfasilitasi pengerahan sumber daya secara efisien dan bantuan teknis tambahan.
Sebagai contoh, bantuan teknis oleh Fasilitas Global untuk Pengurangan dan Pemulihan Bencana/Global Facility for Disaster Reduction and Recovery (GFDRR) telah menghasilkan profil risiko, penilaian kerentanan dan kerapuhan, serta pemodelan bencana (hazard modelling) – yang menjadi informasi penting untuk membangun kembali dengan lebih baik, sekaligus dalam jangka panjang meningkatkan ketangguhan terhadap bencana di masa depan. Di Sulawesi Tengah, bantuan teknis ini mendorong dilakukannya rekonstruksi bangunan yang sesuai dengan standar-standar rancangan seismik terkini, dilengkapi dengan program membangun kapasitas tentang praktik-praktik perkuatan seismik yang baik. Salah satu pembelajaran utama adalah teknik perkuatan (retrofitting) dibagikan kepada para ahli teknik dan kontraktor proyek CSRRP melalui buku pedoman praktis penilaian kerentanan dan proses pengambilan keputusan. GFDRR mendukung kegiatan tersebut melalui pelatihan teknis.
Pelajaran 2: Sederhanakan, integrasikan, dan koordinasikan sejak awal.
Program-program pemulihan harus bersifat lintas-yurisdiksi dan lintas-organisasi yang melibatkan kementerian terkait, mitra pembangunan, LSM, masyarakat, dan pelaku sektor swasta. Penataan kelembagaan harus ditetapkan sejak awal, sementara pengalaman global menunjukkan bahwa adanya satu instansi yang melakukan koordinasi pelaksanaan program pemulihan merupakan praktik yang baik. Praktik ini membantu mengoordinasi sejumlah mitra maupun sumber pembiayaan, dengan menyesuaikan dana yang tersedia dengan kebutuhan masyarakat.
Data merupakan hal penting yang membutuhkan integrasi dan kolaborasi. Di masa awal proses pemulihan Sulawesi Tengah, berbagai organisasi melakukan pendataan dan analisis secara sendiri-sendiri, sementara informasi terus berubah. Akhirnya, pemerintah mengembangkan suatu sistem informasi online yang kolaboratif, di mana semua informasi kegiatan pemulihan dapat diperbarui dan dipantau secara reguler.
Pelajaran 3: Prioritaskan kebutuhan masyarakat.
Kunci keberhasilan adalah keterlibatan, mulai dari hak atas lahan hingga standar universal aksesibilitas pada saat penempatan masyarakat kembali ke kawasan pemukiman . Dalam hal ini, pembentukan satuan tugas khusus untuk masalah lahan menjadi suatu pembelajaran penting. Berdasarkan peta bahaya yang diperbarui, masyarakat di zona likuifaksi dan tsunami yang berisiko tinggi harus direlokasi. Namun pada saat itu, lokasi-lokasi yang dipilih untuk hunian tetap yang baru telah digunakan oleh pertambangan dan perkebunan tidak resmi, sehingga terjadi klaim tanah yang tumpang-tindih. Pemerintah mengerahkan fasilitator untuk melakukan pendekatan dengan para warga yang terdampak bencana dan mengupayakan proses relokasi yang inklusif melalui konsultasi partisipatif dengan para pemangku kepentingan. Kemudian relokasi dilakukan hanya secara sukarela. Upaya tersebut menghasilkan proses yang lebih mulus dan umpan balik terhadap sistem yang berjalan, agar dapat lebih ditingkatkan secara terus menerus.
Melalui dukungan GFDRR, proyek CSRRP juga membantu memastikan diterapkannya mitigasi risiko kekerasan berbasis gender (KBG) sebagai prioritas tertinggi dalam upaya pemulihan bencana Sulawesi Tengah . Seorang tenaga ahli bertugas memperkuat kapasitas para pemangku kepentingan dalam hal upaya mitigasi dan pengelolaan risiko KBG, seperti melalui pelatihan bagi kontraktor dan peningkatan kemitraan dengan para penyedia layanan setempat. Dalam proyek CSRRP, para kontraktor pekerjaan sipil bertanggung jawab untuk memitigasi risiko KBG melalui sosialisasi, pelatihan, dan pengelolaan keluhan.
Pada akhirnya, berbagai kelompok harus dilibatkan dalam keseluruhan siklus pemulihan pasca bencana – tanpa membedakan usia, kemampuan, dan gender. Penerapan inklusi sejak awal membantu mengurangi rintangan di masa depan bagi kelompok-kelompok rentan serta melakukan mitigasi isu-isu sosial. Sebagai contoh, pada awalnya rancangan unit perumahan bagi masyarakat terdampak bencana kurang memperhatikan aspek privasi. Setelah membangun kapasitas terkait standar-standar rancangan yang inklusif, para pemangku kepentingan memodifikasi rancangan agar menggunakan dinding partisi di dalam ruangan. Selain itu, dukungan GFDRR membantu dalam membuat daftar periksa yang praktis untuk melakukan audit rancangan universal dalam upaya mengevaluasi bangunan yang rusak dan meningkatkan aksesibilitas bagi semua warga.
Pelajaran 4: Mengubah rintangan menjadi dukungan.
Upaya pemulihan menghasilkan banyak limbah puing. Kemudian jalan dibersihkan; bangunan yang rusak dibongkar; infrastruktur yang rusak dipindahkan. Akan tetapi, pembangunan ulang ini juga memberikan kesempatan untuk menggunakan kembali berbagai limbah secara berkelanjutan. Kayu dapat dimanfaatkan kembali; batu bata dan lembar atap dapat dipakai lagi; serta beton dan reruntuhan dapat dihancurkan menjadi bagian-bagian kecil untuk kemudian dikumpulkan dan digunakan kembali.
Dalam pemulihan Sulawesi Tengah, sekitar 80 persen puing merupakan bahan yang dapat didaur ulang, di mana secara keseluruhan terdiri dari 540.000 ton beton, batu bata, pasir, dan tanah. Bahan dari sampah bencana yang didaur ulang cocok untuk merehabilitasi dan merekonstruksi jalan, bangunan, dan pelabuhan. Penggunaan puing yang didaur ulang juga dapat membantu dalam pemenuhan kebutuhan bahan bangunan setempat.
Kami berharap agar berbagai pembelajaran ini dapat memberikan manfaat dalam konteks pemulihan pasca bencana di seluruh dunia. Kami akan terus menerapkan pengetahuan yang kami peroleh dalam tiga tahun terakhir untuk terus membantu masyarakat di Sulawesi Tengah menjadi lebih tangguh terhadap potensi bencana-bencana di masa depan – bukan hanya beberapa tahun, akan tetapi untuk berpuluh-puluh tahun berikutnya.
Sumber: https://blogs.worldbank.org/id/eastasiapacific/tiga-tahun-berlalu-empat-pelajaran-dari-pemulihan-pascabencana-di-sulawesi-tengah