Tambang Emas Ancam Rusak Laut dan Kearifan Warga Sangihe
Penulis : Luh De Suriyani
  • Tambang Emas di Pulau Sangihe. Sumber: Greenpeace Indonesia
    Tambang Emas di Pulau Sangihe. Sumber: Greenpeace Indonesia

Putusan pengadilan yang membatalkan operasi pertambangan ternyata tidak serta merta membebaskan Kepulauan Sangihe dari ancaman industri ekstraktif. Faktanya, deru mesin tambang emas ilegal terus menyala dan menghancurkan pulau-pulau kecil yang berdekatan langsung dengan Filipina itu. 

Data Jaring Nusa menyebut luas wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe mencapai 11.863,58 kilometer persegi yang terdiri dari daratan seluas 736,98 kilometer persegi dan lautan seluas 11.126,61 kilometer persegi. Penduduk Pulau Sangihe berjumlah sekitar 137.450 jiwa. Data Pemerintah Kabupaten Sangihe sendiri menyebut luas wilayahnya 59.785 hektar.

Kepulauan Sangihe memiliki 137 pulau,  terdiri dari empat pulau-pulau kecil terluar, 26 pulau berpenghuni dan 111 pulau tak berpenghuni. Wilayah ini adalah bagian dari Wallacea, sebuah kawasan biogeografi meliputi kepulauan di Indonesia timur dengan keanekaragaman hayati tinggi. 

Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kawasan Timur Indonesia, termasuk Kepulauan Sangihe memiliki kekayaan  alam  yang didukung  ekosistem penting meliputi hutan hujan tropis, bakau, padang lamun dan terumbu karang. Selain itu,  juga memiliki sumber daya hayati laut dengan nilai ekonomi tinggi,  keindahan dan jasa lingkungan lain.

Sangihe juga kaya  hasil pertanian dan perkebunan, seperti kelapa, pala, sagu dan karet. Masyarakat Sangihe juga punya  kearifan tradisional  mengelola dan menjaga sumber penghidupan mereka. Dalam bahasa Sangihe ada kalimat mebuntuang mendiaga nusa,  yang berarti “bersama-sama menjaga dan merawat pulau”. Kearifan itu pun tercermin dari kegiatan masyarakat sehari-hari. 

Frans Gruber Ijong, Guru Besar Politeknik Negeri Nusa Utara, mengatakan Sangihe dalam ancaman industri ekstraktif seperti tambang emas. Operasi tambang ini, katanya, berdampak tak  hanya di daratan, juga laut karena pencemaran bahan kimia, sedimentasi, dan perubahan bentang alam. “Padahal, dengan wilayah laut lebih luas dari daratan, Sangihe menyimpan potensi sumber daya laut  sangat besar,” katanya  dalam Sharing Session Pengelolaan Wilayah Kepulauan Indonesia.

Tahun 1970-an, sebagian masyarakat Sangihe bekerja sebagai pencari ikan. Sebagian lain mengolahnya menjadi produk turunan seperti ikan asin.  Sangihe, kata Frans,  memiliki potensi perikanan besar. Ikan pelagis kecil misalnya, jumlahnya mencapai 323.000 ton per tahun, pelagis besar 1.062 ton, dan ikan tongkol 18.000 ton. Dari potensi itu, baru termanfaatkan 25 persen. Sebagian besar mereka adalah nelayan tradisional dengan alat tangkap pancing, hand line, longline, dan small purse seine. 

Potensi ini sendiri belum ada dukungan infrastruktur yang memadai, seperti pabrik es atau cold storage  yang lokasinya masih jauh dari sentral perikanan. Juga  kapal penangkap ikan dan tempat pelelangan ikan. Situasi ini, katanya,  berdampak pada proses pengelolaan bahkan sempat terjadi penolakan ekspor karena produk kurang layak.  Masalah lain juga ada, seperti ketersediaan air bersih dan energi yang tak  konsisten, sampai dukungan anggaran  yang tidak mencapai 8 persen.

Bicara potensi, wisata bahari di Sangihe juga begitu besar. Sangihe memiliki pulau-pulau eksotik. Salah satunya, Mahengetang di bawah gunung berapi. Sayang sekali, katanya,  potensi-potensi itu bisa hancur dalam sekejap karena kontaminasi pertambangan.

Frans mengingatkan, aktivitas penambangan pasti berdampak pada ekosistem pantai dan laut. Ketika limpasan udara berlumpur, menutupi terumbu karang, mengganggu biota laut dan menyebabkan mangrove mati.  Matinya terumbu karang akan menyebabkan gelombang makin besar dan memicu abrasi yang mengancam pesisir, termasuk pemukiman. Rantai makanan juga rusak karena paparan bahan kimia.  Ia mencontohkan kerang, yang memutar penyaringan logam berat. Bahkan di Minamata, Jepang, kerang dilarang untuk dikonsumsi karena membantu mencerahkan laut karena kontaminasi merkuri.

Soemitro Mile, Kepala Seksi Pembinaan Tata Ruang Dinas PUPR  Sulawesi Utara memaparkan, luas wilayah tambang di Sangihe mencapai 54.800 hektar. Khusus untuk tambang di pulau-pulau kecil harus mendapat persetujuan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Secara tata ruang, dari 1,3 juta hektar di Sulawesi Utara, 186.000 hektar masuk kategori lindung dan 1,2 juta hektar masuk wilayah budidaya.

Kawasan hutan di Pulau Sangihe yang mulai rusak akibat pertambangan. Sumber: Materi presentasi diskusi.

 

Kearifan Lokal

Bernard Tuwokona Pilat, mantan Asisten Bidang Ekonomi dan Pembangunan Setda Kabupaten Kepulauan Sangihe yang kini menjadi Penasehat Perkumpulan Selamatkan Sangihe I Kekendage (SSI), heran dengan kebijakan tata ruang yang mengalokasikan tambang seluas 54.800 hektar. Sebab, luas daratan Sangihe hanya 59.000  hektar. “Ini akan menghabiskan daratan dan menghancurkan lautan di Sangihe.” Ujarnya.

Bernard mengatakan, meski ada produk perkebunan pala dan kelapa, yang jadi primadona adalah hasil laut. Dari struktur ekonomi sektor perikanan dan pertanian mendominasi, tetapi  konsisten turun dari tahun 2010-2023 karena degradasi lahan dan munculnya usaha lain seperti penginapan, makan minum, dan transportasi. 

Sebelum ada penambangan, warga punya  kearifan lokal. Seperti saat  memetik kelapa muda hanya 1-2 buah saja, atau kewajiban-kewajiban menanam pohon saat melahirkan dan akan menikah.  Juga ada pembatasan penebangan batang sagu, ada pola kerja bersama keluarga dengan istilah memanggong untuk menciptakan hubungan sosial saat memanen sagu dengan peran masing-masing. Ada juga larangan menebang pohon di sumber mata air. 

Kehadiran industri ekstraktif, kata Bernard, tidak berdampak signifikan terhadap perekonomian warga karena keuntungannya lebih besar bagi pemodal. Pemilik lahan hanya menjadi pekerja. “Bahkan karena tambang kebiasaan masa lalu memancing dan tani ditinggalkan, warga lebih tertarik tambang kerja meskipun siang malam.” Ujarnya.

Jull Takaliuang, Direktur Yayasan Suara Nurani Minaesa menilai sikap pemerintah lebih pro tambang daripada menjaga masa depan Sangihe. “Dulu,  ada hutan lalu gundul, sedimentasi mangrove mencapai lebih dari satu meter. Sampai sekarang beroperasi dan dikawal.” Ungkap Jull.  

Warga Sangihe, katanya, sudah memenangkan gugatan agar izin operasi tambang emas skala besar dan pemerintah mencabutnya. Meskipun begitu, tambang besar belum tentu batal.  Belum lagi, ada aktivitas tambang emas ilegal masih berlangsung yang menyebabkan 30 hektar hutan kini rusak.

 

Sumber: https://www.mongabay.co.id/2025/02/02/kala-tambang-emas-hancurkan-laut-dan-kearifan-warga-sangihe/

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.