Pada awal Maret ini, genap setahun pandemi COVID-19 dinyatakan masuk ke Indonesia. Selama setahun ini, pemerintah menerbitkan dan mengimplementasikan berbagai kebijakan untuk mengendalikan pandemi.
Namun hingga kini belum ada kebijakan yang efektif untuk menekan penyebaran virus corona di Indonesia.
Hingga awal Maret 2021, pandemi ini telah memakan korban jiwa lebih dari 36 ribu jiwa dan 1,3 juta lebih orang terinfeksi di negeri ini. Ini jumlah kasus dan kematian tertinggi di Asia Tenggara.
Satu tahun pandemi merupakan momen yang tepat bagi pemerintah untuk kembali mengevaluasi berbagai kebijakan yang selama ini telah dilaksanakan. Agar lebih efektif, kebijakan yang diambil haruslah berbasis bukti.
Dalam proses pembuatan kebijakan publik yang berbasis bukti, berbagai riset ilmiah baik yang berskala internasional dan nasional dapat menjadi bahan masukan untuk merumuskan perbaikan kebijakan ke depan.
Dalam tahap evaluasi kebijakan, setidaknya ada dua pertanyaan besar yang berusaha dijawab yakni bagaimana kondisi pencapaian saat ini dan perbaikan apa yang harus dilakukan ke depan.
Untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut, saya merangkum lima hasil penelitian yang dapat menjadi sumber informasi bagi pemerintah untuk mengetahui kondisi pencapaian kita saat ini dan apa yang harus dilakukan ke depan. Lokasi dan sampel riset ini diambil di Indonesia.
Posisi Indonesia di level internasional
Pada awal Januari lalu, Institute Lowy yang berbasis di Sydney menerbitkan sebuah riset global, COVID-19 Performance Index; Deconstructing Pandemic Responses, untuk menilai kinerja penanganan pandemi COVID-19 di 98 negara, termasuk Indonesia.
Ada enam indikator utama yang digunakan dalam riset ini untuk pemeringkatan negara yakni (1) jumlah kasus yang dikonfirmasi, (2) kasus yang dikonfirmasi per juta orang, (3) kematian yang dikonfirmasi, (4) kematian yang dikonfirmasi per juta orang, (5) kasus yang dikonfirmasi sebagai proporsi tes, dan (6) tes per seribu orang.
Puluhan negara dievaluasi dengan skor hasil penilaian berkisar antara 0-100. Skor 0 (nol) berarti terburuk dan skor 100 berarti terbaik.
Hasil penilaian tersebut menunjukkan Selandia Baru mencapai skor 94,4, Vietnam 90,8, dan Taiwan 86,4. Ketiganya menduduki tiga teratas. Indonesia hanya mendapatkan skor 24,7 dan menjadi urutan ke-13 dari bawah dalam penilaian ini.
Menariknya, penelitian ini menemukan bahwa tingkat perkembangan ekonomi atau sistem politik negara tidak berpengaruh banyak dalam meningkatkan kinerja penanganan pandemi.
Faktor seperti populasi kecil (kurang dari 10 juta), tingginya kelekatan (kohesifitas) masyarakat serta adanya berbagai lembaga negara yang kompeten lebih menunjukkan hubungan yang kuat dalam meningkatkan kinerja penanganan COVID-19 sebuah negara.
Dari temuan ini dapat kita lihat bahwa Indonesia memiliki kelemahan dari sisi populasi penduduk yang sangat besar serta kemampuan sistem kesehatan yang masih tidak merata. Namun, di sisi lain kita memiliki potensi yang selama ini masih kurang dimaksimalkan oleh pemerintah dalam merancang kebijakan pengendalian COVID-19 yakni struktur kelekatan atau keeratan masyarakat.
Karena itu, kini saatnya pemerintah membuat kebijakan penanganan pandemi ke depan lebih menekankan pada upaya-upaya untuk peningkatan keterlibatan masyarakat dengan memperhatikan berbagai kearifan lokal yang berkembang di masing-masing daerah.
Kondisi sistem kesehatan dan perbaikan yang dibutuhkan
Pada awal 2021, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional atau Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menerbitkan sebuah buku bunga rampai studi berjudul Studi Pembelajaran Penanganan COVID-19 Indonesia.
Studi ini memberikan gambaran bagaimana lemahnya sistem kesehatan kita saat ini dalam menghadapi pandemi.
Dari sisi kapasitas keamanan kesehatan ditemukan bahwa sistem surveilans di Indonesia saat ini belum berjalan dengan baik. Integrasi data antardaerah dan pusat juga masih menjadi permasalahan.
Selain itu, keterampilan sumber daya manusia di daerah khususnya dalam hal pengelolaan data surveilans juga masih rendah. Kapasitas pemeriksaan laboratorium juga saat ini masih belum maksimal ditandai dengan belum mampunya sistem pemeriksaan berjalan 24 jam sehari sehingga masih belum memenuhi standar yang ditargetkan Organisasi Kesehatan Dunia.
Sisi kapasitas pelayanan kesehatan juga masih memperlihatkan beberapa kelemahan. Dimulai dari sumber daya manusia kesehatan yang terbatas baik dari segi kuantitas, kualitas hingga distribusi.
Kapasitas perawatan COVID-19 baik ruang isolasi maupun ruang rawat intensif sangat kurang bila lonjakan kasus terjadi. Fasilitas pengolahan limbah medis sangat terbatas dan sebarannya belum merata di seluruh wilayah.
Sistem rujukan yang ada saat ini belum adaptif dalam menghadapi kondisi lonjakan kasus (seperti pada masa pandemi).
Kondisi perilaku masyarakat dan intervensi yang perlukan
Salah unsur utama keberhasilan pengendalian pandemi adalah tingkat kepatuhan masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan.
Badan Pusat Statistik (BPS) menggelar survei perilaku masyarakat pada masa pandemi COVID-19 pada 7-14 September 2020 dengan jumlah responden 90.967 orang. Dari riset ini sejumlah catatan penting dapat menjadi masukan bagi para pengambil kebijakan di Indonesia.
Survei ini menemukan dua alasan utama kenapa masyarakat Indonesia saat ini masih kurang patuh dalam menerapkan protokol kesehatan.
Pertama, karena tidak adanya sanksi (55%) dan yang kedua adalah karena anggapan tidak adanya kejadian penderita COVID-19 di lingkungan sekitar mereka (39%).
Hal ini menunjukkan bahwa untuk meningkatkan kepatuhan protokol kesehatan tindakan yang paling efektif adalah adanya ketegasan dan konsistensi dalam penerapan sanksi bagi masyarakat yang tidak patuh terhadap protokol kesehatan.
Selain itu, kejelasan dan transparansi informasi terkait kondisi pandemi di lingkungan terkecil tempat tinggal masyarakat seperti RW/RT harus disosialisasikan dengan baik ke masyarakat sekitar.
Dengan adanya kejelasan dan transparansi informasi terkait kondisi di wilayahnya maka masyarakat akan bisa lebih waspada. Hal ini sesuai dengan hasil survei BPS yang menemukan bahwa respons yang paling banyak dilakukan masyarakat ketika ada yang terinfeksi COVID-19 di lingkungan sekitarnya adalah memperketat protokol kesehatan.
Pemerintah saat ini perlu lebih fokus meningkatkan kepatuhan terhadap protokol kesehatan khususnya di pasar tradisional/pedagang kaki lima dan angkutan umum angkot/mikrolet. Hal ini harus dilakukan karena berdasarkan hasil survei BPS, tempat-tempat tersebut merupakan tempat yang paling banyak ditemukan pelanggaran protokol kesehatan.
Dalam upaya perubahan perilaku, pemerintah perlu lebih fokus untuk memanfaatkan saluran media sosial, televisi, dan WhatsApp. Saluran ini merupakan media terpopuler yang digunakan masyarakat untuk memperoleh informasi mengenai protokol kesehatan dan pentingnya mencegah penyebaran COVID-19.
Survei ini juga menemukan bahwa populasi pada rentang umur 17-30 tahun perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah dalam upaya peningkatan pengetahuan dan perubahan perilaku. Perhatian ini sangat penting karena di antara kelompok masyarakat yang memiliki persepsi bahwa mereka tidak mungkin mereka dapat tertular COVID-19, mayoritas berasal dari kelompok umur ini (20,2%).
Dampak pada populasi rentan
Selain membawa dampak langsung yakni tingginya angka kesakitan dan kematian akibat COVID-19, pandemi saat ini juga telah membawa dampak tidak langsung terhadap kondisi kesehatan masyarakat di Indonesia. Khususnya pada kelompok ibu dan anak.
Kementerian Kesehatan, Universitas Gadjah Mada dan 12 universitas lainnya menggelar survei monitoring dan evaluasi pelayanan kesehatan ibu dan anak pada era pandemi di 120 kabupaten dan kota di Indonesia. Survei mereka menemukan bahwa pandemi ini telah membawa dampak negatif terhadap kesehatan ibu dan anak di Indonesia.
Dari 120 kabupaten dan kota yang disurvei, terdapat 59 Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang masuk dalam kategori terdampak sedang, 46 Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota termasuk dalam kategori ringan dan 15 Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota termasuk dalam kategori terdampak berat.
Sepanjang 2020, pelayanan kesehatan ibu dan anak di berbagai daerah tersebut tidak berjalan dengan baik akibat beberapa kendala seperti adanya pembatasan kunjungan di fasilitas pelayanan kesehatan. Kendala lainnya, banyaknya tenaga kesehatan yang terinfeksi dan adanya ketakutan masyarakat khsususnya ibu dan anak untuk datang ke fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas hingga posyandu.
Kendala-kendala itu menyebabkan sepanjang 2020 terjadi penurunan jumlah kunjungan ibu hamil yang mendapatkan pelayanan kesehatan di puskesmas. Juga terjadi menurunnya jumlah bayi dan balita yang dipantau pertumbuhannya hingga terganggunya cakupan jumlah imunisasi dasar lengkap.
Survei ini juga menemukan bahwa 28,3% kabupaten/kota mengalami peningkatan angka kematian ibu dan anak pada 2020 akibat dampak tidak langsung dari pandemi.
Sebelum permasalahan ini semakin membesar ke depan, berbagai program-program inovasi untuk mengejar ketertinggalan cakupan layanan kesehatan ibu dan anak pada 2020 harus segera dilakukan pada tahun ini.
Saat ini pemerintah kabupaten dan kota membutuhkan dukungan dari pemerintah pusat dan provinsi untuk mengejar berbagai ketertinggalan tersebut baik dari segi peningkatan kapasitas dan inovasi pelaksana di lapangan hingga pendanaan.
Tantangan vaksin ke depan
Di tengah upaya pemerintah saat ini untuk segera mengakhiri pandemi dengan program vaksinasi nasional, sebuah studi menarik yang belum direview rekan sejawat di server Medrxiv, BMJ Yale, Mathematical Models for Assessing Vaccination Scenarios in Several Provinces in Indonesia, yang dilakukan di tiga provinsi (DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat), memperlihatkan hasil yang dapat menjadi pertimbangan pemerintah dalam pelaksanaan program vaksinasi di Indonesia.
Dengan pemodelan matematika, tim peneliti dari Institut Teknologi Bandung dan empat universitas lainnya menyatakan bahwa di Indonesia kemungkinan akan terjadi lebih dari satu puncak wabah walau diprediksi puncaknya tidak akan sebesar yang pertama.
Oleh karena itu, menurut riset ini, waktu yang tepat melakukan program vaksinasi adalah pada tahap awal pandemi. Vaksinasi pada waktu tersebut akan menekan jumlah kasus aktif dan kematian dengan segera. Setelah jumlah kasus aktif mencapai puncaknya, pelaksanaan program vaksinasi tidak akan mengurangi jumlah kematian secara signifikan.
Selain itu, program pemberian vaksinasi harus dilakukan secara konsisten dan cepat. Agar vaksinasi bisa lebih efektif mengurangi angka kematian secara signifikan, penyuntikan vaksin harus menyasar prioritas orang dewasa yang aktif dan juga yang lebih tua (di atas 50 tahun).
Dari lima riset itu, cukup jelas bahwa bukti-bukti ilmiah lebih dari cukup untuk menyusun kebijakan yang efektif mengendalikan pandemi dan mengurangi dampaknya.
Kita membutuhkan kemauan politik yang kuat dari pengambil kebijakan dari level presiden hingga kepala daerah untuk menyusun dan melaksanakan kebijakan berbasis bukti.
Irwandy, Ketua Departemen Manajemen Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.