Komunitas peneliti punya peran besar dalam suatu negara – terlebih peneliti muda.
Di Indonesia, misalnya, mereka diharapkan mendukung impian menjadi negara maju pada 2045 melalui pembangunan berbasis ilmu pengetahuan. Mereka juga diharapkan mengatasi beragam isu dari kemiskinan hingga bencana.
Sebagai aktor kunci dunia riset masa depan, penting bagi Indonesia memahami kondisi dan kebutuhan para peneliti muda.
Studi pendahuluan yang saya lakukan bersama The Conversation Indonesia (TCID), misalnya, mencoba memahami karakter peneliti muda serta peluang dan tantangan yang mereka hadapi untuk jadi pemimpin di dunia riset.
Kami mengumpulkan data dan berbicara pada 283 peneliti muda yang bergelar doktor atau sedang menjalani S3.
Mereka berasal dari bidang kelautan, perubahan iklim, kesehatan, dan ketahanan masyarakat, serta memiliki rekam jejak kuat dalam menerbitkan karya akademik.
Pada 2020, kami memperkirakan ada lebih dari 14.000 peneliti muda dari total sekitar 216.000 peneliti di Indonesia.
Jumlah mereka pun terus meningkat, dengan kapasitas kolaborasi yang lebih inovatif dan kemampuan berkomunikasi yang jauh lebih lihai.
Namun, studi kami juga menemukan peneliti muda juga menghadapi beragam hambatan untuk berdampak lebih luas bagi dunia riset, dari masalah pendanaan hingga kesetaraan gender.
Berkembang pesat, jago berkomunikasi, dan punya motivasi tinggi
Hasil dari studi kami menunjukkan bahwa peneliti muda di Indonesia memiliki beragam kekuatan dan potensi.
Pertama, dalam empat tema penelitian tersebut, jumlah peneliti muda mengalami peningkatan dari sekitar 2.500 pada 2010 menjadi lebih dari 14.000 pada 2020.
Hal ini terjadi karena ada berbagai skema baru untuk peningkatan kapasitas sumber daya manusia Indonesia dalam satu dekade terakhir.
Di antaranya skema Pendidikan Magister menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU), beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), sampai program Manajemen Talenta inisiasi Badan Riset dan Inovasi Negara (BRIN).
Kedua, peneliti muda sangat menyadari pentingnya berjejaring (networking) karena membantu memfasilitasi kolaborasi, serta mendobrak sekat antar disiplin ilmu maupun antara sains dan kebijakan.
Banyak peneliti muda, misalnya, aktif memperkuat peran Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI). Ada yang membentuk jaringan baru termasuk Ikatan Ilmuwan Internasional Indonesia (I4) yang mendorong kerja sama peneliti diaspora dan dalam negeri, maupun U-INSPIRE Indonesia yang menjembatani wawasan kebencanaan antara pemangku kepentingan dan aktor penanggulangan bencana.
Selain menghubungkan peneliti dan institusi lintas negara, berbagai jaringan tersebut juga dapat meningkatkan peran sains dalam pembuatan kebijakan.
Ketiga, kami melihat banyak bukti bahwa peneliti muda memiliki kemampuan komunikasi riset yang jauh lebih baik.
Sebelumnya, para peneliti sebatas menyebarkan hasil riset melalui jurnal ilmiah. Saat ini, mereka mulai merambah media sosial, menuliskan opini di media cetak dan online, hingga menjadi narasumber di televisi dan radio.
Pada 2021, misalnya, data internal dari TCID menunjukkan 700 peneliti menerbitkan 695 artikel populer di media tersebut – mayoritasnya adalah peneliti muda.
Keempat, studi kami juga menunjukkan bahwa mayoritas peneliti muda memiliki motivasi tinggi untuk menjadi pemimpin riset di Indonesia yang mendukung inovasi dunia riset.
Misalnya, mereka lebih berani mempercepat penyaluran hasil penelitian ke luar “zona nyaman” penelitian (seperti jurnal dan konferensi), termasuk membawa hasil riset mereka untuk memasuki arena politik.
Beragam tantangan jadi peneliti kelas dunia
Namun, para peneliti muda juga menghadapi tantangan terkait pendanaan, budaya penelitian dan lemahnya mentorship, hingga kesenjangan gender.
Pertama, di bidang pendanaan, banyak responden kami kesulitan mendapat pendanaan riset yang baik dari negara maupun sumber lain. Ini bisa berupa kebutuhan peralatan riset, langganan jurnal ilmiah, pembiayaan penerbitan, serta dana riset longitudinal (jangka waktu bertahun-tahun).
Pada saat yang sama, bisa jadi para peneliti muda juga kesulitan untuk menghasilkan proposal penelitian yang berkualitas.
Satu informan kunci yang bekerja sebagai penyalur dana riset menggambarkan bahwa pada 2020, hanya 4-7% proposal yang mereka terima layak didanai. Banyak peneliti hanya menjual “topik penelitian” dan bukan “nilai manfaat dari penelitian tersebut”.
Informan lain menyebutkan bahwa di lembaganya, dari 237 proposal yang diterima, hanya 99 yang baik dan hanya 11 yang akhirnya didanai. Mayoritas proposal kolaborasi riset juga memposisikan peneliti Indonesia hanya sebagai kolaborator dan bukan peneliti utama.
Padahal, para responden peneliti lulusan dalam negeri selama ini telah banyak mengalami kesulitan meraih dana riset kolaborasi akibat terbatasnya relasi, yang sebelumnya sudah terhambat bahasa.
Kedua, dalam diskusi kelompok, peneliti muda juga mengakui bahwa budaya riset yang mendorong hubungan mentorship (pendampingan) masih lemah.
Kajian di jurnal ternama Nature menunjukkan mentorship yang baik membantu peneliti muda mendapatkan masukan untuk memoles kemampuan memimpin riset. Mentorship mempermudah akses jejaring penelitian yang lebih luas untuk meningkatkan prestise mereka.
Tanpa jejaring, para peneliti akan terisolasi dan bergerak sendiri saat meneliti, menyebarluaskan hasilnya, dan tidak akan dilihat pemangku kepentingan terkait.
Ketiga, responden dalam studi kami juga mengonfirmasi masih adanya masalah kesenjangan gender yang menghambat banyak peneliti muda mengembangkan kapasitas mereka sebagai pemimpin riset.
Hal ini sejalan dengan tren di banyak ranah riset, di berbagai negara.
Riset tahun 2018 yang mengikuti lebih dari 6.000 peneliti internasional, misalnya, menemukan bahwa banyak peneliti perempuan di universitas mengalami hambatan perkembangan karir antara fase pasca-doktoral hingga lektor kepala (associate professor).
Peneliti perempuan juga beralih jadi peneliti utama dalam riset dengan laju yang lebih rendah dari peneliti laki-laki (hingga 20% lebih lamban).
Di Indonesia, ini semakin diperparah oleh budaya kesetaraan gender dan inklusi sosial (GESI) yang masih lemah.
Keempat, responden kami merasa bahwa sistem insentif untuk kegiatan riset mereka masih bias dan kurang mendukung.
Bagi peneliti muda di perguruan tinggi, misalnya, sistem angka kredit yang ada sekarang memberikan beban lebih pada tugas mengajar – dari menyusun materi kuliah hingga evaluasi hasil belajar mahasiswa – ketimbang memproduksi riset.
Butuh dukungan “horizontal” dan “vertikal”
Melihat potensi dan tantangan yang dihadapi peneliti muda Indonesia, perlu lebih banyak dukungan bagi mereka untuk mengembangkan kapasitas secara “horizontal” dan juga “vertikal”.
Secara horizontal, kebanyakan peneliti muda sebenarnya telah mendapatkannya dalam bentuk pendidikan dan pengalaman dari pekerjaan riset mereka. Secara akademik, mereka sudah memperoleh kepakaran dalam bidang sains masing-masing.
Namun untuk pengembangan vertikal, peneliti muda masih kurang dukungan.
Mereka membutuhkan bantuan untuk mengembangkan kapasitas kepemimpinan riset yang kompleks – dari kelincahan menghadapi ekosistem penelitian Indonesia yang dinamis, hingga memimpin kolaborasi yang lebih luas dengan banyak pihak secara strategis.
Pengembangan vertikal ini tidak dapat dilakukan secara instan melalui pelatihan.
Peneliti muda membutuhkan peningkatan kapasitas yang berkelanjutan. Ini dapat berupa mentorship yang terarah, pendampingan untuk kolaborasi riset, atau beragam program fellowship.
Kedua jenis dukungan di atas, baik horizontal maupun vertikal, akan mendukung peneliti muda untuk memiliki kompetensi pemimpin riset yang matang.
Mizan Bustanul Fuady Bisri, Assistant Professor, Kobe University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.