Jumlah masyarakat adat di Indonesia tak sedikit. Berdasarkan data yang dirilis oleh, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) jumlah masyarakat adat yang terverifikasi saat ini 17 juta orang. Distribusi kebijakan merupakan bentuk konkrit dari proses politik. Distribusi, menandakan pemerintah telah melaksanakan pembangunan, sesuai dengan pelbagai tuntutan politik dari partikularitas masyarakat. Itulah yang membuktikan rezim demokratis, yaitu dengan melibatkan setiap partikularitas dalam mengambil keputusan.
Dalam konteks Indonesia, maka distribusi kebijakan muncul dalam beragam bentuk. Semua itu dilakukan, dengan memenuhi standar prosedural yang ditetapkan oleh pemerintah. Tugas para pengambil keputusan mengikuti mekanisme prosudural tersebut. Ini adalah langgam dan lazim kebijakan yang dibuat selama ini di Indonesia. Tahun 2020 merupakan tahun terbentuknya Rencana Pekerjaan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) di bawah rezim Jokowi. Setelah dibaca dengan saksama, tentu banyak pihak memberi apresiasi. Sebab itu sebagai montase bagi pembangunan demokrasi di Indonesia.
RPJMN merupakan suatu kerangka kerja yang rentang waktunya lima tahun. Ini merupakan penjabaran dari visi, misi dan program kerja dari pemerintah. Singkatnya posisi RPJMN sangat penting dalam kerangka pembangunan. Sebab, akan menjadi acuan sampai tingkat pemerintah desa.
Kendati demikian, tidak semua substansi dari RPJMN tersebut mencakupi seluruh kehidupan hajatan banyak orang. Salah satu hal yang diabaikan dalam RPJMN 2020 adalah, absennya nama masyarakat adat, yang sudah lama memberi tuntutan politik.
Penindasan Berlanjut
Tentu, ini sangat problematik, karena jumlah masyarakat adat di Indonesia tak sedikit. Berdasarkan data yang dirilis oleh, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) jumlah masyarakat adat yang terverifikasi saat ini 17 juta orang.
Dengan jumlah yang begitu banyak, jika kehidupan masyarakat adat tanpa distribusi kebijakan dalam kerangka RPJMN. Secara otomatis masyarakat adat menelan pil pahit lagi selama lima tahun ke depan. Pengabaian terhadap masyarakat adat tentu banyak tendensi kepentingan yang terjadi. Dalam konsep ekonomi politik, RPJMN tanpa masyarakat adat bisa dibaca sebagai, tersembunyinya kepentingan para korporasi besar. Karena demi kepentingan kelas atas suka tidak suka masyarakat adat diabaikan.
Sebagai bukti pelacakan empiris, ternyata hingga tahun 2018, terdapat 152 komunitas masyarakat adat yang menghadapi konflik dan sebanyak 262 warga masyarakat adat telah dikriminalisasi. Kasus-kasus ini berkisar pada perampasan wilayah adat yang diikuti dengan tindakan kekerasan dan kriminalisasi berdasarkan Catatan Tahunan 2018 yang diterbitkan AMAN.
Apa yang diceritakan oleh data empiris, sebagai sinyal yaitu: perampasan terhadap ruang kehidupan masyarakat adat memang tertata dan tersistematis. Hal ini sudah dipertegas oleh, Harvey (2003), mekanisme kerja demikian dalam frame kapitalisme kontemporer, sering disebut dengan akumulasi perampasan. Akumulasi perampasan secara jelas melalui kerja mengklaim sumber daya yang ada, dengan memanfaatkan status sebagai kekuasaan. Pola operesifnya yakni menormalisasi, mendisiplinkan bahkan menjinakkan berbagai elemen tubuh manusia melalui berbagai bentuk regulasi dan wacana yang dikeluarkan. Hingga sampai titik dimana kerja-kerja tersebut dianggap baik dan rasional oleh publik.
Implikasi terburuk dari absennya masyarakat adat dalam RPJMN 2020, sampai di tingkat pemerintah desa. Mengingat negara kita negara yang sangat struktural dan prosudural, maka otomatis Rencana Kerja Jangka Menengah Daerah sampai ke desa akan mencantolkan berbagai program kerja sesuai dengan pemerintah pusat. Artinya pengabaian masyarakat adat bisa terjadi sampai desa.
Ada beberapa risiko yang ada efek dari RPJMN tersebut. Dan risiko yang ada tak dapat dihindari (inescapable) oleh masyarakat adat; Pertama, penindasan terhadap masyarakat adat akan terus terjadi di masa yang akan datang. Kedua, disparitas sosial yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Ketiga, dalam konteks sosial ketika suatu entitas masyarakat diabaikan dalam kebijakan, otomatis tereksklusi dalam lingkungan sosial. Keempat, efek terburuk dari ketiga persoalan tersebut ialah hancurnya dignity dari keadatan.
Persis, hal seperti inilah yang tak terpikirkan oleh rezim dalam setiap mengambil keputusan. RPJMN menyisakan resiko besar dan jejak ketidakadilan. Dalam tradisi politik, saat keputusan mengabaikan beberapa kelompok, sebenarnya menandakan wajah lunak dari otoritarianisme, dan dengan sendiri mengabaikan dimensi etis dalam berpolitik.
Dimensi etis dalam proses politik untuk mengambil keputusan adalah dengan tidak tergesah-gesa menyimpulkan dan memutuskan. Melainkan keputusan itu harus berdasarkan pertentangan relasi yang ada di ruang publik dengan berbagai macam tuntutan yang ada.
Upaya Kecil
Dengan absennya masyarakat adat dalam RPJMN, maka tentu masyarakat adat dan pejuang jangan berkecil hati. Justru realitas ini yang memompa semangat masyarakat adat. Gelora perjuangan ditingkatkan dalam setiap corpus politik, demi tercapainya misi politik masyarakat adat itu sendiri.
Untuk itu, upaya-upaya kecil yang harus dilakukan ke depannya yang lebih diintenskan. Pertama, seluruh aktus politik dan pejuang masyarakat adat, harus terus mengidentifikasikan basis kolektifitasnya secara kontinu. Hal ini dilakukan, selain memperbanyak masa, juga memperkuat gagasan gerakan politik masyarakat adat.
Kedua, tetap menyuarakan hak-hak yang diperjuangankan oleh masyarakat adat selama ini dengan memperluas spektrum gerakan dan saling terhubung bersama yang lainnya. Liminalitas sangat penting dalam menyuarakan apa yang diperjuangkan. Sebab perjuangan politik sifatnya tidak ajeg, kaku dan beku.
Ketiga, memastikan bahwa di tingkat daerah, masyarakat adat harus mempertahankan dan meningkatkan political engagement khususnya dengan pemerintah daerah. Karena mendekatkan diri dengan pemerintah daerah sebagai cara mengisi segala keterbatasan dari absennya masyarakat adat dalam RPJMN.
Dengan demikian, upaya-upaya kecil yang dilakukan setidaknya bisa menghadirkan suatu probabilitas politik yang tak terduga di masa yang akan datang, baik bagi masyarakat adat secara khusus maupun bagi masyarakat Indonesia secara umumnya. Sehingga alur dan ritme perpolitikan akan berubah dengan sendirinya dari suatu yang banal ke arah yang habituasi produktif.
Artikel ini bersumber dari laman https://geotimes.co.id/opini/rpjmn- tanpa-masyarakat-adat