Resep Rumah Tahan Gempa: Bangunlah dengan Bambu!
Penulis : M Faisal
  • Rumah berbahan dasar bambu di desa Salut, Lombok Utara, NTB <br> FOTO/Wikicommon
    Rumah berbahan dasar bambu di desa Salut, Lombok Utara, NTB
    FOTO/Wikicommon

Rumah Berbahan Bambu Sebagai Alternatif 
Hancurnya ribuan rumah akibat gempa seketika kembali memunculkan pertanyaan: desain rumah seperti apa yang tahan gempa? Berbagai alternatif telah ditawarkan, termasuk model rumah tradisional di Indonesia. Namun, salah satu alternatif yang kini cukup banyak dibahas adalah penggunaan bambu sebagai pengganti beton dan komponen utama dalam bangunan tahan gempa. 

Secara umum, bambu, mengutip Grace Hartanti dalam "Keberadaan Material Bambu sebagai Substitusi Material Kayu Pada Penerapan Desain Interior dan Arsitektur," adalah tumbuhan kelompok graminae (rumput-rumputan), serumpun dengan gandum dan padi-padian. Spesies yang sudah ada sejak 200 ribu tahun silam ini tergolong tanaman dengan tingkat pertumbuhan paling cepat di dunia - mencapai lebih dari 60 cm per hari tergantung kondisi tanah dan iklim setempat. Ketinggian pohon bambu bervariasi, dari 100-300 cm, dengan diameter kayu antara 7,5-18 cm. Bambu punya sifat hidup yang kosmopolit. Artinya, ia dapat hidup di daerah panas maupun dingin, di rawa-rawa, tebing hutan, gunung-gunung, dataran tinggi atau rendah, serta mudah tumbuh kembali selepas mengalami musibah berupa kekeringan, kebakaran, sampai pengrusakan. Dalam "Bambu Sebagai Alternatif Bahan Bangunan dan Konstruksi di Daerah Rawan Gempa," Sukawi menerangkan bahwa peristiwa gempa bumi yang melanda Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah pada 2006 perlahan menaikkan pamor bambu sebagai komponen bahan bangunan tahan gempa. Di beberapa wilayah terdampak, Bantul misalnya, bambu dimanfaatkan sebagai material utama dalam proyek rekonstruksi pasca-gempa. Dalam bangunan tahan gempa, bambu bisa dipakai sebagai elemen balok, kolom, pendukung atap, pengisi dinding, maupun lantai. Masih menurut Sukawi, rumah tahan gempa berbahan baku bambu tidak bisa dibuat sekenanya. Beberapa ketentuan harus diperhatikan si pembuat, seperti misalnya, menggunakan bambu yang berusia tua, dalam kondisi kering, serta sudah diawetkan. Bambu berusia tua dipilih karena serat-seratnya lebih kuat.

Tak cukup berumur tua saja, bambu juga harus tahan lama dan awet. Agar dua syarat di atas bisa dipenuhi, jelas Sukawi, dibutuhkan proses pengawetan agar serangan jamur (pewarna dan pelapuk) dan serangga (bubuk kering, rayap kayu kering, dan rayap tanah) dapat dicegah. Proses pengawetan bisa ditempuh dengan tiga cara: tradisional, kimiawi, dan modern. Cara tradisional dilakukan dengan merendam bambu di dalam air yang mengalir, lumpur, air laut, serta pengasapan. Sementara proses pengawetan secara kimiawi bisa ditempuh dengan memanfaatkan pelaburan kapur, boraks, campuran kapur barus dengan minyak tanah, sampai pengasapan dengan belerang. Terakhir, pengawetan dengan cara modern dapat ditempuh lewat sistem Vertical Soak Diffusion (VSD) yang bertumpu pada penggunaan larutan borate—jenis bahan pengawet. Secara teknis, pemasangan bambu dalam rumah tahan gempa tidak kelewat rumit. Konstruksi atap bambu, misalnya, tidak berbeda dengan konstruksi atap kayu. Yang membedakan hanyalah sambungannya. Pada konstruksi bambu, sambungan yang dipakai adalah pen bambu dan tali. Contoh lain, terang Sukawi, terletak pada lantai. Lantai di bangunan berbahan baku bambu disusun dari bilah bambu petung dengan ketinggian sekitar 45 cm di atas tanah. Tak dibutuhkan sub-struktur atau fondasi tertanam. Umpak atau beton telapak cukup bisa digunakan sebagai dasar bangunan. Teknik semacam ini dipakai karena bambu relatif ringan, sehingga beban yang disalurkan dari struktur bagian atas tidak kelewat besar. Hal tersebut sangat sesuai untuk konstruksi di daerah rawan gempa. Keuntungan lain penggunaan bambu, seperti dicatat Mustakim dkk dalam "Bambu sebagai Material yang Berkelanjutan dan Affordable untuk Perumahan," adalah masa tumbuh yang cepat (bisa dipanen sekali dalam lima tahun) dan kemampuan bambu mereduksi kemungkinan erosi sehingga cocok ditanam di kemiringan permukaan tanah untuk menghindari bencana longsor. Akar bambu juga menyerap polutan tanah dan memperbesar cadangan air. Proses pembuatan rumah bambu tahan gempa pun tak terlalu menyedot banyak biaya serta bisa dikerjakan dalam waktu yang relatif singkat. Dalam “Kajian Sustainable Material Bambu, Batu, Ijuk dan Kayu pada Bangunan Rumah Adat Kampung Naga” (2014, PDF), Mamiek Nur Utami dkk menjelaskan bahwa khasiat bambu sebagai bahan utama material bangunan dapat dilihat lewat keberadaan rumah-rumah adat Kampung Naga di Jawa Barat. Di sana, rumah-rumah adat berbahan baku bambu bisa berumur hingga 40 tahun.

1

Mengubah Perspektif Masyarakat (dan Pemerintah) Rumah dari gedek, alias anyaman bambu, selalu diidentikkan dengan kemiskinan. Carilah berbagai berita yang menyoroti kemiskinan, pasti salah satunya akan menggambarkan hunian dari gedek. Anggapan bahwa rumah gedek identik dengan kemiskinan tidak muncul dengan instan. Setidaknya pola pikir seperti itu sudah muncul sejak 1970an. Saat itu, bata dan semen mulai banyak dipakai sebagai bahan bangunan untuk rumah. Bambu yang murah dan mudah didapat malah dilupakan. Rumah dari bata dan semen yang tampak kokoh dianggap sebagai perlambang hunian modern. Perlahan tapi pasti, rumah berbahan bambu mulai ditinggalkan. Tak hanya itu, rumah bambu mulai dianggap ketinggalan zaman, plus mulai dicitrakan sebagai rumah orang miskin. Imelda Akmal dalam Bambu Untuk Rumah Modern (2013) menyoroti fenomena ini. “Ironisnya, muncul pandangan bahwa rumah bata mampu menaikkan status sosial dan ekonomi pemiliknya, sementara rumah bambu dianggap murahan dan kampungan. Akhirnya berkembang anggapan bahwa rumah bambu hanya untuk orang miskin,” tulis Imelda. Pola pikir semacam inilah yang lantas mempengaruhi pemerintah. Dalam Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor: 403/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat) disebutkan material rumah sederhana—dalam hal ini kerangka dinding—dibuat dari struktur beton bertulang. Kemudian, rumah setengah tembok menggunakan setengah rangka dari beton bertulang dan setengah dari rangka kayu. Tidak disebutkan pembangunan rumah sederhana bisa memakai material bambu. Yu Sing Liem, arsitek lulusan ITB yang berfokus pada arsitektur bambu menyayangkan regulasi tersebut. Menurutnya, pemilihan beton sebagai kerangka bangunan rumah layak huni bukanlah keputusan bijak. Alasannya, tak semua masyarakat Indonesia sejahtera.

“Pemerintah tidak memasukkan unsur bambu atau rotan sebagai kriteria rumah layak huni. Program pemerintah hanya memprioritaskan beton dan bahan material berat lainnya sebagai fondasi utama rumah. Bahwa kondisi masyarakat Indonesia yang belum sejahtera semuanya tidak disadari pemerintah,” kata pendiri studio arsitektur bernama Akanoma ini kepada Tirto. Ia menambahkan, pemerintah seperti tidak belajar dari pengalaman pasca-gempa. Proses rekonstruksi rumah-rumah warga pasca-bencana selalu memakai beton; bukan material alami macam bambu yang punya sifat adaptasi yang lebih tinggi dibandingkan bahan lainnya. “Terus-terusan terjadi. Ketika ada gempa, rumah warga kemudian direnovasi, dan lagi-lagi pakai beton. Pemerintah seperti abai fakta bahwa Indonesia terletak di wilayah Cincin Api,” pungkasnya. “Rumah layak huni dengan material berat mengingkari banyak hal di Indonesia, termasuk rumah tradisional.” Bagi Yu Sing, cara yang bisa diambil sesegera mungkin adalah merevisi kriteria rumah layak huni dari pemerintah yang menempatkan material beton sebagai bahan baku utama pembangunan. Lagi-lagi, bambu masih dipandang miring. Padahal, kenyataan di lapangan membuktikan hal lain. Bambu dipandang jadi solusi tepat—dari segi ekonomi, ketahanan, dan aksesibilitas—sebagai elemen utama bangunan rumah tahan gempa, dibandingkan material lain seperti baja dan beton. Dengan segala kelebihannya, sudah saatnya pemerintah melirik bambu untuk membangun rumah layak huni bagi warga. 

Artikel ini bersumber dari https://tirto.id/resep-rumah-tahan-gempa-bangunlah-dengan-bambu-cT82

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.