Problema Pendataan Masyarakat Adat sebagai Pemilih Dalam Pemilu

Warga negara Indonesia memiliki hak politik untuk salah satunya memilih dalam pemilihan umum (pemilu). Namun, dari seluruh lapisan masyarakat, salah satu kelompok yang hak pilihnya belum terpenuhi dengan baik adalah masyarakat adat. Berkaca dari pemilu tahun 2019 lalu, dari sekitar 3 juta pendudukan masyarakat adat, hanya 530.000 yang bisa memilih dalam pemilu. Partisipasi dari 530,000 penduduk dari kalangan masyarakat adat tersebut bisa terjadi berkat kebijakan afirmasi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan tindakan dari pemerintah daerah setempat, salah satunya Bupati Bulukumba yang berhasil menetapkan Surat Keputusan Bupati tentang Pengakuan Masyarakat Adat Bulukumba (Salabi, 2018; Gladiaventa & Sari, 2022). Penyebab belum terpenuhinya hak politik masyarakat adat untuk memilih dalam pemilu salah satunya adalah kendala dalam pendataan masyarakat adat sebagai pemilih.

Masalah yang dihadapi dalam melakukan pendataan masyarakat adat utamanya adalah tidak dimilikinya Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el). KTP-el merupakan salah satu syarat utama terdaftarnya penduduk dalam daftar pemilih berdasarkan Pasal 202 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sebagaimana telah diubah dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 (UU Pemilu) dan Pasal 3 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penyusunan Daftar Pemilih Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Sistem Informasi Data Pemilih sebagaimana diubah dengan Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2023 (PKPU Penyusunan Daftar Pemilih).

Masyarakat adat dalam mendapatkan KTP-el memiliki rintangannya tersendiri, yakni ketidakpastian domisili dan diskriminasi yang dialami masyarakat adat. Ketidakpastian domisili disebabkan karena wilayah masyarakat adat yang tidak pasti karena banyaknya konflik agraria yang membuat mereka dipaksa meninggalkan tempat mereka (Hidayat, 2019). Menjelang Pemilu 2024 pun, konflik-konflik agraria yang melibatkan tanah tempat tinggal masyarakat adat semakin marak diperbincangkan, di antaranya di Rempang, Wadas, dan masih banyak yang lainnya. Semenjak pernyataan Hidayat dikeluarkan tahun 2019 tersebut, masih belum banyak yang berubah terkait problema ini di tahun artikel ini dibuat yaitu 2023. Oleh sebab itu, sulit untuk menentukan domisili dari penduduk masyarakat adat untuk didata dalam KTP-el.

Tidak hanya ketidakpastian, masyarakat adat juga sering mengalami diskriminasi dalam pembuatan KTP-el karena kebanyakan menganut aliran kepercayaan di luar 6 (enam) agama resmi di Indonesia. Walaupun sudah diputuskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 yang mengizinkan dicantumkannya aliran kepercayaan dalam KTP-el dan Kartu Keluarga, namun nyatanya masih terjadi diskriminasi di lapangan (Hidayat, 2019).

Kesulitan akses ke area-area tinggal masyarakat adat juga menjadi salah satu alasan kesulitan Pemerintah dalam mendata masyarakat adat sebagai pemilih. Masyarakat adat cenderung tinggal di area-area terpencil bahkan kawasan hutan. Area-area terpencil dan terpelosok ini karena jauh dari pusat administrasi maka dianggap sulit untuk diakses (Hidayat, 2019).

Hak masyarakat adat untuk memilih dilindungi oleh peraturan perundang-undangan sebagaimana halnya dengan masyarakat yang lain. Pengakuan dan penghormatan masyarakat adat telah diatur dalam Pasal 18B ayat (2) dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Kemudian hak penjaminan kepastian hukum, bebas dari diskriminasi, kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama diatur juga dalam Pasal 28D ayat (1), 28H ayat (2), dan 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Maka dari itu, kenyataan bahwa masyarakat adat belum dipenuhi hak konstitusionalnya perlu menjadi perhatian dari semua pihak baik Pemerintah maupun masyarakat sipil.

Dalam perkembangannya, pada Kongres Masyarakat Adat Nusantara tahun 2022 lalu, KPU telah menandatangani nota kesepahaman untuk bekerja sama dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk melakukan pendataan masyarakat adat yang nantinya data kependudukan tersebut akan direkomendasikan ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Ini merupakan inisiatif yang sangat baik dalam mewujudkan terpenuhinya hak masyarakat adat untuk memilih dalam pemilu.

Dalam rangka melaksanakan kesepakatan pendataan masyarakat adat tersebut, penting sekali keterlibatan semua pihak untuk mewujudkannya. Pemerintah daerah terutama di tingkat Kabupaten/Kota tetap perlu memberikan pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat sebagaimana telah dilakukan oleh Bupati Bulukumba. Kemudian, Kerjasama KPU dengan AMAN bisa dilancarkan dengan bekerja sama dengan pemerintah daerah di tingkat Kabupaten/Kota hingga ke desa untuk menjangkau masyarakat adat di wilayahnya masing-masing. Panitia Pemungutan Suara di tingkat desa juga harus membantu terselenggaranya pendataan masyarakat adat.

Dalam pelaksanaan pendataan masyarakat adat, KPU perlu mengemas ini menjadi sebuah kebijakan afirmasi untuk memberi kemudahan dan perlakuan khusus bagi masyarakat adat mendapatkan hak konstitusionalnya sebagaimana tercermin dalam Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. KPU perlu membuat produk hukum yang mendukung kebijakan ini, yaitu dengan membuat peraturan bersama dengan Kemendagri yang memberikan kemudahan pemrosesan data kependudukan masyarakat adat untuk bisa diolah oleh Kemendagri untuk selanjutnya bisa masuk dalam daftar pemilih oleh KPU. Jika tidak ada kesepakatan dan hanya berupa rekomendasi saja, dikhawatirkan Kemendagri tidak merasa memiliki kewajiban untuk menindaklanjuti rekomendasi data dari KPU dan AMAN karena tidak adanya dasar hukum untuk menjalankan itu. KPU juga perlu memastikan bahwa metode pendataan nantinya sudah mencerminkan pengaturan PKPU Penyusunan Daftar Pemilih. Jika belum, maka perlu memperbaharui PKPU Penyusunan Daftar Pemilih atau dibuat PKPU khusus untuk pendataan masyarakat adat dalam daftar pemilih dikarenakan sifatnya yang afirmatif. Dengan demikian, niscaya harapannya akan lebih banyak masyarakat adat yang bisa berpartisipasi dalam Pemilu 2024.

Penulis adalah Peneliti Bidang Hukum, The Indonesian Institute
Artikel ini bersumber dari: https://www.theindonesianinstitute.com/problema-pendataan-masyarakat-adat-sebagai-pemilih-dalam-pemilu/ 

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.