BANGGA Papua ini program untuk anak asli Papua berusia 4 tahun ke bawah. Uangnya dipakai untuk meningkatkan gizi anak,” jelas Mama Alfrida, seorang kader Posyandu, memperkenalkan program BANGGA Papua di distriknya, Paniai Barat, Provinsi Papua.
Kalimatnya itu langsung direspon oleh masyarakat, “Ini terkait dengan 666.”
Bilangan 666 merujuk pada angka yang dipercaya oleh sebagian masyarakat di sana sebagai hal yang bertentangan dengan ajaran kristiani. Bila ada hal yang menurut mereka kurang jelas asal-usulnya, mereka biasanya mengaitkannya dengan 666 tersebut.
Isu ini cukup kuat di Paniai dan menjadi salah satu batu sandungan bagi tim Sekber Paniai dalam melaksanakan program BANGGA Papua. Pasalnya, untuk menjadi penerima bantuan, warga harus memiliki e-KTP atau paling tidak, Nomor Induk Kependudukan (NIK). Isu yang beredar adalah bahwa perekaman e-KTP ini adalah salah satu bentuk kegiatan 666 yang selama ini ditentang sebagian warga.
“Ibu, kau mau bunuh anak-anak yang ada di sinikah?” Yang ini respon lain lagi dari orang-orang tua yang ada di tempat sosialisasi saat itu.
Mama Alfrida tidak tersinggung atau marah. Ia justru paham bahwa penjelasan yang sejelas-jelasnya harus diberikan kepada masyarakat agar mereka paham bahwa program BANGGA Papua justru bermaksud membantu mereka. Tujuan BANGGA Papua adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia orang asli Papua, melalui peningkatan gizi dan kesehatan anak. BANGGA Papua ingin membangun anak-anak Papua yang sehat dan cerdas.
Ia menyampaikan manfaat program untuk masyarakat, tujuan strategis program yang ingin dicapai dan yang paling penting adalah, bagaimana menggunakan dana dari BANGGA Papua itu secara benar, yaitu dipakai untuk memenuhi kebutuhan gizi dan kesehatan anak.
Mama Alfrida sangat memahami hadirnya respon itu. Di kabupaten tempatnya tinggal dan mengabdi ini, ada sebagian masyarakat yang merasa tidak berhak menerima uang secara cuma-cuma atau tanpa melakukan suatu pekerjaan.
Berbekal dari pengalamannya ini, Mama Alfrida memahami pentingnya sosialisasi yang baik kepada pihak-pihak yang tepat dan harus dilakukan secara intensif. Ia memberikan masukan kepada Sekber Kabupaten Paniai, khususnya untuk menangkal isu 666.
“Apabila ada sosialisasi, harus undang ketua klasis (gereja), koordinator (gereja), pendeta-pendeta dan pastor-pastor supaya mereka bisa ikut sampaikan dan jelaskan tentang manfaat program BANGGA Papua,” saran Mama Alfrida. Tokoh-tokoh agama inilah yang diharapkan dapat membantu memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat.
Penjelasan bahwa dana BANGGA Papua bersumber dari dana Otsus juga perlu disampaikan dengan baik agar masyarakat paham bahwa uang itu adalah hak mereka, orang asli Papua. Jadi tidak perlu merasa tidak nyaman menerimanya. Justru Pemerintah Provinsi menginginkan agar manfaat dana Otsus ini dirasakan langsung oleh orang asli Papua.
Mama Alfrida juga punya saran untuk memastikan validitas data calon penerima manfaat BANGGA Papua. Ia mengusulkan agar kader Posyandu bekerja sama dengan bidan Puskesmas/kampung untuk ikut mendata, bahkan melakukan verifikasi data tentang calon penerima manfaat.
Menurutnya, kader Posyandu dan bidan adalah orang-orang yang paling tahu siapa yang memiliki anak berusia empat tahun ke bawah, siapa yang baru melahirkan, siapa yang anaknya baru meninggal, siapa ibu yang sering membawa anaknya ke Posyandu, dan lain-lain.
Cerita di atas disampaikan oleh Mama Alfrida dalam pelatihan komunikasi untuk mengevaluasi pelaksanaan kegiatan sosialisasi program BANGGA Papua di Kabupaten Paniai. Ini hanya salah satu cerita. Ada banyak cerita pengalaman dari mama-mama kader Posyandu lain dan bidan Puskesmas yang menjadi peserta pelatihan di bulan Juli 2019 itu.
Mengetuk Pintu, Membuka Hati
Mama Antonia punya cerita yang tidak kalah menarik. Ia memperkenalkan BANGGA Papua lewat gereja. Dengan membawa poster BANGGA Papua, Mama Antonia menjelaskan tentang tujuan dan manfaat program bagi masyarakat. “Mereka tolak saya,” ceritanya. “Tapi saya tidak menyerah.”
Setelah ditolak, Mama Antonia mendatangi calon penerima manfaat dari pintu ke pintu, dari gereja ke gereja. “Sampai akhirnya mereka mau ikut program BANGGA Papua,” jelasnya. Pada saat bersamaan, ia juga ikut mendata anak-anak calon penerima manfaat BANGGA Papua.
Penolakan bukan hanya dialami Mama Alfrida dan Mama Antonia. Mama Oktopina Kadepa, seorang bidan dari Puskesmas Tuguwa Distrik Aweida, dan Mama Elis anggota Sekber Paniai, juga punya pengalaman pahit ketika menyosialisasikan BANGGA Papua.
Mama Elis bahkan pernah dituduh beritikad buruk ketika menyosialisasikan BANGGA Papua.
“Ah, kamu itu mau jual sa punya anak. Jadi saya tidak mau kasih (daftar) saya punya anak,” kata seorang bapak.
“Saya pergi lagi ke dia dua kali, tiga kali, saya jelaskan baik-baik, dan akhirnya mereka mengerti dan saya daftar anak-anaknya,” cerita Mama Elis.
Mama Elis melakukan sosialisasi di lima kampung. Waktu itu, hanya dua kampung yang mau mendaftarkan anak-anaknya. “Tiga kampung masih baku marah. Itu pengalaman saya ketika sosialisasi awal. Setelah Desember 2018, mereka sudah saksikan sendiri menerima manfaat (dana). Setelah itu baru mereka senang-senang datang sendiri daftar ke kami,” jelas Mama Elis tersenyum lebar.
Pantang Menyerah
Penolakan-penolakan itu tidak membuat pelaksana sosialisasi menyerah. Mereka terus melakukan pendekatan persuasif melalui pertemuan pribadi dengan mama-mama yang memiliki anak berusia empat tahun ke bawah. Program BANGGA Papua memang menyasar anak-anak orang asli Papua yang berusia di bawah empat tahun.
Ketika tidak diterima di tempat sosialisasi umum, mereka mendekati calon penerima manfaat satu per satu. Para bidan dan kader Posyandu datang ke rumah mereka dan menceritakan tentang BANGGA Papua, hingga mereka paham.
“Tetapi kami tidak mau memaksa. Dan tidak boleh memaksa. Yang tidak mau, ya kami kasih tinggal saja,” jelas mereka.
Para pelaksana sosialisasi ini memang sudah memperoleh pelatihan komunikasi persuasif, yaitu teknik bicara yang dapat memengaruhi cara pikir orang lain. Anggota Sekber Paniai juga pernah menerima pelatihan tentang cara memetakan tantangan-tantangan sosialisasi, memetakan aset dan mencari jalan keluar untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut.
Pendekatan persuasif yang terus menerus dengan sentuhan pribadi dan memahami konteks budaya lokal itu akhirnya membuahkan hasil. Apalagi setelah mereka melihat bukti bahwa penerima manfaat benar-benar menerima dana di bulan Desember 2018. Mereka yang awalnya menolak, akhirnya ikut mendaftarkan anaknya.
Institusi gereja menjadi jalur utama dalam menyosialisasikan BANGGA Papua. Tokoh agama memang menjadi salah satu aktor utama yang paling didengar dan dipercaya masyarakat di Paniai.
Mama Priska, salah seorang anggota Sekber Paniai, meminta waktu pada pastor di gerejanya untuk menjelaskan kepada masyarakat yang hadir di gereja, tentang program BANGGA Papua. Usai misa (kebaktian gereja), Mama Priska pun menyampaikan tentang pentingnya kualitas anak-anak Papua yang sehat dan cerdas untuk kesejahteraan keluarga dan membangun tanah Papua. BANGGA Papua hadir untuk memampukan masyarakat mencapai tujuan ini.
Upaya Mama Priska disambut baik oleh Pastor Paroki Gereja Katolik di Paniai. Pastor Santo Tekege, Pr., melanjutkan sosialisasi dan memotivasi masyarakat yang hadir untuk ikut program BANGGA Papua. Dia menyampaikan bahwa uang BANGGA Papua berasal dari dana Otsus dan menjadi hak orang Papua.
“Gunakan uang ini untuk meningkatkan kesehatan dan gizi anak. Jangan disalah-gunakan,” kata Pastor Santo dengan tegas, di Paroki Epouto, Distrik Yatamo, Paniai.
Mengatasi Tantangan yang Kompleks
Sosialisasi BANGGA Papua di Paniai memang penuh tantangan. Menjangkau seluruh distrik dan kampung di Paniai bukan hal mudah bagi Sekber di tengah keterbatasan personil dan dana. Paniai punya 216 kampung dan 24 distrik. Bahkan beberapa kampung hanya bisa dijangkau dengan helikopter atau jalan kaki berhari-hari.
Masyarakat Paniai juga berpikir kritis. Banyak warga yang tidak serta merta mau menjadi peserta program dan menerima dana, meski anak-anak mereka memenuhi persyaratan untuk menjadi calon penerima manfaat BANGGA Papua.
Nerius Pakagi, anggota Sekber Paniai menyampaikan bahwa salah satu keberhasilan sosialisasi adalah adanya kolaborasi multi pihak. Sekber bekerjasama dengan kader Posyandu, bidan Puskesmas/kampung, PKK dan tokoh agama. Menurut Nerius, ketika melihat elemen-elemen ini bersatu maka masyarakat akan memahami bahwa BANGGA Papua bukan tipu-tipu.
“Kalau masyarakat sudah paham BANGGA Papua, bukan kita yang cari mereka, tapi mereka yang datang cari kita,” tegas Nerius lagi.
Bekerjasama dengan kader Posyandu, bidan Puskesmas dan kampung dinilai sebagai langkah strategis dalam memperluas jangkauan sosialisasi.
Pilar Pembangunan di Paniai
Kerjasama dengan kader Posyandu dan bidan Puskesmas/kampung serta tokoh agama ini sangat membantu kerja Sekber Paniai. Selepas pembayaran dana tahun 2018 lalu, Sekber Paniai masih kekurangan sumber daya untuk melakukan pendataan dan sosialisasi. Masih banyak kampung yang belum terjangkau, dan masih banyak masyarakat yang belum paham BANGGA Papua. Jangankan warga, aparat kampung dan distrik pun masih banyak yang belum paham.
Mereka mempertanyakan keakuratan beberapa data. Sekber Paniai pun mendengarkan masukan dari mereka karena mereka adalah orang yang paling paham kondisi ibu dan Balita di distrik dan kampung tempat mereka bertugas dan tinggal.
“Mereka ini yang paling tahu soal anak-anak di kampung karena mereka yang mendata, mereka juga yang menimbang setiap bulan. Jadi mereka bisa ikut melakukan verifikasi data yang sudah dikumpulkan oleh anggota Sekber atau aparat kampung dan distrik,” kata Eli Yogi, Ketua Sekber Paniai.
Kader Posyandu ini juga aktif memberikan nasihat tentang pemanfaatan hasil kebun di sekitar rumah untuk membantu menjaga dan meningkatkan gizi anak.
Uang sebesar 200 ribu rupiah per bulan per anak yang diberikan oleh program BANGGA Papua tentu terhitung kecil untuk daerah di pegunungan tengah Papua seperti Paniai. Namun, kader Posyandu dan bidan Puskesmas/kampung itu tidak fokus hanya kepada jumlah uang yang diberikan. Mereka menekankan bahwa makanan bergizi tidak hanya datang dari makanan yang dibeli, karena sesungguhnya di sekitar mereka sudah ada bahan makanan bergizi yang bisa digunakan untuk menjaga gizi anak.
“Uang ini cuma dipakai beli yang tidak ada di kebun atau di sekitar rumah saja,” kata Mama Meli Kuniai, salah satu bidan dari Puskesmas Nei.
Mama Beatrice Tekege, kader Posyandu lainnya, malah menilai uang 200 ribu rupiah per bulan itu sebagai berkat.
“Saya percaya, uang 200 ribu rupiah itu bisa menjadi berkat. Seperti 5 roti dan 2 ikan yang setelah diberikan kepada 5000 orang, masih tersisa 12 bakul,” katanya mengutip sebuah kisah dalam Alkitab.
Hal-hal seperti inilah yang sebelumnya tidak pernah diangkat dalam setiap sosialisasi program BANGGA Papua di Kabupaten Paniai.
Peran, pengetahuan, pengalaman dan komitmen mereka terbukti bisa menembus banyak masalah di lapangan. Bahkan ketika banyak penolakan, mereka tidak menyerah dan terus berusaha menyosialisasikan BANGGA Papua sekaligus membantu melakukan pendataan.
Bagi Sekber Paniai, mama-mama yang luar biasa ini adalah pilar pembangunan di Paniai. Pilar pembangunan yang ikut mengokohkan program BANGGA Papua di Paniai.