Kebijakan publik merupakan sebuah proses politik dimana pemerintah memutuskan untuk melakukan sesuatu atau tidak sama sekali (Dye, 2005) . Dalam proses perumusan kebijakan, para pengambil kebijakan baik eksekutif maupun legislatif melakukan komunikasi dan negoisasi dalam menentukan sikap mereka dalam merespon atau mengantisipasi berbagai permasalahan. Dalam kerangka demokrasi, para pengambil kebijakan sebaiknya melibatkan masyarakat baik secara individu maupun kelompok kepentingan dalam proses pengambilan, implementasi atau evaluasi kebijakan. Aplikasi pelibatan masyarakat dalam tahapan kebijakan dilakukan dengan beragam model. Salah satunya melalui pelibatan masyarakat dalam musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) dari tingkat desa sampai nasional yang dilakukan setiap tahun sebagai upaya demokratis dalam formulasi kebijakan secara nasional di Indonesia.
Namun, pelibatan masyarakat tidaklah cukup dalam perumusan kebijakan. Ekspektasi masyarakat ke pemerintah semakin tinggi dengan semakin kompleksnya persoalan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Seringkali kebijakan yang diambil pemerintah bak “jauh panggang dari api”. Lazim terjadi kebijakan atau program pemerintah tidak efektif dalam merespon kompleksitas dinamika persoalan sosial atau bahkan tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Salah satu faktor utama yang melatarbelakangi kegagalan pemerintah dalam merespon persoalan, karena kebijakan yang diambil tidak berdasarkan data kejadian sebenarnya di lapangan. Seringkali kebijakan diambil semata berdasarkan asumsi dangkal, tanpa dukungan bukti atau landasan penelitian yang valid serta metodologi yang sahih.
Sanderson (2002) berpendapat bahwa Pemerintah Inggris senantiasa melibatkan ilmuan sosial dalam perumusan kebijakan berbasis data sejak 1960an. Saat itu para ilmuan mendirikan lembaga Social Science Research Council sebagai sebuah lembaga think thank yang senantiasa melakukan studi untuk mendukung pengambilan kebijakan pemerintah.
Secara teoritik, kebijakan berbasis data atau bukti memiliki dua manfaat utama yaitu meningkatkan akuntabilitas pemerintah dan menjadi proses pembelajaran (Sanderson, 2002).
Manfaat pertama terkait dengan upaya bersama untuk mendorong pemerintah lebih akuntabel dalam mengambil kebijakan. Setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah selalu dibarengi dengan dukungan anggaran untuk mendukung proses implementasi, monitoring dan evaluasinya. Tentu kita tidak menginginkan kebijakan tanpa berbasis bukti berujung pada penggunaan dana publik yang sia-sia. Untuk itu, pengambilan kebijakan yang berdasarkan pada data yang reliable tentu menjadi dasar argumen yang kuat dan membuat pemerintah lebih akuntabel. Manfaat kedua dari kebijakan berbasis bukti adalah terjadinya proses pembelajaran para pengambil kebijakan. Data menunjukkan kondisi riil permasalahan dan menjadi titik kunci dalam melakukan intervensi. Ketersediaan data menjadi alat penerang dalam proses pembelajaran semua pengambil kebijakan untuk menyadari kekurangan dan kelebihan yang mereka miliki sehingga memudahkan untuk merumuskan strategi yang efektif.
Meskipun demikian, melaksanakan kebijakan berbasis data tidak semudah membalikkan telapak tangan. Studi yang dilakukan Young (2005) mengidentifikasi empat masalah utama aplikasi kebijakan berbasis bukti di negara berkembang. Pertama adalah kontestasi politik yang tidak mendukung. Seringkali pengambil kebijakan memiliki pertimbangan politis tertentu yang memposisikan mereka mengabaikan data. Kedua, hasil riset yang tidak sesuai standar karena dukungan dana yang kurang. Selain itu, tidak jarang juga para akademisi dan peneliti merasa di menara gading yang memposisikan mereka enggan mengkomunikasikan hasil penelitiannya dengan pengambil kebijakan. Para ilmuan lebih memilih menerbitkan hasil penelitian di jurnal ilmiah internasional dengan bahasa yang rumit dipahami atau bahkan tidak pernah dibaca oleh para pengambil kebijakan. Ketiga, intervensi donor riset internasional yang terlalu besar dan cenderung menafikan konteks lokal. Terakhir, keterlibatan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dalam advokasi kebijakan melalui riset kadang kala memposisikan mereka berseberangan dengan agenda pemerintah. Dengan demikian, data OMS seringkali diabaikan dalam perumusan kebijakan.
Berangkat dari tantangan tersebut, Knowledge Sector Initiative (KSI) bekerja sama dengan Yayasan BaKTI dan Badan Penelitian Pengembangan dan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappelitbangda) Provinsi Sulawesi Selatan yang didukung oleh Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT) dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) melakukan program kolaborasi untuk merumuskan kebijakan berbasis data. Program ini dimulai dengan workshop bersama yang melibatkan pemerintah daerah, akademisi, pengusaha, media, organisasi komunitas dan organisasi masyarakat sipil di Sulawesi Selatan pada pertengahan Mei 2019 di Makassar. Pertemuan ini kemudian dilanjutkan dengan beberapa kali diskusi dan workshop pada awal 2020 yang juga dihadiri oleh multi pihak dan lintas sektor untuk merumuskan fokus permasalahan Provinsi Sulawesi Selatan yang menjadi agenda bersama untuk diintervensi dengan kebijakan berbasis data.
Berdasarkan data BPS (2020), roda perekonomian Sulawesi Selatan ditopang oleh dua sektor utama yaitu sektor pertanian dan sektor industri pengolahan. Sektor pertanian menyumbang ke PDRB Sulawesi Selatan sebesar 23,43 persen pada tahun 2016 dan kemudian menurun pada titik 21,28 persen pada 2019. Demikian halnya dengan sektor industri pengolahan yang berkontribusi 14,06 persen pada PDRB Sulawesi Selatan tahun 2016 kemudian mengalami penurunan pada angka 13,16 persen pada 2019.
Selain sumbangsih pada PDRB, sektor pertanian juga menjadi penyerap utama tenaga kerja di Sulawesi Selatan. BPS (2020) mencatat bahwa 1,3 juta pekerja atau 36 persen dari jumlah total tenaga kerja Sulawesi Selatan yang menggantungkan hidup dan rumah tangganya di sektor pertanian. Sementara sektor industri pengolahan mampu menyerap 17 persen tenaga kerja di Sulawesi Selatan. Tidaklah mengherankan ketika penurunan produksi pertanian dan industri Sulawesi Selatan dalam tiga tahun terakhir (2016-2019) berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi makro di Sulawesi Selatan.
Untuk memacu percepatan dan mengejar ketertinggalan pertumbuhan ekonomi, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan menyusun strategi kebijakan untuk membangun pusat pertumbuhan ekonomi baru yang produktif. Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Sulawesi Selatan 2018-2023, tercatat salah satu strategi yang dilakukan adalah menemu-kenali potensi sumber-sumber ekonomi baru dan dukungan komoditas baru, dalam rangka upaya mewujudkan pencapaian salah satu misi Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yaitu peningkatan produktivitas dan daya saing produk sumber daya alam yang berkelanjutan. Dengan demikian, program kolaborasi ini akan melakukan kajian kebijakan pengembangan komoditas unggulan berbasis riset yang komprehensif dari hulu hingga ke hilir.
Program kolaborasi perumusan kebijakan berbasis data ini diharapkan menjadi proses pembelajaran bersama untuk membangun komunikasi dan sinergi yang dinamis ke depan yang melibatkan akademisi, praktisi, OMS dan para pengambil kebijakan. Harapan kita tentunya, pemerintah kabupaten/kota dan akademisi juga mengambil peran aktif untuk mengaplikasikan kebijakan berbasis data dengan melibatkan semua pihak. Upaya ini memang tidak mudah dilaksanakan namun kita percaya bahwa hal ini tidak mustahil untuk dilakukan secara bersama.