Perjuangan Sekolah Adat Bowonglangit: Dulu Mereka Panggil Kami Budak, Kini Kami Berdaya (Bagian 2)
Penulis : Andi Hajramurni
  • Sekolah adat Bowonglangit dihadiri perempuan maupun laki-laki; dewasa maupun anak-anak. (Project M/Andi Hajramurni)
    Sekolah adat Bowonglangit dihadiri perempuan maupun laki-laki; dewasa maupun anak-anak. (Project M/Andi Hajramurni)

Antusiasme masyarakat atau para orang tua, juga menggugah semangat anak muda di kampung itu untuk sekolah hingga ke perguruan tinggi. Setelah sekolahnya selesai, mereka pun pulang ke kampungnya, Pattallassang, untuk mengajar. Saat ini, tercatat 20 orang yang mengajar di sekolah adat Bowonglangit.

“Saya melanjutkan sekolah hingga perguruan tinggi di Makassar, karena saya ingin meningkatkan pendidikan di Pattallassang. Mengubah image negatif yang pernah dicapkan ke kami,” kata Nuryanti, 33 tahun, alumni salah satu perguruan tinggi swasta di Makassar. 

Nuryanti yang meraih gelar sarjana, 2014 lalu, langsung pulang ke Pattallassang dan mengimplementasikan ilmunya. Ia menjadi salah seorang pengajar di Madrasah Ibtidaiyah Pattallassang dan sekolah adat Bowonglangit.

Melanjutkan pendidikan hingga meraih gelar sarjana, kata Nuryanti, bukan hal mudah. Sejak sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama, ia harus jalan kaki sejauh empat kilometer dan menyeberangi sungai, karena jalanan di Pattallassang, belum bisa dilalui kendaraan dan belum ada yang memiliki kendaraan. Satu-satunya sekolah dasar negeri hanya ada di Pao dan Tombolo. 

Sebenarnya, di Pattallassang sudah ada sekolah Madrasah Ibtidaiyah sejak 1968. Namun karena itu adalah sekolah swasta, warga harus membayar, padahal penghasilan warga sangat sedikit, untuk memenuhi kebutuhan pokok saja tidak cukup.

Itu penyebab warga Pattallassang banyak yang tidak sekolah hingga tahun 1980an, kalaupun ada yang sekolah, jarang bisa tamat sekolah dasar. Mereka lebih memilih membantu orang tuanya di sawah atau kebun. 

Muhammad Arif, salah seorang warga di sana yang berhasil menyelesaikan perguruan tinggi juga memilih pulang kampung. Kini ia juga menjadi salah seorang pengajar sekolah adat Bowonglangit. 

“Tenaga pengajar masih sangat kurang di sini. Makanya saya berpikir, lebih baik saya yang pulang kampung mengajar, daripada orang luar yang didatangkan. Dan itu bisa mempengaruhi orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya, karena ada kami, keluarganya, yang mengajar,” ujar Arif yang kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. 

 

Menguatkan Hutan sebagai Sumber Hidup

Kawasan yang dijadikan kampung Pattallassang dulunya adalah hutan yang masuk dalam wilayah Kerajaan Pao. Menurut Saleh, hutan itu dibuka sekitar tahun 1880an. Orang yang pertama membuka hutan untuk dijadikan tempat tinggal adalah Kamase, pengawal barang dagangan kerajaan Pao. Kamase dua bersaudara, sama-sama bertugas di kerajaan, tapi saudaranya adalah prajurit istana. 

“Konon, Kamase minta tempat untuk berkebun kepada raja Pao. Ia ingin hidup dari hasil berkebun. Lalu, raja menunjukkan hutan itu,” cerita Saleh. 

Sejak itulah, Kamase tinggal di hutan itu dan berkebun. Kebun itu jadi sumber penghasilannya. Lambat laun, jumlah penduduk di hutan itu bertambah. Mereka adalah suku Makassar dan Bugis, tapi mereka menggunakan bahasa Konjo sebagai bahasa sehari-hari. Karena hutan itu telah diubah menjadi lahan perkebunan untuk sumber kehidupan, akhirnya disebut kampung Pattallassang. “Pattallassang artinya sumber kehidupan,” kata Saleh.

Sejarah panjang itu kini diwariskan kepada masyarakat. Hingga saat ini, sumber penghasilan warga Pattallassang adalah hasil dari sawah dan kebun. Untuk menggarap sawah dan kebun, mereka harus jalan kaki hingga tujuh kilometer dan mendaki, karena kampung itu berada di lereng pegunungan. Hasil panen pun dibawa pulang dengan memikulnya sambil jalan kaki.

Seorang pria berjalan memikul sekarung hasil kebun di pundaknya. (Project M/Andi Hajramurni) 

Saleh menuturkan, dulu nasi bukan menjadi makanan utama masyarakat Pattallassang, karena produksi kurang dan panen hanya sekali setahun. Apalagi, ada tradisi turun-temurun penggarapan sawah di kampung itu. Setiap lahan sawah jadi milik bersama satu keluarga. Sawah itu digilir setiap tahun atau setiap musim tanam. 

“Kami memiliki tradisi penggarapan sawah. Jika misalnya, satu rumpun keluarga ada lima kepala keluarga, maka mereka hanya bisa menggarap sawah itu, sekali dalam lima tahun. Makanya, saat panen, padi harus dihemat, agar cukup memenuhi kebutuhan keluarga,” jalan Saleh. 

Selain dikonsumsi sendiri, mereka juga harus jual beras untuk membeli kebutuhan pokok lainnya. Karena kondisi itu, banyak warga yang akhirnya mengonsumsi jagung, ubi dan buah karopi sebagai makanan utama menggantikan nasi. 

Banyak di antara warga juga akhirnya bekerja sebagai buruh tani atau penggarap sawah. Hasilnya dibagi dua dengan pemilik sawah. Karena kondisi yang serba susah, ada juga warga yang terpaksa menggadaikan sawahnya. Anak-anak muda kampung juga terpaksa keluar dari kampung, merantau mencari pekerjaan di ibukota Gowa hingga Makassar. Rata-rata mereka kerja serabutan, jadi buruh bangunan, tukang becak, dan asisten rumah tangga. 

Kondisi yang serba menyulitkan itu perlahan mulai diperbaiki. Setelah memperoleh banyak pengetahuan selama belajar di sekolah adat Bowonglangit, kini mereka bisa meningkatkan produksi pertanian. Bukan lagi hanya padi, jagung dan ubi yang mereka tanam, tapi beragam jenis hortikultura. Mereka juga memperluas lahan perkebunan dengan memanfaatkan lahan kosong, dan zona luar hutan adat maupun hutan lindung. Tanaman hortikultura, seperti sayur-sayuran sudah jadi sumber penghasilan mereka. 

Mereka juga beternak sapi. Setiap rumah memelihara dua ekor sapi, sesuai kesepakatan mereka di awal belajar di sekolah adat Bowonglangit. Mereka diizinkan menjualnya, jika sudah berkembang biak, dan harus tetap menyisakan dua ekor. 

Sekolah adat juga menguatkan sikap gotong-royong di semua lini untuk meningkatkan taraf hidup. Salah satu yang menjadi perhatian mereka adalah rumah tidak layak huni. Mereka membangun rumah menggunakan kayu yang diambil dari hutan adat. 

Berdaya Meski Jauh dari Fasilitas Umum

Secara geografis Kampung adat Pattallassang berada di lereng pegunungan Bowonglangit dan Bulu’ Barani, Gowa dengan ketinggian 650-1.800 MDPL. Di malam hari, suhu mencapai kisaran 14 derajat celcius. 

Lokasi ini tidak begitu menguntungkan, sebab segala akses fasilitas umum, seperti sekolah dan rumah sakit menjadi jauh. Jika ada masyarakat yang sakit atau akan melahirkan, mereka terpaksa dibawa keluar. Saat musim hujan, mereka harus jalan kaki sejauh tiga kilometer, lantaran jalur transportasi tidak dapat diakses, sehingga ada warga yang terpaksa melahirkan di jalan. Karena akses yang jauh itu, mereka akhirnya mengandalkan pengobatan tradisional bila ada yang sakit. 

Untuk ke pasar yang hanya ada di Tombolo dan digelar dua kali seminggu, yakni Senin dan Jumat, warga juga harus berjalan kaki. 

Akses jalan yang menghubungkan Pattallassang dengan kampung lainnya, dibuka sendiri oleh masyarakat, pada 2001 lalu. Sebelumnya, mereka hanya menggunakan jalan setapak melintasi hutan dan menyeberangi sungai. 

Saleh mengatakan, warga bergotong royong membuka akses jalan, karena mereka membuka lahan perkebunan. Mereka butuh jalanan yang bisa dilalui untuk membawa hasil panen sawah dan kebunnya. Pada 2013, dilakukan pelebaran badan jalan, untuk memudahkan akses.

Dua tahun setelah pelebaran jalan atau 2015, seorang warga Pattallassang membeli sepeda motor. Kendaraan roda dua itulah menjadi alat transportasi pertama yang masuk di Pattallassang. Pada 2017 pemerintah daerah setempat memperbaiki jalanan dengan melakukan cor beton, tapi tidak keseluruhan badan jalan dicor, hanya untuk dilintasi ban mobil. 

Sayangnya, kualitas cor betonnya tidak kuat dan tidak bertahan lama. Cor beton itu kini sudah rusak parah. Jalanan kembali berlubang dan berlumpur saat diguyur hujan, sehingga tidak bisa lagi dilalui mobil, sedang untuk sepeda motor tidak semua bisa melintasi jalan rusak itu. Warga akhirnya terpaksa mengangkut hasil panennya dengan jalan kaki.

Akses keluar dan masuk Pattallassang terbatas karena jalan susah dilalui alat transportasi yang juga masih minim. (Project M/Andi Hajramurni)

Sambungan listrik baru ke kampung itu pada 2017 lalu. Setelah diperjuangkan cukup lama, bahkan Muhlis harus berurusan dengan aparat penegak hukum. Penyebabnya, pasokan aliran listrik sempat terkatung-katung, padahal biaya pemasangan telah dilunasi. “Nyaris saya dipenjara, karena dianggap menyalahgunakan biaya pemasangan listrik,” katanya. Sayangnya, masuknya listrik itu tidak disertai pemasangan lampu penerangan jalan, sehingga jalan-jalan di kampung itu, gelap gulita di malam hari. 

Sebelum aliran listrik dari PT PLN masuk, masyarakat Pattallassang membangun pembangkit listrik tenaga hidro mikro. Awalnya, sebanyak dua unit, lalu dikembangkan jadi 10 unit. Daya yang dihasilkan memang sangat terbatas, tapi bisa menjangkau sejumlah rumah. 

Perubahan yang dihadirkan sekolah adat Bowonglangit semakin menguat, seiring berkembangnya teknologi, hingga masuk ke kampung itu. Warga di sana sudah mulai melek teknologi. Rata-rata sudah kenal aksara dan berkecukupan. Muhlis menambahkan, semakin tinggi ilmu pengetahuan masyarakat Pattallassang, akan semakin berkembang pula perekonomian kampung itu. 

Sampai sekarang, warga Pattallassang masih membuka tangan untuk menerima bantuan, tanpa menilai jumlah dan bentuknya. Bahkan, pakaian bekas pun mereka terima dengan senang hati. “Mereka masih butuh bantuan, karena masih banyak yang rendah penghasilannya.” Tandas Muhlis. 

 

Sumber: Project Multatuli

https://projectmultatuli.org/perjuangan-sekolah-adat-bowonglangit-dulu-mereka-panggil-kami-budak-kini-kami-berdaya/

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.