Dari aktivitas keseharian kita, sesungguhnya kita menghasilkan limbah yang disebut limbah domestik. Limbah domestik ini terdiri dari limbah cair domestik dan limbah padat domestik. Limbah cair domestik sendiri dikategorikan menjadi Grey Water dan Black Water.
Grey water yaitu limbah non kakus yang berasal dari aktivitas rumah tangga seperti memasak dan mencuci, sedangkan Black water merupakan limbah kakus yang terdiri dari kotoran manusia dan hewan. Namun sudahkah kita mengetahui bahwa air limbah sisa aktivitas kita sehari-hari tidak dapat langsung dilepaskan begitu saja di lingkungan? Sederhananya, beberapa jenis limbah dapat memberikan efek buruk bagi kesehatan jika tidak diolah dengan benar. Pengelolaan air limbah domestik yang terintegrasi merupakan salah satu indikator penting dalam mewujudkan sanitasi aman. Pengelolaan air limbah domestik merupakan pekerjaan panjang dari hulu hingga hilir.
Dari hulu yang berarti dimulai dari dalam rumah, hingga hilir yang menjadi akhir dari pengolahan limbah domestik. Selanjutnya pada tulisan ini, kita akan berfokus pada pengelolaan limbah cair domestik kategori black water. Berdasarkan peraturan, pengelolaan air limbah domestik menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan bahwa air limbah domestik menjadi prioritas pembangunan di daerah. Dalam peraturan ini, tepatnya pada lampiran C poin 4, amanat dan kewenangan pengelolaan maupun pengembangan air limbah domestik berada pada pemerintah kabupaten/kota. Amanat yang sama pun tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018 mengenai Standar Pelayanan Minimal (SPM). Pada Pasal 7 Peraturan Pemerintah tentang SPM ini menyebutkan bahwa penyediaan pelayanan pengolahan air limbah domestik termasuk dalam jenis pelayanan dasar pada SPM pekerjaan umum provinsi maupun kabupaten/kota. Berdasarkan kedua peraturan ini, maka telah menjadi kewajiban pemerintah daerah untuk memenuhi hak dasar masyarakat dalam pengolahan air limbah domestik.
Alur Pengelolaan Air Limbah Domestik
Pengelolaan air limbah domestik kategori black water atau lumpur tinja mencakup tiga subsistem yaitu subsistem setempat (tangki septik individual/tangki septik komunal dan MCK), subsistem pengangkutan lumpur tinja ke IPLT (Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja), dan subsistem pengolahan di IPLT. Subsistem ini pun dapat dijabarkan dalam beberapa tahap. Pertama, dengan pemisahan air kakus dengan sistem drainase setempat. Air kakus harus masuk ke dalam penampungan atau tangki septik. Sejurus dengan itu, tangki septik di rumah kita harus kedap atau tidak bocor. Kedua, penyedotan lumpur tinja yang dilakukan secara rutin. Hal ini biasanya dapat dilakukan dalam tiga atau empat tahun sekali, tergantung jumlah orang yang menggunakan tangki septik tersebut. Ketiga, pengangkutan lumpur tinja yang terkawal sesuai dengan standar. Keempat, membuang lumpur tinja di Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) dan pengolahan lumpur tinja yang efektif di IPLT tersebut. Kelima, pemanfaatan lumpur sisa olahan yang aman bagi lingkungan.
Seluruh tahap yang telah disebutkan merupakan alur pengolahan limbah domestik yang saling terkait satu sama lainnya. Sayangnya, rangkaian sistem pengelolaan lumpur tinja yang terintegrasi ini secara faktual belum berjalan dengan baik di banyak wilayah, tak terkecuali di Provinsi Sulawesi Selatan. Meski telah dinyatakan 95% bebas BABS, namun kondisi pengolahan air limbah di sejumlah kabupaten/kota di Sulawesi Selatan sendiri masih memerlukan perhatian dari berbagai kalangan.
Pentingnya Keberadaan IPLT untuk Pengelolaan Air Limbah Domestik yang Berkelanjutan
Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) merupakan pengolahan air limbah (dark water) yang dirancang untuk menerima dan mengolah lumpur tinja yang berasal dari sistem setempat yang diangkut melalui sarana pengangkut lumpur tinja. IPLT dapat dikatakan sebagai pengolahan lanjutan karena lumpur tinja yang telah diolah di tangki septik, belum layak dibuang ke lingkungan. Lumpur tinja yang terakumulasi harus melewati proses pengolahan di IPLT terlebih dahulu sebelum dilepaskan ke lingkungan. Berdasarkan Peraturan Menteri PUPR Nomor 4 Tahun 2017 tentang Sistem Pengelolaan Air Limbah Domestik, IPLT merupakan subsistem pengolahan dalam sistem pengelolaan air limbah domestik setempat. Keberadaan suatu IPLT dinilai sangat penting mengingat lumpur tinja tidak boleh langsung dibuang ke badan air, dikarenakan dapat menyebabkan pencemaran organik yang tinggi.
Alur operasional IPLT secara sederhana diawali dengan masuknya lumpur tinja ke bak pemisah lumpur (Solid Separation Chamber/SSC). Bagian ini berfungsi untuk memisahkan kandungan solid (padatan) yang sangat tinggi pada lumpur tinja dengan air limbah (supernatan). Cairan yang dihasilkan kemudian akan masuk ke bak anaerobik di mana air limbah diolah menggunakan bakteri anaerob lalu dilanjutkan ke kolam fakultatif yang berfungsi untuk mendegradasi bahan anaerob dan berbagai jenis mikroorganisme penyebab penyakit.
Selanjutnya air limbah diolah dalam bak maturasi untuk menghilangkan mikroba patogen yang berada di dalam limbah. Akhirnya air limbah akan masuk ke unit pengolahan terakhir di IPLT yaitu wetland, di sini air sisa pengolahan siap untuk dilepas ke lingkungan, setelah melewati proses baku mutu terlebih dahulu. Sementara itu, padatan yang terkumpul di SSC apabila telah mencapai batas tertentu dan telah cukup kering maka dapat dilakukan pengambilan dan pemindahan lumpur menuju bak pengeringan secara manual. Di sini akan terjadi proses pengeringan lebih lanjut melalui penguapan dan penyaringan. Apabila lumpur telah kering dengan waktu pengeringan selama kurang lebih 10-15 hari, lumpur tersebut sudah aman dimanfaatkan, misalnya untuk kompos.
Setelah mengetahui proses pengolahan air limbah domestik di IPLT, maka kita dapat membayangkan ketiadaan IPLT di suatu wilayah akan memberikan dampak yang luas. Limbah domestik yang tidak dikelola dan dilepaskan begitu saja ke lingkungan akan menjadi masalah lingkungan dan kesehatan yang serius kedepannya. Di Provinsi Sulawesi Selatan sendiri, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Cipta Karya Sulawesi Selatan, hanya 16 kabupaten yang telah memiliki IPLT dari 24 kabupaten yang ada. Dari jumlah tersebut pun tidak seluruhnya berfungsi dengan baik. Tiga dari enam IPLT yang sudah ada belum berfungsi, dan sisanya memerlukan pembenahan baik dari segi fisik, maupun sistem pengelolaannya.
Mendukung Pengembangan dan Penguatan Kelembagaan
Program WASH kerjasama UNICEF dan BaKTI, sejak tahun 2015, terus memberikan dukungan dalam percepatan sanitasi layak dan aman di Provinsi Sulawesi Selatan melalui dukungan di kabupaten/kota. Salah satu wilayah dampingan program WASH adalah Kabupaten Sidenreng Rappang atau akrab disebut Kabupaten Sidrap. Kabupaten dengan jumlah penduduk 319.990 jiwa pada tahun 2020 ini sendiri, telah dinyatakan bebas BABS (Buang Air Besar Sembarangan). Upaya tersebut dicapai dengan komitmen pemerintah daerah melalui berbagai upaya seperti pembangunan tiga unit MCK komunal dan empat unit IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) komunal di sepanjang tahun 2014-2016. Hingga akhirnya pada tahun 2016, Kabupaten Sidrap membangun IPLT yang berlokasi di Kecamatan Watang Pulu. IPLT Kabupaten Sidrap ini berada satu lokasi dengan TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) Patomo yang juga milik Kabupaten Sidrap. Selama itu, pengelolaan IPLT pun diserahkan kepada UPT TPA tersebut.
Di tahun 2020, Kabupaten Sidrap telah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2020 tentang Pengelolaan Air Limbah Domestik. Meskipun demikian, tantangan implementasi pengelolaan air limbah domestik masih dihadapi pemerintah daerah, yakni belum optimalnya pengoperasian seluruh subsistem pengolahan air limbah domestik, mulai dari subsistem setempat hingga pengolahan di IPLT. Guna mengoptimalkan pengoperasian sistem pengelolaan air limbah domestik ini maka dibutuhkan pengelola yang minimal berbentuk unit pelaksana teknis.
Jika selama ini pengelolaan IPLT diserahkan kepada UPT TPA, maka diperlukan adanya unit baru yang khusus menangani pengelolaan air limbah domestik. Dalam hal ini dibutuhkan adanya UPT PALD (Unit Pelaksana Teknis Pengelolaan Air Limbah Domestik) di bawah naungan OPD (Organisasi Perangkat Daerah) yang menjalankan tugas pokok dan fungsi yang sesuai yaitu Dinas Bina Marga Cipta Karya Tata Ruang Pertanahan dan Perumahan Rakyat (sebelumnya Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat).
Upaya yang dilakukan program WASH kerja sama UNICEF dan BaKTI untuk mendukung pengembangan dan penguatan kelembagaan UPT PALD di Kabupaten Sidrap diawali dengan mengadakan Pertemuan Pemetaan Partisipatoris Pengembangan Kelembagaan UPT PALD Sidrap pada Oktober 2021 lalu. Kesepakatan untuk mendirikan UPT PALD ini pun berlanjut dengan audiensi bersama pemerintah Kabupaten Sidrap pada 13 Juli 2022. Audiensi ini untuk memaparkan tujuan dan rencana pengembangan kelembagaan UPT PALD kepada pimpinan daerah Kabupaten Sidrap sekaligus melakukan observasi terhadap IPLT Kabupaten Sidrap.
Selanjutnya pembentukan Tim Teknis Pengembangan Kelembagaan UPT PALD Kabupaten Sidrap pun dilaksanakan. Didampingi oleh program WASH Kerjasama UNICEF dan BaKTI, tim teknis ini melakukan persiapan penyusunan naskah akademik serta regulasi-regulasi yang diperlukan untuk mendukung pengembangan kelembagaan UPT PALD kabupaten Sidrap. Hingga Agustus 2022 ini, proses penyusunan naskah akademik dan regulasi dibutuhkan tengah berlangsung dan ditargetkan akan rampung pada September 2022 mendatang. Proses ini pun melibatkan sejumlah pejabat berwenang di Kabupaten Sidrap serta perwakilan dari Balai Prasarana dan Permukiman Wilayah Sulawesi Selatan. Diharapkan dengan adanya UPT PALD, sistem pengolahan air limbah domestik di Kabupaten Sidrap dapat terorganisir dan berjalan dengan lebih efektif dan berkelanjutan.
Kabupaten Sidrap adalah satu dari sedikit kabupaten yang menyadari pentingnya keberadaan IPLT yang dikelola oleh UPT PALD dalam pengolahan air limbah domestik setempat. Seperti yang disampaikan sebelumnya, bahwa pengolahan air limbah domestik merupakan standar pelayanan minimal yang berkaitan erat dengan kesehatan lingkungan dan masyarakat. Untuk itu, telah menjadi hak masyarakat untuk memperoleh pelayanan pengolahan air limbah domestik yang terintegrasi di wilayahnya, serta menjadi kewajiban pemerintah daerah untuk mewujudkan hal tersebut.