Peluang & Tantangan Ekonomi Digital

Perusahaan start-up dan industri ekonomi digital, saat ini tengah menjadi sektor usaha yang begitu potensial bagi perekonomian Indonesia. Selain terlihat pada meningkatnya jumlah start-up Indonesia yang berpredikat sebagai unicorn, hal ini juga terlihat pada tren tiga tahun belakangan ini, dimana investor asing mulai gencar menanamkan modalnya hingga mencapai 2 miliar dollar US, atau ebesar 27,98 triliun rupiah jika dirupiahkan dengan kurs 13.999 rupiah per dollar US, ke dalam sektor usaha tersebut.

Melihat kenyataan ini, bukan tidak mungkin sektor ekonomi digital di masa depan menjadi penopang perekonomian Indonesia. Terlebih apabila melihat lesunya kondisi perekonomian dari segi arus modal yang masuk di Indonesia, menurut Thomas Lembong, Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), sektor tersebut mampu menjadi penyelamat dengan mengundang investasi langsung asing (Foreign Direct Investment/FDI) sekitar 15-20 persen dari rata-rata total FDI yang setiap tahunnya mencapai 9-12 miliar dollar US (Katadata.co.id 27/2).

Laporan riset Google-Temasek pada akhir 2018, Indonesia sebagai negara dengan ekonomi digital terbesar dan tercepat pertumbuhannya, dimana memiliki 4 dari 8 start-up unicorn yang ada di Asia Tenggara, diprediksi akan menikmati 40 persen dari nilai ekonomi digital Asia Tenggara yang telah mencapai 72 miliar dollar US dan diperkirakan akan terus membesar hingga mencapai dari 240 miliar dollar US atau 3.360 triliun rupiah pada 2025. Lebih jauh, laporan lembaga riset global McKinsey bahkan menyebutkan nilai ekonomi digital Indonesia akan mencapai 150 miliar US dollar pada 2025 (Katadata.co.id 22/2).

Meski demikian, jika memperhatikan berbagai keluhan dari para pelaku start-up, dan juga oleh sejumlah kalangan, persoalan regulasi masih menjadi batu sandungan terhadap berbagai pengembangan ekosistem dan investasinya. Mulai dari banyak serta semrawutnya berbagai regulasi dari kementerian/lembaga terkait yang berbeda dalam hal mengatur pendiriannya, hingga kurang kondusifnya regulasi yang ada dalam mengatur perusahaan start-up untuk go public dan melantaikan sahamnya (Initial Public Offering/IPO) ke bursa saham dalam negeri.

Dalam tataran rezim regulasi pendiriannya saja misalnya, para pelaku usaha memang diberikan kemudahan dalam melakukan pendirian start-up, yakni hanya diharuskan untuk melakukan pendaftaran sebagaimana Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pendaftaran Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik yang dapat dilakukan secara online, akan tetapi setelahnya perusahaan start-up itu kemudian dihadapkan dengan beberapa perizinan dari berbagai peraturan kementerian/lembaga terkait, tergantung dari bidang usaha yang digeluti.

Apabila bergerak di bidang Teknologi Finansial, start-up itu akan dihadapkan dengan beberapa perizinan pada berbagai peraturan dari Kominfo, Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan, dan Bank Indonesia. Apabila bergerak di bidang perdagangan, tentunya juga akan melibatkan peraturan Kementerian Perdagangan, apabila bergerak di bidang transportasi, akan berhadapan dengan peraturan Kementerian Perhubungan, apabila bergerak di bidang pertanian, akan berurusan dengan peraturan Kementerian Pertanian, dan begitulah seterusnya.

Sementara perusahaan start-up akan terus berinovasi dan berkembang seiring dengan kemajuan teknologi, regulasi akan selalu terlampau lambat untuk mengikuti. Realitas ini tergambar persis dalam adagium hukum klasik yang berbunyi ‘het recht hinkt achter de feiten aan’ yang berarti hukum selalu berjalan tertatih-tatih mengejar perkembangan zaman.

Hal ini tentu dapat diatasi, jika seandainya pemerintah dapat membuat pengaturan yang utuh dalam mengatur pendirian, pengoperasian serta bantuan-bantuan dan keringanan bagi pengembangan ekosistem perusahaan start-up, kedalam satu regulasi yang dapat menaungi berbagai bidang usaha dan perkembangan teknologi.

Jenis regulasi ini, tentunya tidak bisa mengandung materi muatan yang kaku, atau dengan kata lain harus mengandung norma pelindung yang dapat berlaku dinamis, namun tetap menjamin kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak konsumen.

Adapun dari sisi regulasi investasinya, sudah menjadi pengetahuan umum dalam dunia perusahaan bahwa kedudukan serta kehadiran investor, merupakan hal yang penting bagi suatu perusahaan. Untuk dapat menopang, menjaga napas keberlangsungan dan pengembangan perusahaannya, sebuah perusahaan sudah tentu memerlukan suntikan modal investasi dari seorang atau beberapa investor. Tidak terkecuali bagi perusahaan start-up yang sedang dan akan terus berinovasi seiring dengan perkembangan teknologi digital.

Dalam beberapa hal tertentu, dapat dikatakan terdapat karakteristik yang berbeda antara perusahaan start-up dan perusahaan konvensional lainnya. Dalam perusahaan start-up, ide serta gagasan senantiasa dibakar untuk dapat terus berinovasi dan memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus terdisrupsi seiring dengan perkembangan era digital.

Penulis tidak menyatakan bahwa perusahaan konvensional tidak memiliki spirit seperti itu, akan tetapi intensitasnya sudah tentu tidak secepat perusahaan start-up, yang memang bekerja mengikuti pola. Oleh karenanya, orisinalitas ide dan tata cara kerja tertentu dalam dapur pacunya, tentunya menjadi sesuatu hal yang patut dijaga kerahasiaannya agar tidak ditiru dan dicuri oleh start-up lainnya. Namun sayangnya, sejumlah regulasi yang ada dalam hal mengatur perusahaan start-up setelah melakukan IPO, mengharuskan untuk mempublish beberapa datanya.
Walaupun di sisi lain, terkait prinsip transparansi dan syarat-syarat tertentu lainnya yang diperlukan dalam proses IPO Bursa Efek Indonesia, tentunya merupakan suatu keniscayaan, mengingat yang dikelola adalah dana publik yang berasal dari masyarakat, dan praktik yang selama ini dijalan terhadap perusahaan konvensional memang begitu adanya.

Akan tetapi hal ini tentunya menjadi tantangan tersendiri oleh para pemangku kebijakan, jika mengingat besarnya nilai valuasi yang dimiliki para unicorn Indonesia, beserta manfaatnya bagi perekonomian nasional, sehingga perlu untuk ‘dijinakkan’ segera agar tidak kemudian berlari menjauhi Indonesia dan menetap di negara lain yang lebih mendukung ekosistem investasi perusahaan start-up.

Artikel ini bersumber dari https://www.theindonesianinstitute.com/peluang-dan-tantangan-ekonomi-digital/

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.