Saat ini, sekolah dasar di tanah Papua, secara khusus di Asmat sedang mengalami krisis. Sekolah dasar di kampung-kampung terpencil tutup lantaran tidak ada guru yang betah tinggal dan mengajar anak-anak. Gedung sekolah dasar dipenuhi rumput dan hutan belukar. Anak-anak usia sekolah terlantar. Mereka tidak bisa mengenyam pendidikan sebagaimana anak-anak di pusat distrik atau di Kota Agats.
Tidak dapat dimungkiri bahwa beberapa sekolah dasar di pedalaman Asmat yang dipimpin oleh anak-anak Papua sedang mati suri. Misalnya, di SD Inpres Sogoni dan SD Inpres Ambisu di Distrik Atsj. Demikian halnya, SD Inpres Buetkwar, Yuni, Beco dan Fakan di Distrik Akat. Sekolah-sekolah tersebut terpaksa tutup berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan karena kepala sekolah tidak ada di kampung. Demikian halnya, guru-guru yang ditempatkan di sekolah tersebut tidak mau tinggal di kampung. Mereka lebih memilih tinggal di Agats.
Meskipun demikian, tidak semua sekolah di pedalaman Asmat tutup. Stigma bahwa guru-guru asli Papua malas mengajar pun tidak seutuhnya benar. Sebab, di tengah rimba Asmat, tepatnya di Kampung Manep dan Simini, Distrik Akat, guru Pasifika Nakun membuka sekolah setiap hari. Ia bersama para gurunya tinggal di Kampung Manep dan mengajar anak-anak Asmat.
“Sejauh pengalaman saya di Kampung Manep dan Simini, orang tua tidak membawa anak-anak ke dusun. Orang tua pergi sendiri ke dusun, karena mereka melihat sekolah buka. Ada guru-guru di kampung yang mengajar. Tetapi, kalau sekolah tutup dan tidak ada guru di kampung, maka orang tua membawa anak-anaknya ke dusun. Jadi, tidak benar kalau kita salahkan orang tua bahwa mereka suka membawa anak-anak ke dusun,” papar guru yang menyelesaikan pendidikan dasarnya di SD Inpres Syuru ini.
Pasifika menjelaskan bahwa kehadiran guru di kampung sangat berpengaruh terhadap keaktifan dan keterlibatan masyarakat di kampung, terutama orang tua dalam mendorong anak-anak ke sekolah. Menjadi guru di pedalaman Asmat tidak hanya mengajar anak-anak, tetapi juga mengurus Gereja, memimpin ibadah pada hari Minggu dan pada saat orang meninggal. Selain itu, guru harus terlibat di dalam seluruh kehidupan sosial di kampung.
“Kita menjadi guru di kampung terpencil, kita tidak hanya buka sekolah dan mengajar anak-anak. Kita harus terlibat dalam seluruh kehidupan masyarakat. Di Manep, saya pimpin ibadah pada hari Minggu. Kalau ada orang meninggal, saya juga pimpin ibadah pemakaman. Intinya, kita harus dekat dengan masyarakat di kampung,” tegasnya.
Sehari-hari, Pasifika membaur dengan masyarakat. Ia pergi ke rumah-rumah warga. Ia membangun relasi harmonis dengan setiap orang di Kampung Manep dan Simini. Dirinya yakin bahwa melalui relasi yang baik dengan masyarakat, maka apa pun yang disampaikannya akan didengar oleh masyarakat. Sebab, mereka sudah saling mengenal satu sama lain.
Meskipun mengalami kemudahan dalam membangun relasi dengan masyarakat di Kampung Manep dan Simini, Pasifika tetap menghadapi sejumlah tantangan dalam membenahi SD Inpres Manepsimini. Tantangan terbesar adalah minimnya perhatian dari pemerintah daerah Kabupaten Asmat, terutama dinas pendidikan.
“Saya melihat masyarakat semangat kasih sekolah anak-anak mereka. Tetapi, dinas pendidikan tidak memberikan perhatian serius untuk pendidikan anak-anak Asmat di Kampung Manep dan Simini. Biasanya, mereka kunjungan hanya sampai di pusat Distrik Akat di Ayam. Kami yang di pedalaman ini terlupakan,” tuturnya dengan raut wajah sedih.
Ia menjelaskan bahwa dirinya berjuang mengelola SD Inpres Manepsimini dalam segala keterbatasannya. Ruang kelas terbatas, WC masih rusak, tidak ada perpustakaan, tidak ada kantin, tidak ada ruang UKS, tidak ada ruang kepala sekolah dan ruang guru yang memadai. Meskipun demikian, sekolah tetap buka dan berjalan sebagaimana mestinya sehingga anak-anak bisa mendapatkan pendidikan.
“Saya sudah berusaha supaya dinas pendidikan bisa membangun ruang guru dan Perpustakaan, tetapi sampai saat ini belum terjawab,” paparnya. Selain sarana infrastruktur, perempuan Papua asal Mandobo ini juga mengalami kesulitan terkait tenaga guru. Sebelumnya, hanya empat orang guru, tetapi dirinya berjuang meminta ke dinas pendidikan sehingga saat ini sudah ada tujuh orang guru.
“Saat ini, kami ada tujuh orang guru. Semua aktif mengajar. Sebelumnya, hanya ada empat orang, tetapi saya pergi minta di dinas pendidikan sehingga ada penambahan tiga guru,” jelasnya. Ia menjelaskan bahwa pemerintah hanya membangun sekolah dasar di kampung tanpa melengkapinya dengan fasilitas rumah guru. Di Manep ini, ada dua rumah guru. Satu rumah kopel. Satu rumah lainnya sudah miring dan hampir roboh.
“Rumah guru yang kopel, saya dan teman guru yang masih muda tempati. Satu lainnya, yang hampir roboh itu ditempati juga oleh guru. Ada juga guru yang menginap di pastoran Manep,” tambahnya. Terkait keterlibatan pemerintahan Kampung Manep dan Simini dalam penyelenggaraan pendidikan, ia mengapresiasi kedua kepala kampung karena selalu memberikan perhatian kepada SD Inpres Manepsimini. Buktinya pada saat dana desa cair, kedua kepala kampung menyerahkan dana untuk sekolah. “Kampung Manep, sebagai kampung induk kasih dana 50 juta rupiah per tahun. Sedangkan Kampung Simini, 30 juta rupiah per tahun,” paparnya. Pasifika menuturkan bahwa mendidik anak-anak Asmat tidak cukup hanya dengan kecerdasan intelektual. Pihaknya, juga memberikan pendidikan nilai termasuk kerohanian dan mental kebangsaan.
“Setiap hari Jumat dan Sabtu, saya arahkan anak-anak untuk ikut kegiatan rohani di gereja. Sedangkan setiap hari Senin, kami upacara bendera. Termasuk pada hari-hari besar seperti tanggal 2 Mei dan 17 Agustus 2019, kami melaksanakan upacara bendera,” kisah guru yang mulai bertugas di SD Inpres Manepsimini sejak tahun 2008 ini. Untuk mendidik anak-anak Papua, khususnya di Asmat membutuhkan kerjasama semua pihak, baik masyarakat, tokoh adat, pemerintah maupun Gereja. Guru-guru menjadi yang terdepan, sebab mereka berada di kampung-kampung terpencil. Tetapi, para guru membutuhkan dukungan dari masyarakat, pemerintah dan Gereja. Tanpa dukungan dari semua pihak tersebut, mustahil sekolah di kampung-kampung terpencil di Asmat akan berjalan sebagaimana mestinya.
“Saya merindukan perhatian semua pihak terhadap pendidikan bagi anak-anak Papua, terutama di Asmat. Sebab, melalui pendidikan berkualitas, masa depan Papua akan menjadi lebih baik. Karena itu, kita harus bersama-sama membangun pendidikan bagi orang Papua,” harapnya. Guru kelahiran Agats ini pun mengajak para guru di Papua supaya tidak segan bergaul dengan masyarakat kampung. Sebab, melalui relasi dan pergaulan yang terbuka, para guru akan semakin mengenal dan memahami kondisi hidup masyarakat.
Sebagai guru, pembawaan diri kita merupakan yang utama. Kita harus menjadi panutan dan teladan bagi masyarakat kampung. Kalau guru-guru bisa membawa diri dengan baik di tengah masyarakat kampung, sekolah di kampung pasti hidup,” tuturnya. Sebagai perempuan Papua yang memilih profesi sebagai guru, Pasifika berharap ke depan, para guru orang asli Papua harus menunjukkan integritasnya dalam mendidik anak-anak Papua. Sebab, masa depan generasi Papua sangat tergantung pada para guru yang mendidik anak-anak Papua.
“Saya harap para guru senior dan rekan guru orang asli Papua bisa menunjukkan dedikasinya dalam mendidik anak-anak Papua. Kami guru-guru asli Papua harus menunjukkan bahwa kami bisa menjadi guru yang rajin mengajar, jujur dan berintegritas. Karena itu, setiap guru orang asli Papua harus membenahi dirinya dan bersedia tinggal di kampung-kampung terpencil dan mendidik anak-anak Papua,” paparnya.