Jika Pandemi COVID-19 ini terjadi pada 2030 nanti, kita mungkin tidak hanya cemas dan khawatir. Teror dan takut akan menghiasi kehidupan manusia pada saat itu. Para pakar memprediksikan sepuluh tahun dari sekarang bumi sudah dalam kondisi absolutely crisis. Menghadirkan krisis kemanusiaan yang berkepanjangan.
Kemajuan teknologi yang berkembang pesat menuju revolusi industri teknologi terkini, era 6.0, tidak bisa memecahkan semua masalah. Inovasi Artificial Intelligence, Robotic, Biomimicry dan berbagai inovasi teknologi lainnya hanya bisa memuaskan kebutuhan manusia namun belum bisa memecahkan permasalahan kehidupan secara menyeluruh.
Kegagapan global menghadapi pandemi COVID-19 adalah salah satu bentuk tidak berdayanya kemampuan teknologi yang dimiliki manusia saat ini. Apapun alasannya, apakah teori ‘konspirasi’ atau karena siklus tahunan pandemi, ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bisa menghadirkan vaksin penangkalnya secepat outbreak Virus Sars Cov-2.
Persoalan lainnya adalah kesadaran terhadap permasalahan bumi masih bersifat retorika dan paradoksal. Kesadaran kita terhadap keberlangsungan kehidupan di bumi sangat penting. Bumi memiliki sumber daya yang terbatas. Alih-alih menahan hasrat di tengah kelangkaan sumber daya, keinginan manusia justru melewati batas yang seharusnya, bahkan sering bermuara pada kompetisi dan konflik penguasaan sumber daya.
Kita telah melewati banyak kesepakatan, mulai KTT Bumi 1992 hingga Rio+20. Namun fakta menjelang Paris Agreement 2015 laju emisi karbon belum bisa dikendalikan. Negara maju seperti bermain pat gulipat, permainan menuju kompetisi yang tidak sehat, kondisi nash equilibrium.
Seperti dalam teori prisoner's dilemma, kompetisi ditengah makin langkanya sumber daya ini membuat banyak negara wait and see. Satu sama lain saling menunggu, curiga dan mencuri-curi kesempatan untuk dirinya. Kondisi nash equilibrium seharusnya menjadi alert bagi kesadaran sebelum bumi mengalami tragedy of common secara global
Kenapa kesepakatan ini penting?
Awal tahun ini, Majalah Tempo mengabarkan pecahnya salah satu bongkahan es terbesar di laut Antartika. Ini hanya mengikuti lelehan es kutub yang terus mencair dan menyebabkan paras air laut naik. Kita perlu sangat khawatir. Dampaknya sangat luar biasa, bisa mengubah bumi menjadi tidak seperti yang kita lihat sekarang.
Skenario optimistic view pada pertemuan IPCC, 2018, suhu bumi akan terus meningkat hingga 3.2 derajat celcius sebelum pemanasan global berhenti. Pada kondisi ini es akan terus mencair menyebabkan Hongkong, Shanghai, Miami kebanjiran. Saat kawasan selatan Eropa mengalami kemarau permanen, kebakaran lahan di AS meningkat hingga 600%.
Pada skenario pessimistic, suhu bumi diprediksikan meningkat hingga 8 derajat celcius pada 2100. Geostorm yang dahsyat terjadi dimana-mana, banjir di dua per tiga belahan bumi dan penyakit tropis yang mewabah tidak memungkinkan lagi kehidupan seperti yang kita alami saat ini.
Necessary Revolution
Dunia masih menunggu bagaimana akhir pandemi COVID-19. Polemik tentang strategi menghentikan penularan juga belum berhenti, vaksin, terapi imunitas lainnya atau membiarkan penjangkitan mencapai tahap terbentuknya herd immunity. Kegagapan ini mengkhawatirkan. Sekjen WHO telah memperingatkan kemungkinan datangnya pandemi lain, yang mungkin bisa lebih dahsyat.
Pandemi mendatang bisa jadi karena dampak global warming, berasal dari peluruhan es. Pada 2015, ilmuwan AS dan Tiongkok mengebor gletser sedalam 50 meter dan menemukan virus kuno di dalam lapisan es gletser, termasuk 28 kelompok virus baru dalam dunia sains. Lapisan salju abadi di kutub menyimpan varian flu seperti strain flu yang tersimpan dalam Es Alaska yang pada 1918 membunuh 80 juta orang. Artinya jika pemanasan global tidak dihentikan sekarang, dunia harus bersiap dengan pandemi berikutnya yang akan menyerang tanpa harus menunggu siklus 70-100 tahunan.
Menghentikan pemanasan global adalah langkah awal melindungi bumi dari serangan pandemi dan wabah lainnya. Semua harus terlibat dalam sebuah revolusi penyelamatan, Necessary Revolution, baik dalam kebijakan pembangunan maupun sikap individual.
Kebijakan pembangunan yang pro pertumbuhan harus dikoreksi. Belajar dari krisis keuangan 2008, kebijakan pro pertumbuhan adalah sesuatu yang miss guide, perlu pendekatan yang pro kemakmuran yang lebih komprehensif dan substansial. Antara lain melalui kebijakan hijau di masa depan yang pro keberlanjutan, a greener future.
Pandemi COVID-19 membuktikan pentingnya kehadiran kebijakan pro kemakmuran (prosperity based). Selama pandemi ini uang tidak menjadi segalanya, sebaliknya manusia didorong makin menghargai kesehatan dan memberikan respek terhadap lingkungan sekitarnya. Hal ini membutuhkan kebijakan yang mendukung seperti mensyaratkan pusat-pusat perekonomian menyediakan sarana prasarana yang ramah lingkungan serta nyaman bagi interaksi sosial masyarakat dan keagamaan.
Perubahan mindset individu terutama pada perilaku konsumsi. Sebagai konsumen masyarakat memiliki pengaruh dalam ekonomi. Semakin banyak pembelian produk sehat yang dihasilkan dalam rantai produksi ramah lingkungan maka semakin besar pengaruhnya terhadap faktor-faktor produksi. Seorang vegetarian, misalnya, secara tidak langsung memberi andil dalam upaya menekan emisi karbondioksida, land clearing dan penyelamatan lingkungan.
Sebuah revolusi sederhana yang cukup memadai bagi sebuah perubahan pascapandemi COVID-19. Necessary Revolution.
Mari Berubah untuk Bumi yang Lebih Baik!