Suhu siang itu di Kampung Margajaya cukup membuat gerah. Matahari seperti memanggang kampung transmigran di Distrik Uwapa ini. Tidak begitu banyak pepohonan rindang yang tumbuh di tengah kampung. Di lahan-lahan kosong atau halaman masjid yang luas, rerumputan meranggas. Kampung mulai dimasuki transmigran pada tahun 1990, saat Distrik Uwapa masih bagian dari Kabupaten Paniai. Letaknya berada di areal perbukitan, berjarak kurang lebih 33 kilometer dari Ibukota Nabire, Provinsi Papua.
Di sebuah rumah berbahan kayu dan batu, sebuah tim kerja sedang berdiskusi. Seorang laki-laki mengenakan topi korpri berwarna krem keemasan sedang memimpin pertemuan. Kadang ia berdiri menjelaskan sesuatu atau duduk memeriksa lembaran kertas yang dipegang oleh keenam perempuan dan seorang lelaki yang dipimpinnya. Mereka membahas satu kasus yang dihadapi kampung ini. Dari lembaran kertas itu, tertulis dengan huruf kapital, ‘Formulir Penyelidikan Kasus Malaria’.
Ini adalah operasi gabungan dari berbagai Kader Kampung. Dua ibu mengenakan baju dinas Puskesmas. Selebihnya berpakaian biasa. Mereka adalah Kader Posyandu, PKK, Kaur Kesra dan seorang Kader Kampung yang dilatih oleh Tim KOMPAK- LANDASAN Fase II. Siang ini, selama tiga jam mereka melakukan pengintaian langsung ke rumah-rumah warga dan lingkungan sekitarnya. Menurut Anwar, pimpinan pengintai, pemeriksaan orang-orang yang diduga mengidap gejala Malaria sudah direncanakan beberapa waktu lalu.
Tak lama kemudian, tim ini bangkit dan mulai bergerak lagi. Mereka memasuki sebuah lorong dan bergerak ke rumah-rumah melakukan pendataan.
Menurut Anwar, petugas kesehatan Puskesmas Topo, sejauh ini sekian persen warga yang diduga mengidap Malaria setelah diperiksa menggunakan RDT (Rapid Diagnostic Test), ternyata negatif. RDT adalah suatu alat uji cepat yang digunakan untuk mendeteksi plasmodium penyebab penyakit Malaria. Untuk lingkungan rumah dan sekitarnya jika terindikasi ada jentik nyamuk Anopheles, maka tim akan segera membagikan kelambu untuk semua rumah tangga dan menganjurkan agar pihak rumah mengambil langkah-langkah pencegahan.
Perhatian Puskesmas terhadap penyakit Malaria sudah dilakukan sejak lama. Namun belakangan tidak lagi aktif melakukan tindakan pencegahan secara langsung di masyarakat. Penyakit ini merupakan 10 penyakit terbesar yang paling sering ditangani di Puskesmas. Data Puskesmas Maret 2018 jumlah kasus Malaria memang menunjukkan adanya tren penurunan, tapi masih ada satu dua desa yang kasusnya masih relatif lebih tinggi. Begitu KOMPAK- LANDASAN Fase II memutuskan mengurusi isu Malaria, pihak Puskesmas Topo berpikir untuk segera menuntaskannya.
KOMPAK- LANDASAN Fase II mempunyai program khusus pemberantasan Malaria di empat kabupaten: Nabire, Jayapura, Manokwari Selatan dan Fakfak. Di sebuah rumah warga,seorang anggota tim mewawancarai pemilik rumah. Anggota tim yang lain memeriksa keberadaan jentik-jentik nyamuk di dalam rumah, pekarangan, halaman belakang dan lokasi genangan air. Selain mewawancarai penghuni rumah, jika ada kerumunan warga, maka suasana seperti itu akan dimanfaatkan oleh para pengintai ini dengan menyampaikan informasi tentang Malaria. Mengenalkan bentuk moncong nyamuk Anopheles betina, tata cara mencegah berjangkitnya nyamuk, baik dengan membersihkan genangan, menyemprot maupun menanami pekarangan. Tiga tanaman yang dianjurkan adalah sereh, geranium atau lavender. Ada juga poster ditempelkan di tempat-tempat strategis. Poster itu bertuliskan ‘MALARIA DAPAT DICEGAH!’ dan beberapa informasi visual di dalamnya.
Tim pemberantasan Malaria ini memiliki keunikan. Anggotanya berasal dari beragam organisasi. Bahkan staf pemerintah kampung juga ada, kader kampung dan Posyandu juga diikutkan. Semuanya bahkan sudah dilatih bagaimana mengoperasikan RDT sehingga proses pemeriksaan tidak harus lagi hanya dilakukan oleh orang kesehatan. Menyuntik dan mengambil sampel darah dilakukan dengan mudah dan risiko kegagalan atau tertular sangat kecil.
Tim ini ramai, kompak, dan menyenangkan
Melly adalah Kader Kampung yang juga sedang magang di Puskesmas Topo. Ia keturunan Jawa, tepatnya Banyuwangi, tapi lahir dan besar di Topo. Ia mengidentifikasi dirinya sebagai orang Papua ketimbang Jawa. Dia sangat mencintai kampungnya dan memilih mengabdi di Puskesmas setelah ia lulus dari sekolah kebidanan di Kota Nabire pada September 2015.
Ia merasa bertambah kemampuannya setelah mengikuti beberapa kegiatan tim KOMPAK- LANDASAN Fase II. Ia aktif melakukan pendataan kampung bersama Wanto, kader lain yang berprofesi sebagai petani kebun dan tukang ojek kayu gelondongan. Ia bersyukur karena pengetahuannya kini bukan hanya soal kesehatan saja. Ia menikmati diri sebagai kader kampung. Ia merasa beginilah panggilan hidupnya. Melayani orang-orang secara sosial.
Di Puskesmas, Melly dan rekannya bertugas menyusun SOP di bidang kebidanan dan Pendidikan program Bidan (P2B). Menurutnya, Puskesmas Topo kekurangan tenaga untuk bisa mempersiapkan persyaratan administrasi untuk akreditasi. Ia memperkirakan baru pada 2020 nanti Puskesmas di mana ia magang sebagai bidan bisa siap dinilai. Lagi pula, Puskesmas di sini adalah Puskesmas perawatan, bukan rawat jalan. Mempersiapkan diri untuk diakreditasi tentu lebih sulit.
Di sebuah warung ketoprak, para pengintai Malaria ini berkumpul bersiap makan siang yang sudah tertunda sekian jam. Di balebale di bawah pohon nangka mereka duduk dan bersenda gurau. Pemilik warung, suami dari ibu yang sedang melayani makan siang ini mengatakan bahwa ia baru beberapa hari lalu demam tinggi. Ia mengira dirinya terkena Malaria. Dengan sigap, Kaur Kesra Kampung Margajaya langsung berdiri dan memintanya duduk. Kebetulan, di tengah mereka ada juga Yunus Madai, Kepala Kampung Margajaya dari suku Mee. Rumahnya tak jauh dari warung ini.
“Sini saya periksa, Pakde!” ujar Kaur seraya mempersiapkan alat-alat kerjanya. Ia mengenakan sarung tangan karet. Bapak itu menolak, memilih agar Melly saja memeriksanya. Pak Kaur tertawa lebar. Pak Anwar, pimpinan tim mengatakan kepada bapak itu bahwa ia pun pandai. Bapak itu duduk, masih khawatir.
“Sini tangannya, Bapak!” Sang Kaur masih tertawa. Bapak ini sudah lebih santai. Melly membantu menyiapkan alat uji RDT Malaria, larutan assay buffer, pipet sampel, lanset, alcohol pad, dan tisu. Ia meletakkannya di samping Kaur. Kaur mulai membersihkan jari telunjuk bapak itu. Ia menekan dan mulai menusuk ujung jari dengan lanset. Kaur melakukannya dengan lincah. Bapak itu tidak bereaksi. Kaur membersihkan tetesan darah berikut sisa alkoholnya. Kaur lalu mengambil pipet mikro untuk mengambil sampel darah secukupnya. Lalu ia memasukkan ke lubang sampel dengan huruf S. Setelah itu ia membuka segel tutup assay buffer dengan memutar tutupnya tanpa tertumpah. Lalu ia menambahkan 3 tetes assay buffer 60 ml ke lubang buffer dengan kode huruf A. Tak lama muncul hasilnya.
“Cuma demam biasa berarti, Pak,” ujar kaur setelah membaca hasilnya. “Negatif!”
Orang-orang tertawa lagi. Ibu penjual datang membawa pesanan ketoprak dengan piring anyaman rotan bearalaskan daun pisang. Hmmm, waktunya mengatasi kelaparan.