• Foto: Yusuf Ahmad/Yayasan BaKTI
    Foto: Yusuf Ahmad/Yayasan BaKTI

Sejak bergesernya cara pandang ketahanan pangan dari FAA (Food Availability Approach) ke FEP (Food Entitlement Paradigm) secara konkrit, implementasinya perlu terdesentralisasi secara lebih mendasar. Tanggung jawab sudah sepatutnya diletakkan pada fungsi pemerintahan di tingkat kabupaten dan kota, terutama untuk pemenuhan kebutuhan pangan rumah tangga. Keotonomian dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dalam kaitan ketahanan pangan, sepatutnya tidak lagi lebih banyak mengandalkan kebijakan, strategi dan alokasi program dari skala nasional. Melainkan benar-benar secara otonomi mampu mencerminkan inisiatif, prakarsa dan kemampuan untuk menyejahterakan masyarakat yang diayominya.

Sampai saat ini, upaya pemenuhan kebutuhan pangan rumah tangga dalam kerangka ketahanan pangan nasional pada kenyataannya di satu pihak banyak mengalami distorsi juga di lain pihak mengalami kebocoran dalam implementasinya. Di wilayah-wilayah yang mencatat perkembangan perekonomian yang maju dan surplus, masih ditandai dengan rawan gizi pada kehidupan rumah tangga masyarakatnya. Itu berarti, ada struktur pemenuhan kebutuhan pangan yang luput dari perhatian dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah. Hal ini tentu saja terkait dengan realitas kemiskinan, ketimpangan, dan ketidak-merataan dalam perkembangan kehidupan ekonomi wilayah, yang nyaris menjadi realitas di semua wilayah. Tetapi pada kenyataannya, upaya untuk penanggulangan kemiskinan, ketimpangan dan ketidak-merataan, disamping belum mampu dioptimalkan, juga rawan pangan dan gizi justru tetap mengancam.

Secara global, kondisi ketahanan pangan Indonesia kurun waktu 2012-2018 telah mengalami peningkatan. GFSI (Global Food Security Index) mencatat bahwa Indonesia pada tahun 2012 membukukan skor sebesar 46,8 naik menjadi 54,8 pada tahun 2018, skor tertinggi 100. Berarti, meskipun telah meningkat namun capaian tersebut masih cukup rendah. Skor aspek kualitas dan keamanan (44,5), serta skor faktor SDA (43,9) bahkan masih berada di bawah rata-rata skor yang dicapai. Masih banyak yang perlu dilakukan untuk dapat memperbaiki posisi relatif di Indonesia secara global.

Indeks Ketahanan Pangan (IKP), Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, tahun 2018 menunjukkan bahwa mayoritas kabupaten dan kota menunjukkan peningkatan yang signifikan. Namun masih lebih dari 20 persen kabupaten (81) dan kota (7) yang masih perlu mendapat prioritas penanganan kerentanan pangan yang komprehensif. Disamping patut dicatat bahwa baik pada tingkat kabupaten maupun pada tingkat kota, capaian skornya sangat timpang. Kabupaten Tabanan mencatat skor sebesar 88,30 sedangkan Kabupaten Nduga hanya mencapai skor 7,38. Kota Denpasar mencatat skor 92,81 sedangkan Kota Subulussalam hanya mencapai 21,50.

Capaian pada IKP mengindikasikan bahwa secara individual baik kabupaten maupun kota, tidak sepatutnya dibiarkan mengandalkan sendiri kemampuan daerahnya untuk meningkatkan ketahanan pangannya. Ketahanan pangan, terutama dalam makna pemenuhan kebutuhan pangan rumah tangga, sepatutnya menjadi permasalahan pokok provinsi atau bahkan lintas provinsi. Terdapat permasalahan sistem pengelolaan kebutuhan pangan secara wilayah pada skala provinsi yang harus dikembangkan secara lebih strategis. Dalam kaitan ini, wawasan konektivitas antar kabupaten dan kota dalam suatu provinsi bahkan lintas provinsi harus mampu dikedepankan.

Foto: Mustarayani/Yayasan BaKTI
Foto: Mustarayani/Yayasan BaKTI


Untuk maksud tersebut, secara keseluruhan masing-masing kabupaten dan kota dituntut agar mampu menyusun neraca pangannya sendiri. Sedemikian rupa sehingga tercermin jelas dari waktu ke waktu unsur-unsur pangan yang menjadi kebutuhan mendesak di daerahnya. Sejauh ini, Badan Ketahanan Pangan di daerah masih lebih banyak menggunakan pendekatan ketersediaan (FAA) dan lebih terkait dengan potensi sektor pertanian di masing-masing daerah. Padahal sekian lama telah dipahami bahwa pangan yang menjadi kebutuhan rumah tangga tidak hanya terkait dengan keberadaan sektor pertanian. Bahkan mungkin saja tidak banyak. Memang terlihat secara jelas bahwa masalah ketahanan pangan di daerah lebih merupakan penjumlahan permasalahan ketimbang mengedepankan permasalahan yang sejatinya bersifat menyeluruh dan terintegrasi.

Hal di atas, juga disebabkan karena kebijakan, strategi dan program ketahanan pangan masih lebih merupakan cetak biru yang menjadi arahan secara nasional. Padahal dalam kenyataannya, kebutuhan pangan rumah tangga di tanah air, cukup bervariasi baik antar wilayah maupun antar kabupaten dan kota. Dengan demikian, pada dasarnya pemenuhan kebutuhan pangan di setiap kabupaten dan kota, yang memahami dan menguasai permasalahannya adalah pemerintah daerah kabupaten dan kota. Namun sejauh ini, keberadaan cetak biru yang menjadi arahan nasional telah cukup membatasi ruang gerak inisatif, prakarsa dan pengembangan kemampuan daerah otonom dalam kaitan ketahanan pangan.

Melalui neraca pangan, setiap kabupaten dan kota dapat mencermati kebutuhan dan pemenuhan pangan rumah tangga di daerahnya. Demikian pula tentunya kondisi dinamis ketahanan pangan daerahnya. Kebutuhan dan pemenuhan pangan daerahnya tentunya akan mendorong upaya kerjasama antar daerah yang memang merupakan arahan kebijakan nasional, terutama dalam menjaga dan memantau jaringan distribusi pangan untuk kepentingan masyarakat. Dalam kaitan ini, sejauh menyangkut pangan yang menjadi kebutuhan rumah tangga masyarakat, dimana perlu pemerintah daerah, secara bersama maupun masing-masing penting untuk melakukan pengendalian pasar, baik melalui intervensi langsung maupun pemberian subsidi, agar mekanisme pasar tidak menekan dan menjerat kehidupan ekonomi rumah tangga.

Dalam kerangka makro, pemerintah provinsi tentu saja memiliki peran dan tanggung jawab strategis dalam pengendalian dan pengawasan, dan perlu memberikan dukungan bagi kabupaten dan kota demi mengangkat skor ketahanan pangan kabupaten dan kota di wilayahnya. Terutama untuk menghindari terjadinya ketimpangan antar kabupaten dan kota di wilayahnya. Berarti, inisiasi pemerintah provinsi untuk memfasilitasi dan menyupervisi penyusunan neraca pangan perlu segera didorong. Oleh karena pada akhirnya, neraca konsolidasi pangan diperlukan pada tingkat provinsi.

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.