Negara Berkembang Menghadapi Krisis Iklim
Penulis : A. Rizqia
  • Ilustrasi: jurno.id
    Ilustrasi: jurno.id

Bukan hal yang mengagetkan lagi kalau kekuatan frasa ‘krisis iklim’ untuk membuat orang tidak nyaman kian hari kian berkurang. Bagaimana tidak, manusia modern seperti kita saat ini sudah terlalu banyak diberikan kabar buruk, mulai dari genosida hingga dilantiknya penjahat HAM jadi presiden. Rasanya overwhelming sekali, ada terlalu banyak kejadian buruk dalam satu waktu.

Tetapi, lewat tulisan ini saya ingin meminta perhatianmu sebentar untuk kembali merasakan kengerian perubahan iklim serta kaitannya dengan posisi kita sebagai warga negara berkembang. Sebelum membahas lebih dalam, ada baiknya kita kupas sedikit tentang krisis iklim agar kita satu frekuensi. Saya memilih untuk menggunakan kata ‘krisis’ karena kondisi kita saat ini berada dalam keadaan genting, ibarat sedang berdiri di tepi jurang.

Motor dari perubahan iklim adalah kenaikan suhu rata-rata daratan, lautan, dan atmosfer bumi. Penyebabnya adalah efek gas rumah kaca (karbon dioksida, metana, uap air, dan dinitrogen monoksida) menjadi terperangkap di dalam atmosfer bumi. Dalang kenaikan gas rumah kaca? Ya tentu saja aktivitas manusia!

Pembahasan soal pemanasan global bukan hal yang baru. Pengaruh pembakaran batubara terhadap kenaikan karbon dioksida dan pemanasan bumi sudah dicetuskan oleh kimiawan Swedia, Svante Arrhenius, sejak tahun 1896. Empat dekade kemudian, George Callendar menghitung kenaikan jumlah karbon dioksida selama 100 tahun terakhir dan menemukan bahwa pemanasan global berjalan lurus dengan karbon dioksida. Temuannya menunjukkan suhu bumi naik 0.3°C selama 50 tahun terakhir dan akan terus naik. Namun alih-alih mendengarkan, komunitas saintifik malah menganggap Callendar mengada-ngada.

Callendar terus mempertahankan posisinya sampai kematiannya di tahun 1964. Namun isu ini baru dianggap serius dua dekade selanjutnya. Pelopornya adalah konferensi Villach pada tahun 1985 yang memaksa berbagai negara untuk mengakui eksistensi pemanasan global. Tiga tahun setelahnya, ilmuwan NASA James E. Hansen, bersaksi di depan Kongres AS bahwa kenaikan suhu yang terjadi diakibatkan oleh peningkatan karbon dioksida.

Ilmuwan-ilmuwan dari berbagai penjuru dunia sudah mewanti-wanti kita tentang anomali tersebut. Topik pemanasan global mulai ramai dibicarakan di tahun 1900-an, bahkan mulai menjadi isu yang politis di tahun 1980-an. Berbagai negara mulai memfokuskan perhatian mereka kepada perubahan iklim, dibuktikan dengan diadakannya Earth Summit, atau Rio de Janeiro Conference, pada tahun 1992 yang meletakkan permasalahan lingkungan sebagai agenda global. Setelah Earth Summit, terbit Kyoto Protocol, sebuah perjanjian internasional yang mengikat negara-negara yang menandatanganinya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Tidak sampai di Kyoto Protocol saja, pada tahun 2015, 195 negara berkomitmen untuk memukul mundur krisis iklim lewat Paris Agreement dengan cara membuat kontribusi nasional (Nationally Determined Contribution/ NDC). Memang terdengar sangat indah dan ideal bahwa banyak negara berkomitmen untuk menekan derasnya laju perubahan iklim. Namun ada satu hal yang kerap luput dari perhatian, yaitu adanya beban yang berbeda yang harus diemban oleh negara berkembang dalam menghadapi permasalahan krisis iklim. Mari kita bahas lebih dalam!

 

Beban Negara Berkembang

Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), terdapat lima komponen utama dalam kegiatan adaptasi perubahan iklim, yakni atribusi komponen perubahan iklim terhadap kegiatan sosial ekonomi dan biosfer, kajian studi dan dampak, kerentanan terhadap perubahan iklim, kapasitas adaptasi dan kajian ketahanan terhadap perubahan iklim, dan risiko iklim. Saya akan meng-highlight dua poin, kerentanan dan kapasitas adaptasi.

Negara berkembang adalah negara paling rentan terhadap dampak perubahan iklim karena negara berkembang memiliki lebih sedikit sumber daya untuk beradaptasi secara sosial, teknologi, dan finansial. Namun, hal yang perlu digarisbawahi adalah negara-negara berkembang tidak bisa dianggap sebagai kelompok yang monolitik. Sebagai contoh, negara berkembang kepulauan kecil (small island developing states/SDIS) memiliki beban berbeda dengan negara berkembang lainnya. Ini menunjukkan tiap negara berkembang memiliki kepentingan (dan beban) yang berbeda dan saling tumpang tindih.

Di Nigeria, problem utama dari masalah krisis iklim ada pada kerentanan iklim (climate vulnerability), indikator pembangunan manusia yang rendah, sulitnya akses terhadap energi, dan tingginya biaya sistem energi saat ini. Perubahan iklim akan berpengaruh besar pada ketahanan pangan dan air bersih hingga penurunan GDP. Selain itu, masyarakat miskin di Nigeria sangat bergantung kepada industri pertanian dan peternakan yang sangat sensitif dengan perubahan iklim. Jika tidak ada perlindungan sosial yang kuat, perubahan iklim akan semakin memperburuk angka kemiskinan di Nigeria (saat ini, 40% masyarakat Nigeria hidup di bawah garis kemiskinan).

Di Mesir, dampak yang paling mengerikan dari krisis iklim adalah pola cuaca ekstrem yang tidak dapat diprediksi. Terlebih lagi faktor geografisnya, sungai Nil di Mesir sangat rentan terhadap gelombang panas dan kenaikan muka air laut, sehingga 100 juta penduduk sangatlah rentan terhadap dampak perubahan iklim. Produktivitas pekerja di Mesir juga terancam menurun karena gelombang panas dan perburukan kualitas udara. Tidak hanya itu, perubahan iklim di Mesir juga berdampak buruk terhadap nutrisi dan perkembangan anak-anak.

Sementara itu, di Indonesia, dampak perubahan iklim menjadi lebih kompleks. Bayangkan kita tidak hanya berbicara tentang masyarakat yang hidup di area tengah (tanpa pantai), tetapi juga kita harus berbicara tentang masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Semua lini pekerjaan terdampak, mulai dari petani di daratan tinggi, nelayan di pesisir, hingga karyawan kantoran di area urban.

Di bidang pertanian, perubahan iklim menimbulkan peningkatan periode kekeringan, fluktuasi curah hujan, dan perubahan ketersediaan air. Petani sangat bergantung kepada kondisi alam untuk hasil panennya, perubahan iklim membuat petani terancam keamanan pekerjaannya. Sama halnya yang terjadi di area pesisir, perubahan iklim membuat intensitas El-nino dan La-nina meningkat yang menyebabkan banjir rob sering terjadi.

Tidak hanya itu, perubahan iklim juga menaikkan tinggi muka air laut dan suhu permukaan laut, menjadikan ekosistem pesisir seperti mangrove, lamun, dan terumbu karang terancam stabilitasnya. Padahal masyarakat pesisir sangat menggantungkan hidupnya kepada ekosistem tersebut, terlebih lagi nelayan (baik itu nelayan tangkap atau nelayan tambak). Kita harus hati-hati dengan fakta tersebut karena nelayan itu hidup di ambang batas garis kemiskinan, loh.

Perubahan iklim dapat mengancam kelangsungan mata pencaharian nelayan. Selain itu, pulau-pulau kecil di Indonesia pun terancam tenggelam.

Singkatnya, bagi negara berkembang untuk “memelihara kehidupan” saja sudah sulit sekali, belum lagi ditambah dengan cita-cita atau komitmen global untuk mengurangi emisi karbon. Ibaratnya kita lagi gontok-gontokan, nih, banyak banget masalah yang harus diselesaikan tapi sedikit sekali anggaran yang tersedia. Lagipula, rasanya tidak adil bagi negara berkembang untuk menanggung seluruh biaya mitigasi perubahan iklim. Dana mereka terbatas, belum lagi modal yang dikeluarkan jauh lebih besar dibandingkan negara maju.

Ada pisau bedah bernama Third World Approach on International Law (sebuah gerakan politis para cendekiawan untuk memahami isu dari Dunia bagian Selatan dalam konsepsi yang lebih luas) yang dapat membantu kita menguliti fenomena krisis iklim dari sudut pandang negara dunia ketiga. Menurut Kishan Khoday dalam jurnalnya yang berjudul Decolonizing the Environment: Third World Approaches to the Planetary Crisis, krisis iklim yang sedang kita alami sekarang sangatlah bertalian dengan ketidaksetaraan, ketidakadilan, serta paradigma warisan zaman kolonial. Paradigma warisan zaman kolonial yang dimaksud adalah subordinasi alam dalam “mencapai” modernitas, pembangunan, dan kemajuan. Kerangka berpikir seperti itu terpatri dalam sendi-sendi masyarakat dengan cara yang sangat subtil.

Maka dari itu, seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, beban negara berkembang dalam menghadapi krisis iklim sangatlah berbeda dengan negara maju. Negara berkembang haruslah selalu dilibatkan dan “dikasih panggung” untuk menyuarakan kesenjangan dan kekurangan kapasitas sistemik dalam upaya memukul mundur krisis iklim di panggung diplomasi internasional. Negara berkembang juga harus berani “menunjuk hidung” negara maju yang terang-terangan sangatlah inkonsisten dalam upaya dekarbonisasi, seperti Amerika Serikat yang terlibat dalam genosida di Palestina (betul, perang juga turut berdampak buruk pada iklim, tidak hanya mencoreng HAM).

Namun, satu hal yang ingin saya tekankan, tulisan ini bukan bermaksud untuk memecah belah antara negara maju dan negara berkembang. Saya ingin mendesak isu akan ketimpangan beban, lalu yang saya harapkan dengan memahami posisionalitas kita sebagai warga negara berkembang kita bisa lebih bijaksana dalam memantau kebijakan. Selain itu saya juga berharap bentuk solidaritas negara berkembang dalam memukul mundur krisis iklim semakin menjamur dan menguat. Jaga sesama, jaga masyarakat adat dan kelompok rentan, mari rawat kehidupan dengan semangat yang penuh dengan inklusifitas dan keberlanjutan.

 

Sumber: Jurno https://jurno.id/negara-berkembang-menghadapi-krisis-iklim 

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.