Opini Prof JC Tukiman Taruna (JCT), Kompas, Senin, 14/02/22, berjudul Universitas Sekolah Dasar dan Kurikulum Merdeka, membangunkan kembali ingatan pada buku karya Alm. Prof A. Mappadjantji Amien (AMA) yang berjudul Belajar Merajut Realitas: Pendidikan dari Perspektif Sains Baru (2005). Dalam pengantarnya AMA antara lain mengungkapkan bahwa perbaikan yang diperlukan pada sistem pendidikan kita adalah memosisikan perubahan dan pembaharuan sebagai substansi elementer dari kurikulum dan proses pendidikan itu sendiri. Untuk menjadikan anak didik mampu berperan sebagai perajut realitas.
Dalam pemikiran JCT, yang mengutip pemikiran John Dewey (1897), diungkapkan bahwa pendidikan itu adalah kehidupan dan bukannya persiapan untuk hidup. Dalam blognya, Gego A.Sallatu (2021) menulis dengan kalimat yang serupa yaitu pendidikan bukan untuk hidup yang lebih baik, tetapi adalah kehidupan itu sendiri. JCT lebih lanjut mengungkapkan tahun 2022 ini, Universitas Katolik Soegijapranata Semarang akan menerapkan joyful learning model (JLM). Konon sesuatu yang telah hilang pada mahasiswa dari pengalaman asyiknya belajar saat mengikuti PAUD.
Relevansi pendidikan
Apakah JLM akan merupakan sebuah loncatan Nampaknya bukan. Nyaris setiap disiplin selalu mengklaim relevansinya dengan dunia nyata disekitarnya. Hanya saja di dunia pendidikan tinggi, sejauh ini belum banyak substansi pembelajaran yang bisa dikaitkan dengan dunia nyata sekitar mahasiswa. Para mahasiswa belum bisa diantarkan untuk melihat potensi dan realitas secara lebih nyata. Bahkan menjadi lebih lucu, oleh karena kepada mahasiswa contoh-contoh nyata yang diberikan diambil dari tempat atau negara lain. Ini berarti pengasuh substansi pembelajaran belum lagi bisa menemukan relevansinya dengan dunia kesekitaran mahasiswa. Lalu apa manfaat dari substansi pembelajaran yang diberikan tersebut?
Dengan demikian, memang kurikulum terutama implementasinya patut disoal, sebelum berpikir melangkah ke JLM. Bila dicermati, pada setiap mata kuliah, mahasiswa diinginkan untuk memahami dan menguasai sejumlah substansi yang sangat besar skalanya. Padahal sepatutnya bisa ditemukan beberapa pokok bahasan saja, yang sedemikian rupa disajikan sehingga mahasiswa bisa tertarik menemukan dan mengolah sendiri pengembangan materinya. Membuat mahasiswa jadi tertarik ataupun terdorong menemukan materi pembelajaran lebih lanjutnya, itulah peran mendasar setiap pengasuh mata kuliah.
Di zaman dulu, bila semua materi pembelajaran harus datang dari pengasuh mata kuliah, itu bisa dipahami, karena terbatasnya sumber bacaan dan masih sulitnya mengakses materi. Saat ini, hampir tidak ada pertanyaan mahasiswa yang tidak bisa dijawab oleh Prof Google. Oleh karena itu, sejatinya sudah bisa kembali pada batasan awal, apa itu kuliah sebenarnya ? Yang sejak zaman dulu dikenal sebagai pengantar membaca literatur. Tugas pokok pengasuh mata kuliah, setelah memberi pengantar materi pokok adalah apa yang perlu ditemukan dan diolah lebih lanjut oleh para mahasiswa sendiri, bahkan termasuk realitas kaitan dunia nyata disekitarnya. Bila implementasi kurikulum seperti ini, maka materi pembelajaran menjadi akan semakin diperkaya oleh mahasiswa sendiri.
Pada intinya, setiap mata kuliah seyogyanya tidak lagi harus memuat struktur dan skema substansi yang harus dicerna oleh setiap mahasiswa yang mengikutinya. Apalagi kalau hanya merupakan kumpulan judul-judul bab dari buku referensi terkait. Melainkan sejumlah pokok-pokok materi yang akan dikembangkan sendiri oleh para mahasiswa, menyangkut judul mata kuliah tersebut. Alangkah naifnya pembelajaran bila hanya memindahkan isi buku referensi ke kepala mahasiswa. Atau akan menjadi lebih ideal lagi bila antaran bahasan pengasuh mata kuliah adalah hasil olah pikirnya sendiri, berbasis pada data dan informasi kesekitaran dan dibahas oleh mahasiswa.
Dengan demikian waktu tatap muka lebih banyak diskusi, tukar menukar temuan dan olahan materi oleh mahasiswa peserta, yang mungkin bagi pengasuh mata kuliah pun menjadi informasi tambahan. Pokok bahasan mungkin tidak banyak, karena pada dasarnya lebih ingin ditujukan pada potensi dan realitas dunia nyata. Terlalu banyak materi pembelajaran, yang kemudian terakumulasi dalam ratusan satuan kredit yang harus dicapai mahasiswa hanya menciptakan crowding-out di kepala seorang sarjana. Menjadikan rajutan realitas yang bisa dicapai, sebagaimana banyak diakui, adalah melalui kegiatan ekstra-kurikuler dan hanya sedikit dari disiplin ilmu yang dipelajari.
Eagle Eyes
Student center learning yang sudah dikembangkan beberapa tahun silam, sebagai implikasi kehadiran perspektif sains baru, bila mampu diaplikasikan secara efektif akan lebih optimal melalui JLM dan menjadi jembatan terwujudnya realitas merdeka belajar. Pengasuh mata kuliah sejatinya hanya menjadi fasilitator pembelajaran, bukan mendiktekan apa-apa yang harus dipahami dan dikuasai oleh mahasiswa. Mahasiswa sepatutnya menemukan sendiri pemahaman dan penguasaannya, meskipun tentu tetap memerlukan tempat mengkonfirmasi hasil temuan dan olahan bacaannya.
Karena itu, tantangannya terletak pada pengasuh setiap mata kuliah, yaitu bagaimana mengkonstruksikan materi pembelajaran dalam kerangka semacam eagle eyes. Berawal dari satu pokok bahasan tertentu, yang secara sangat mendasar patut dipahami dan dikuasai oleh setiap mahasiswa, kemudian menggambarkan alur dan rangkaian materi pengembangannya sampai akhirnya memperlihatkan potensi dan realitas dunia nyata pokok bahasan tersebut.
Di bidang ilmu ekonomi makro misalnya, hal-hal pokoknya bahkan bisa disimbolkan masing-masing dengan satu huruf. Y untuk pendapatan, N kesempatan kerja, I untuk Investasi, yang masing-masing bisa menjadi eagle eyes. Menggambarkan alur serta rangkaian materi mulai dari batasan pendapatan (Y) hingga pentingnya bagi suatu negara diawal pembelajaran, melalui eagle eyes, akan memungkinkan mahasiswa memahaminya secara lebih terstruktur dan untuk menemukan dan mengolah sendiri materi pembelajarannya. Di dunia empirik, masih sering ditemukan sarjana ekonomi, bicara pendapatan masyarakat, tapi masih kurang memahami bagaimana proses dan sumber-sumber pembentuknya, namun sudah fasih berbicara pertumbuhan ekonomi. Ini hanya sebagai contoh, dan setiap disiplin ilmu memiliki sejumlah bahasan pokok ataupun kata kunci yang patut dipahami dan dikuasai bagi yang mempelajarinya.
Dua tahun pandemi COVID-19, belum banyak perubahan dan pembaharuan dalam proses pembelajaran, kecuali bergeser dan dilaksanakan secara daring. Lucunya, kehadiran mahasiswa masih disoal, padahal yang sepatutnya disoal adalah materi pembelajaran apa yang mereka telah temukan sendiri. Itu berarti masih jauh dari tatanan joyful yang mampu diciptakan melalui daring. Melalui daring sepatutnya para pengasuh mata kuliah kelimpungan mengelola pikiran yang dihasilkan mahasiswanya. Kiranya begitulah hasil merdeka belajar. Merdeka merajut realitas keilmuan.