Menuliskan Pengetahuan Pangan Lokal: Upaya Melestarikan Kearifan Nusantara
Penulis : Sumarni Arianto
  • Proses membuat tepung sagu dengan cara tradisional. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia
    Proses membuat tepung sagu dengan cara tradisional. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

“Pangan lokal adalah pangan yang tersedia di sekitar kita yang rantai distribusinya paling pendek untuk sampai di piring kita” Wilda Yanti Salam

Di tengah arus globalisasi dan modernisasi, pangan lokal sering kali terpinggirkan oleh produk-produk industri yang lebih praktis dan mudah diakses. Namun, ada banyak alasan mengapa pangan lokal perlu mendapatkan perhatian lebih, tidak hanya dari segi budaya tetapi juga dari aspek ketahanan pangan dan keberlanjutan lingkungan. Buku Kisah Kasih dari Dapur yang ditulis Wilda Yanti Salam pada tahun 2024 menjadi salah satu bentuk dokumentasi dan refleksi atas pentingnya pangan lokal.

 

Mengapa Pangan Lokal Perlu Ditulis dan Didokumentasikan?

Selama bertahun-tahun, berbagai buku yang membahas budaya, sejarah, dan antropologi Sulawesi Selatan telah banyak diterbitkan. Namun, yang masih kurang adalah dokumentasi mengenai pangan lokal dan bagaimana praktik keseharian di dapur berkaitan erat dengan identitas sosial masyarakat. Padahal, pangan lokal adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Banyak tradisi kuliner seperti kenduri dan pesta makan kapurung (makanan khas Luwu berbahan dasar sagu) yang berlangsung secara turun-temurun, tetapi jarang sekali ada yang mengarsipkan dan menuliskannya secara akademis maupun populer.

Menulis tentang pangan tidak sekadar membahas resep atau rasa makanan. Lebih jauh dari itu, makanan berkaitan erat dengan sistem sosial, ekonomi, dan politik yang bekerja dalam masyarakat. “Saya menyenangi makan-makan, saya suka masak-masak, dan akhirnya saya mencoba menulis esai-esai tentang makanan dari dapur,” ujar Wilda. Dalam proses penulisan, ia tidak hanya membahas makanan sebagai bahan konsumsi, tetapi juga mengaitkannya dengan situasi sosial-politik yang melatarbelakanginya. Misalnya, mengapa kue-kue di Sulawesi Selatan mayoritas menggunakan tepung beras, gula merah, dan kelapa? Menurutnya, ada sistem dan struktur sosial yang bekerja di balik kebiasaan tersebut.

Dalam proses menulis buku ini, tantangan terbesar adalah minimnya arsip yang membahas keterkaitan pangan dengan identitas sosial dan politik. Sebagian besar literatur yang tersedia hanya berfokus pada resep dan deskripsi cita rasa tanpa menelusuri lebih dalam mengenai sejarah dan faktor sosial yang membentuknya. 

“Orang-orang sering menganggap bahwa pengetahuan itu harus megah, seperti sejarah peperangan. Padahal, sesuatu yang ada di keseharian kita, seperti apa yang kita makan, justru menarik untuk dieksplore,” ungkap penulis. Ia mencontohkan, mengapa masyarakat di Luwu makan sagu, sementara di wilayah lain makan beras. Keragaman seperti ini yang menurutnya menarik untuk diteliti dan ditulis.

Pangan Lokal dan Tantangan Ketahanan Gizi

Di berbagai daerah di Indonesia Timur, seperti Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Papua, isu stunting dan gizi buruk masih menjadi tantangan besar. Ironisnya, banyak masyarakat di wilayah tersebut memiliki akses terhadap pangan lokal yang kaya nutrisi, tetapi justru beralih ke produk-produk instan yang kurang sehat. Misalnya, anak-anak di pedalaman Papua yang lebih memilih menukar hasil kebun mereka dengan mie instan dan gula di warung.

“Padahal, pangan lokal seperti sayuran yang tumbuh di sekitar rumah kita justru lebih sehat dan kaya nutrisi,” ujar Wilda. Ia mencontohkan daun pepaya, kangkung, dan jantung pisang yang bisa diolah menjadi makanan bergizi tinggi. Sayangnya, kesadaran masyarakat tentang pangan lokal masih rendah, terutama karena pengaruh media yang mempromosikan makanan impor sebagai standar “makanan sehat”.

Pentingnya pangan lokal dalam pemenuhan gizi bukan hanya soal nilai nutrisinya, tetapi juga karena rantai distribusinya yang lebih pendek dan tidak memerlukan proses panjang untuk sampai ke meja makan. Sayangnya, persepsi masyarakat tentang pangan sehat seringkali dipengaruhi oleh media sosial dan televisi yang membingkai bahwa makanan sehat adalah sayuran dan buah impor, bukan yang tumbuh di pekarangan sendiri. Padahal, makanan tradisional seperti gado-gado, lawa (salad khas Luwu), dan berbagai olahan daun pepaya merupakan contoh nyata dari konsep clean food yang telah ada jauh sebelum tren makanan sehat modern berkembang.

Ketahanan Pangan dan Perubahan Iklim

Salah satu tantangan utama dalam mempertahankan pangan lokal adalah dampak perubahan iklim yang mempengaruhi ketersediaan bahan pangan. Misalnya, di komunitas adat Kaluppini di kaki Gunung Latimojong, Enrekang, ditemukan tanaman seperti daun burasse yang tahan terhadap berbagai musim. Meskipun beracun jika tidak diolah dengan benar, masyarakat setempat memiliki kearifan tersendiri dalam memprosesnya menjadi makanan yang aman dikonsumsi. Ini menunjukkan bahwa kearifan lokal dalam mengolah pangan merupakan strategi adaptasi yang penting dalam menghadapi perubahan iklim.

Namun, jika pengetahuan semacam ini tidak didokumentasikan, ada kemungkinan besar bahwa suatu saat nanti akan hilang. Oleh karena itu, pengarsipan dan penelitian mengenai pangan lokal menjadi sangat penting agar generasi mendatang tetap memiliki akses terhadap kekayaan kuliner dan gizi yang telah diwariskan selama berabad-abad.

Pangan Lokal sebagai Identitas dan Tindakan Politis

“Makan pangan lokal adalah upaya untuk mendukung ekonomi dan sosial masyarakat sekitar,” tegas penulis. Pangan lokal bukan sekadar persoalan konsumsi, tetapi juga memiliki dimensi ekonomi dan politik. Salah satu contoh nyata adalah bagaimana kampanye di era Orde Baru mendorong masyarakat untuk mengonsumsi beras sebagai standar makanan utama, mengabaikan sumber karbohidrat lain seperti sagu yang telah lama menjadi bagian dari budaya makan di Sulawesi dan Indonesia Timur.

Dalam budaya masyarakat Luwu, misalnya, sagu bukan hanya makanan pokok, tetapi juga memiliki aspek sosial yang kuat. Tradisi makan kapurung tidak hanya tentang mengonsumsi sagu, tetapi juga mencerminkan kebersamaan dan gotong royong dalam masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa makanan bukan hanya soal kebutuhan fisiologis, tetapi juga membentuk relasi sosial yang erat.

Di sisi lain, tekanan dari industri besar juga menjadi ancaman bagi keberlangsungan pangan lokal. Banyak lahan sagu yang beralih fungsi menjadi perkebunan sawit, yang tidak hanya merusak lingkungan tetapi juga menghilangkan sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Mengonsumsi pangan lokal dapat menjadi bentuk perlawanan terhadap monopoli industri pangan besar yang sering kali lebih mengutamakan keuntungan dibandingkan kesejahteraan masyarakat.

Mendorong Kesadaran dan Kampanye Pangan Lokal

Agar pangan lokal tetap lestari, diperlukan upaya kolektif dari berbagai pihak. Pemerintah, akademisi, komunitas, hingga konten kreator memiliki peran penting dalam mengedukasi masyarakat tentang manfaat dan pentingnya pangan lokal. “Pangan lokal harus dikerjakan secara keroyokan. Banyak pihak, terutama pemerintah, perlu terlibat dalam upaya ini,” tegas penulis. Ia juga menekankan pentingnya dokumentasi dan pengarsipan pengetahuan lokal tentang pangan. Jika tidak didokumentasikan, pengetahuan ini bisa hilang seiring berjalannya waktu. 

Beberapa langkah konkret yang bisa dilakukan sebagai upaya mempromosikan pangan lokal adalah penyuluhan dan penggunaan pangan lokal di posyandu dan sekolah, mendukung petani lokal dengan memperpendek rantai distribusi hasil panen mereka, penggunaan media sosial untuk mempromosikan pangan lokal dengan cara yang menarik bagi generasi muda dan yang tak kalah pentingnya adalah mengembangkan penelitian dan dokumentasi mengenai pangan lokal agar tidak hilang ditelan zaman. Yang paling mudah adalah dengan mengonsumsi tanaman yang tumbuh di sekitar kita karena rantai distribusinya singkat dan tidak menghasilkan emisi karbon yang besar.

“Mengajak orang makan pangan lokal bukan sekadar meromantisasi makanan tradisional, tetapi juga sebagai upaya untuk mendukung ekonomi dan sosial masyarakat sekitar,” pungkas penulis.

Pada akhirnya, mengonsumsi pangan lokal bukan hanya soal kesehatan tubuh tetapi juga menjadi bagian dari pelestarian budaya serta upaya menjaga kemandirian dan keberlanjutan lingkungan. Setiap pilihan makanan yang kita buat memiliki dampak yang lebih luas dari sekadar apa yang kita konsumsi di piring kita. Dengan menjaga, merayakan, dan terus menuliskan kisah pangan lokal, kita tidak hanya memastikan keberagaman budaya berlangsung, tetapi juga memperkuat ketahanan pangan dan ekonomi lokal.

 

 

Info Lebih Lanjut:

Penulis Buku Kisah Kasih dari Dapur dapat dihubungi melalui Email: wildaworks@gmail.com

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.