Usianya masih terbilang muda, 28 tahun namun pengalamannya dalam industri pengolahan daun kelor patut diperhitungkan. Meybi Agnesya Lomanledo, CEO dan Founder Timor Moringa, sebuah kewirausahaan sosial berbasis industri pengolahan pangan lokal yaitu daun kelor organik dari NTT dengan memberdayakan hampir 100% petani kelor lokal.
Sesuai dengan namanya Timor Moringa, Timor karena usaha ini memberdayakan petani kelor lokal di 3 kabupaten di Pulau Timor NTT dan Moringa Oleifera sendiri adalah nama latin dari kelor.
Berawal dari kebiasaan keluarga mengkonsumsi sayur daun kelor, bahkan menu ini hampir tak pernah absen dari meja makan. Hingga suatu hari Maybe yang akrab disapa Mey ini jengkel “Memang kita sudah tidak punya duit yah sampai harus makan Marungga tiap hari?” orang Kupang menyebut kelor dengan Marungga.
Walau sempat bekerja beberapa tahun di Bali dan memilih pulang kampung tapi kebiasaan ini masih terus terjaga. Kekesalannya kemudian berubah jadi penasaran mengapa kelor menjadi sayur primadona keluarga, sayur yang tumbuh subur dan liar, bisa ditemui di sepanjang daratan Pulau Timor. Mey akhirnya mencari tahu segala sesuatu tentang kelor dengan membaca berbagai artikel dan referensi dari internet. Mey begitu takjub sekaligus
Singkat cerita ternyata, Mey menemukan sejumlah fakta, data dan hasil penelitian yang menyebutkan daun kelor mengandung vitamin A, C, B, kalsium, kalium, besi, dan protein dalam jumlah yang sangat tinggi yang mudah dicerna dan diasimilasi oleh tubuh manusia. Bahkan jumlahnya berlipat-lipat dari sumber makanan yang selama ini digunakan sebagai sumber nutrisi untuk perbaikan gizi di sejumlah negara. Oleh WHO menyebut tanaman ini sebagai Miracle Tree (Pohon Ajaib) dan superfood karena kandungan gizi yang tinggi. Bahkan, kelor juga mengandung 40 antioksidan dan 90 jenis nutrisi berupa vitamin esensial, mineral, asam amino, anti penuaan, dan anti inflamasi. Kelor juga mengandung 539 senyawa yang dikenal dalam pengobatan tradisional Afrika serta telah digunakan dalam pengobatan tradisional untuk mencegah dan mengatasi mengatasi kelaparan.
Dengan kandungan nutrisi yang demikian lengkap, kelor dapat menjadi salah satu solusi mengatasi masalah kekurangan gizi pada balita, ibu hamil, dan menyusui sehingga cocok untuk daerah NTT dengan tingkat stunting dan gizi buruk yang masih tergolong tinggi.
Sejumlah fakta ini, mendorong Mey untuk bercita-cita menjadikan kelor sebagai komoditas unggulan NTT selain karena jumlahnya melimpah, namun belum cukup menyejahterakan petani kelor local, bahkan ada stigma bahwa kelor adalah sayuran khas yang dikonsumsi oleh orang miskin. Padahal permintaan pasar untuk kelor, sangat besar karena kelor termasuk dalam herbal dan rempah-rempah, di seluruh dunia baru terserap sekitar 50% – 60%, masih ada 30% peluang mengisi permintaan tersebut, apa lagi saat pandemi saat ini permintaan makin meningkat.
Mey akhirnya menemukan informasi tentang Kampung Konservasi Kelor di Desa Ngawenombo, Kabupaten Blora, di Jawa Tengah yang didirikan oleh Moringa Organik Indonesia (MOI). Mey Memutuskan untuk belajar, praktik dan studi banding dan menimba ilmu dari pemilik MOI. Awalnya sama sekali tak kepikiran untuk melihat ini sebagai peluang bisnis. Niatnya murni untuk memotivasi, menyadarkan masyarakat dan petani di kampungnya untuk membuka mata, melihat potensi dan peluang bisnis dari kelor. Namun, niat baik ini tak cukup mendapat respons dari masyarakat dan petani yang didominasi oleh orang tua, baru percaya ketika melihat bukti.
Hingga di tahun 2018 Mey iseng membuat coklat kelor, dan dijual terbatas untuk keluarga dan teman-teman, tak disangka rasanya yang khas dan menyerupai matcha diminati dan permintaan terus berdatangan. Sembari melakukan riset pasar, akhirnya Mey memutuskan untuk fokus membuat usaha olahan kelor dengan merek Timor Moringa. Tantangan kemudian hadir, karena tak cukup punya modal yang besar dan khawatir jika harus meminjam uang dari bank, di sisi lain usahanya semakin berkembang, akhirnya Mey mengikuti beberapa kompetisi dan berhasil memenangkan dana hibah sebesar 45 juta rupiah dari Diplomat Success Challenge (DSC) Wismilak Foundation dana hibah 45 juta rupiah dan pada tahun 2019 berhasil menjuarai Socialpreneur dari Kapal Api yang hingga kini digunakan untuk pengembangan usaha kelor.
Timor Moringa Setara dengan Petani Lokal
Timor Moringa merupakan salah satu kewirausahaan sosial, dengan fokus utama memberi dampak kepada lingkungan dan masyarakat sekitar serta berkelanjutan melalui usaha yang dijalankan. Semakin melebarkan sayap usaha semakin berkontribusi menciptakan dampak. Dengan memegang teguh prinsip Timor Moringa senantiasa seiring sejalan dengan pemberdayaan dampak kepada lingkungan, kepada masyarakat, komunitas khususnya para petani kelor lokal.
Riset sederhana yang dilakukan oleh Timor Moringa menemukan fakta bahwa masalah utama petani adalah ‘market’. Mereka harus menemukan pasar untuk menjual komoditasnya dan saat terkendala, akhirnya mereka berakhir di pengepul yang membeli komoditas mereka jauh di bawah harga pasar. Hal ini terus terjadi dan berimbas pada perekonomian keluarga termasuk di dalamnya upaya pemenuhan gizi keluarga. Nah di sinilah Timor Moringa hadir mengintervensi membeli dengan harga wajar hasil panen kelor petani local. Jika sebelumnya tiga ikat kelor dihargai pengepul 5 ribu rupiah maka Timor Moringa menawarkan skema saat petani panen, mereka memisahkan batang dan daun kemudian ditimbang per kilogram dibeli seharga 10 ribu hingga 12 ribu rupiah. Dalam sebulan, petani kelor panen sebanyak 11-15 kali dengan rata-rata menghasilkan 7-10 kilogram sekali panen, jadi mereka memperoleh 50 ribu hingga 70 ribu rupiah dari hasil penjualan kelor.
Selain itu, Timor Moringa memberikan nilai tambah, selain diolah menjadi coklat kelor, kelor juga diolah menjadi serbuk, kapsul kelor, teh kelor. Prinsip saling menguntungkan menjadi prioritas utama Timor Moringa. Petani membutuhkan Timor Moringa membeli kelor mereka dan begitupun sebaliknya Timor Moringa membutuhkan petani untuk memastikan supply bahan baku kelor tetap tersedia. Kini berbagai olahan kelor tersedia di marketplace Tokopedia, Shopee, Blibli, Bhinneka dan di situs web www.timormoringa.com melayani pemesanan dalam dan luar negeri.
Menariknya, Timor Moringa memberikan penguatan kapasitas kepada para petani local dengan memberikan edukasi dan literasi keuangan sehingga mereka mampu mengelola keuangan dengan menyisihkan pendapatan, 30% untuk kas pribadi, sisanya 70% untuk operasional pekerjaan.
Memasuki tahun ketiga, tantangan yang dihadapi masih sama. Kelor masih asing di negeri sendiri, stigma kelor hanya dikonsumsi oleh masyarakat menengah ke bawah masih terus terjadi--sehingga masih kalah bersaing dengan produk nasional yang harganya di bawah dan tentunya telah hadir jauh sebelum produk ini diperkenalkan. Sejumlah upaya bersama masih terus dilakukan Mey Bersama Timor Moringa salah satunya sementara dalam proses pembangunan sekolah lapang kelor, tujuannya agar lebih banyak lagi masyarakat NTT yang teredukasi tentang manfaat, potensi dan peluang bisnis kelor. Termasuk budidaya daun kelor yang potensial untuk menjadi bahan edukasi, agrowisata, dilengkapi fasilitas outbond sehingga secara langsung dapat berdampak nyata bagi kesejahteraan petani local kelor.
Untuk meraih mimpinya, Mey punya mantra khusus yang terus digaungkan “Mari terus berusaha, terus berkarya, terus menginspirasi menjadi tuan di tanah sendiri Tuhan memberkati”. Mey percaya, selalu ada peluang tercipta di balik setiap permasalahan. Jika kita mampu memanfaatkannya dengan berbuat kebaikan maka berkat Tuhan akan menyertai senantiasa. Semoga menginspirasi.