Krisis iklim dan lingkungan hidup (ILH) akan memengaruhi kehidupan generasi muda di masa datang. Meski demikian, keputusan seputar pencegahan dan penanganannya masih dibuat oleh mayoritas orang dewasa yang kecil kemungkinan akan menanggung akibatnya. Belakangan, kaum muda di dunia terlihat lebih aktif berpartisipasi dalam aksi-aksi mengatasi krisis ILH. Bagaimana dengan kaum muda di Indonesia?
Secara umum, meski partisipasi kaum muda banyak digaungkan sebagai unsur penting dalam mengatasi masalah ILH, hingga saat ini praktiknya masih menghadapi tantangan tokenisme dan penyisihan. Sejumlah literatur tentang isu ILH telah menyoroti keterlibatan kaum muda Indonesia dalam aktivisme lingkungan hidup, termasuk gaya hidup ramah lingkungan. Namun, peran mereka dalam perubahan kebijakan, tata kelola, atau praktik di tingkat komunitas masih belum disoroti.
PUSKAPA UI melakukan studi Mengenal Keterlibatan Kaum Muda dalam Isu Iklim dan Lingkungan Hidup di Indonesia. Para peneliti yang terlibat dalam studi ini percaya bahwa keterlibatan kaum muda diperlukan agar respons dan mitigasi terhadap dampak krisis ILH lebih efektif.
Studi ini berhasil memetakan lanskap keterlibatan kaum muda Indonesia dalam isu ILH berdasarkan karakteristik kaum muda yang terlibat, topik ILH yang dianggap penting oleh kaum muda, dan bentuk keterlibatan mereka. Dari pemetaan ini, teridentifikasi sejumlah kekuatan serta kesenjangan yang masih perlu diisi dalam kaitannya dengan akses keterlibatan. Dari segi karakteristik kaum muda, studi ini mendapat gambaran bahwa pelibatan masih perlu diperluas ke kaum muda dari kelompok usia yang lebih muda, di wilayah nonurban, dari kelompok sosial ekonomi yang lebih beragam, dan dengan abilitas berbeda. Pelibatan juga harus merangkul pemimpin-pemimpin kaum muda perempuan, kaum muda marjinal, dan kaum muda dari komunitas yang selama ini terdampak krisis ILH secara langsung.
Studi ini menemukan bahwa keterlibatan kaum muda dalam aktivisme isu ILH berkaitan dengan kesadaran mereka terhadap pentingnya posisi sebagai pemeran aktif di gerakan ILH. Komitmen kaum muda untuk melakukan aksi sipil cenderung dominan pada topik-topik yang dekat dengan keseharian mereka, seperti penyebab gejala ILH serta dampak krisis ILH pada lingkungan hidup (LH) dan masyarakat beserta mitigasinya.
Lebih lanjut, peningkatan kapasitas dan kampanye serta aksi protes merupakan bentuk keterlibatan sipil kaum muda yang dominan muncul di semua kategori topik ILH. Meski sudah ada, kegiatan riset dan advokasi kebijakan cenderung lebih sedikit disebutkan. Ke depannya, dukungan dan fasilitasi oleh pemangku kepentingan (pemerintah dan non-pemerintah) dapat lebih difokuskan pada perluasan ragam kegiatan kaum muda dalam isu ILH, yang mampu mempertemukan kaum muda yang telah berpengalaman dalam pendampingan dan kampanye, misalnya, dengan mereka yang kuat terlibat dalam riset dan advokasi kebijakan. Studi ini menyadari bahwa bentuk keterlibatan bisa jadi berkaitan dengan minat dan kapasitas. Oleh karenanya, memfasilitasi lebih banyak kerja kolaboratif menjadi langkah strategis ke depan.
Selain memetakan lanskap, studi ini juga mengeksplorasi faktor-faktor pendukung dan penghambat keterlibatan sipil kaum muda di segala dimensi, baik komitmen, keterampilan, aksi, maupun kohesi sosial. Masing-masing faktor tersebut berkaitan dan dipengaruhi oleh jalan keterlibatan mereka. Faktor individu dominan muncul sebagai pendorong komitmen sipil kaum muda, terutama di jalan keterlibatan melalui komunitas yang diinisiasi kaum muda.
Dalam melakukan aksi sipil, kaum muda cenderung bergerak sesuai kemampuan masing-masing, dan di ruang partisipasi yang menurut mereka lebih bebas dan aman. Jalan keterlibatan ini juga banyak didorong oleh kohesi sosial yang terbangun melalui interaksi sosial dengan sesama kaum muda dan tersedianya wadah informasi dan komunikasi digital yang mendukung berbagai dimensi keterlibatan sipil. Di saat yang bersamaan, motivasi dan etos kerja yang dimiliki kaum muda belum bisa sepenuhnya mendorong mereka untuk mengembangkan keterampilan dan mencari akses agar dapat bersaing dengan organisasi yang lebih mapan atau aktivis senior dalam hal pendanaan dan pengaruh.
Meski jalan keterlibatan komunitas kaum muda lebih terbuka, peran environmental non governmental organization (ENGO) atau lembaga non pemerintah internasional untuk ILH dan organisasi masyarakat sipil lokal (OMS) ILH masih dominan sebagai inisiator dan fasilitator gerakan sipil kaum muda. Jalan keterlibatan melalui ENGO dan OMS cenderung terkait dengan titik masuk interaksi kaum muda dengan beragam pemangku kepentingan ILH termasuk pembuat kebijakan.
Selebihnya, ENGO dan OMS mampu menyediakan lebih banyak infrastruktur yang mendukung peningkatan keterampilan dan aksi sipil berkat pengalaman, bentuk dan tata kelola organisasi, serta akses sumber daya mereka yang lebih mapan. Namun, infrastruktur tersebut belum mendukung konsistensi kerja-kerja kaum muda dalam isu ILH dan belum dirancang secara strategis untuk mendukung keberlanjutan ENGO dan OMS.
Terakhir, faktor eksternal, seperti kebijakan yang tidak mendukung, risiko keamanan, dan kecenderungan tokenisme serta penyisihan muncul sebagai faktor penghambat jalan keterlibatan kaum muda melalui lembaga pemerintah. Oleh karena itu, jalan keterlibatan melalui lembaga pemerintah tidak seefektif dua jalan keterlibatan lainnya dalam memfasilitasi keterlibatan kaum muda.
Studi kasus menunjukkan bahwa interaksi sosial yang positif dan kegiatan berjejaring dengan sesama kaum muda, OMS, pemerintah, donor, dan pemangku kepentingan lain turut mendukung gerakan kaum muda dalam mencapai agenda perubahannya. Di samping itu, dukungan peningkatan kapasitas untuk memperkuat aksi sipil dan strategi manajemen organisasi secara positif memfasilitasi inisiatif kaum muda.
Secara internal, gerakan-gerakan dalam studi kasus selalu berupaya membangun keterlibatan yang bermakna dan inklusif, meski sejumlah kegiatan yang melibatkan mereka masih mengandung tokenisme. Studi kasus mencatat bahwa gerakan-gerakan yang diamati kali ini menganggap pandemi Covid-19, penatakelolaan dan sumber daya gerakan yang terbatas, dan pemahaman masyarakat dan kaum muda lain tentang isu ILH yang masih rendah sebagai faktor penghambat.
Terakhir, studi kasus mencatat beberapa capaian yang dihasilkan dari empat gerakan yang diamati, antara lain penerbitan peraturan pembatasan plastik di berbagai daerah, semakin banyaknya pembahasan mengenai isu masyarakat adat di media sosial, banyaknya inisiatif kampanye ILH yang dikelola kaum muda, serta dihasilkannya beragam dokumen panduan dan kebijakan.