Ableisme (ableism) atau abelisme adalah prasangka atau perlakuan diskriminatif terhadap Difabel atau Disabilitas. Istilah Ableisme pertama kali digunakan secara tertulis pada 1986 oleh Council of the London Borough Haringey dalam siaran pers. Sebagai konsep, Ableisme memang belum lama digunakan, namun sejarah abelis atau ableis telah ada jauh sebelumnya (Salim et al., 2022).
Ableisme dari kata “able” yang berarti mampu, sanggup, dapat, dan bisa. Jadi ableisme adalah sistem kepercayaan atau ideologi yang menempatkan dan menganggap orang-orang dengan disabilitas memiliki status yang lebih rendah dibandingkan dengan orang-orang non disabilitas. Ableisme adalah diskriminasi dan prasangka sosial terhadap disabilitas yang dianggap sebagai orang-orang yang tidak mampu, tidak normal, dan cacat.
Istilah “Disabilitas” yang diadopsi di dalam sistem hukum nasional, misalnya Undang-Undang Penyandang Disabilitas (UU No. 8/2016), berasal dari kata yang sama “able” atau mampu, menjadi “disable” atau tidak mampu atau sering diterjemahkan menjadi penyandang cacat. Istilah “Disabilitas” walaupun diterima secara luas, terutama dalam hukum positif, namun tetap menimbulkan masalah, karena menyebut dan menempatkan Difabel atau Disabilitas sebagai mereka yang tidak mampu.
Undang-Undang Penyandang Disabilitas mengadopsi Konvensi mengenai Hak-Hak Orang dengan Disabilitas (Convention on The Rights of Persons With Disabilities, CRPD 2006), yang sebelumnya diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui UU No. 19 Tahun 2011. Adopsi CRPD dalam hukum nasional sangat maju, karena CRPD adalah instrumen hak asasi manusia (HAM), sehingga Undang-Undang Penyandang Disabilitas juga menggunakan pendekatan HAM.
Konstruksi Sosial Penyandang Disabilitas
Ableisme dan ableis atau sikap merendahkan dan prasangka terhadap Disabilitas, yang menganggap mereka sebagai tidak mampu, cacat, invalid, dan tidak normal adalah hasil konstruksi sosial. Sebagai suatu konstruksi sosial, masalah cacat atau penyandang cacat dan normal adalah masalah yang direproduksi oleh ideologi, budaya, pengetahuan, maupun politik untuk kepentingan suatu golongan tertentu, yakni mereka yang merasa ‘tidak cacat’ dan ‘normal’ atau yang disebut sebagai normalisme (Fakih, 2002; 2011).
Untuk memahami ideologi normalisme ini, pertama yang harus dipahami tentang konsep ‘cacat’ dan ‘normal’. Kecacatan pada dasarnya berkaitan dengan tidak berfungsinya salah satu bagian seseorang baik fisik maupun psikis. Tidak berfungsinya salah satu bagian dari fisik dan psikis seseorang sama sekali tidak ada kaitannya dengan mampu. Misalnya orang yang tidak mempunyai kaki atau kakinya mengalami kelumpuhan, bisa jadi memiliki kemampuan berpikir, berkomunikasi, mencipta dan sebagainya dibanding dengan orang yang memiliki kaki atau kaki tidak mengalami kelumpuhan. Bahkan orang yang tidak mempunyai kaki atau kakinya mengalami kelumpuhan tidak berarti sama sekali dia tidak mampu ‘berjalan’ kalau memang hakikat berjalan adalah pindah dari satu tempat ke tempat lain. Yang diperlukan adalah sarana dan prasarana yang memungkinkan dia dapat berpindah.
Demikian juga orang yang tuli tidak berarti ‘tidak mampu’ mendengar dan berkomunikasi, yang diperlukan adalah sarana dan prasarana yang memungkinkan dia dapat mendengar dan berkomunikasi, seperti alat bantu dengar, pembaca layar, atau bahasa isyarat. Apakah orang yang membutuhkan bantuan seperti alat bantu dengar untuk berkomunikasi dengan orang lain tersebut berarti tidak mampu dan tidak normal? Ini berarti, apa yang dikatakan bahwa orang yang tidak memiliki bagian dari alat tubuh atau tidak berfungsinya alat tubuh sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan kemampuan.
Kedua, adalah konsep ‘normal’ itu sendiri. Umumnya yang disebut orang normal adalah mereka yang memiliki anggota tubuh yang secara fisik bisa diobservasi, seperti mempunyai mata, tangan, kaki, dan sebagainya. Tetapi pertanyaannya mengapa banyak jenis ‘kerusakan’ atau kelainan baik fisik maupun psikis yang tidak mendapat predikat disabilitas atau penyandang cacat? Misalnya mereka yang mengalami kerusakan ginjal, jantung, tekanan darah, tetap dianggap ‘normal’. Demikian juga mereka yang memiliki ‘cacat mental dan moral’ seperti pencuri/koruptor, pelanggar hak asasi manusia, penindas, rentenir, dan sebagainya, mereka tidak peka terhadap penderitaan masyarakat, tetap dianggap normal. Jadi ‘cacat’ dan ‘normal’ adalah konstruksi sosial yang tidak selalu menggambarkan realitas sosial secara objektif. Konstruksi sosial ini dilanggengkan oleh kepentingan dari golongan yang menganggap diri mereka normal untuk membedakan diri dengan mereka yang dianggap tidak normal dan cacat (Fakih, 2002; 2011).
Bahasa dan Ableisme
Istilah “disable” atau “tidak mampu”, “cacat”, “invalid”, dan “tidak normal” mungkin tidak dipermasalahkan jika tidak menyebabkan diskriminasi, kekerasan, dan penyingkiran terhadap mereka yang disebut dengan istilah-istilah tersebut. Tetapi kenyataannya istilah-istilah tersebut melahirkan ableis atau sikap merendahkan disabilitas, hingga diskriminasi dan kekerasan terhadap disabilitas.
Penamaan atau pengistilahan dengan menggunakan bahasa sebagai media komunikasi dengan segala konstruksi yang melingkupinya, menjadikan normal dan tidak normal bukanlah istilah yang netral. Apalagi istilah dan pengetahuan mengenai normal dan tidak normal dikuasai oleh mereka yang menganggap dirinya normal. Dengan kekuatan data, analisis, dan argumentasinya, para ilmuwan dan pengambil kebijakan membuat istilah, mengartikan, mendefinisikan, dan mengkategorisasikan. Sebagai contoh definisi yang digunakan dalam UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (undang-undang tersebut sudah digantikan dengan UU No. 8/2016). Di dalam undang-undang tersebut disebutkan, Penyandang Cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya. UU ini menggunakan istilah ‘cacat’ dan mereka adalah orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental. Cacat, kelainan fisik, dan kelainan mental adalah istilah yang umum digunakan dalam dunia kedokteran dan kesehatan.
Salim (2021) menjelaskan bahwa episteme normalisme biomedik telah mendasari pengetahuan-pengetahuan yang menentukan relasi pencacatan. Normalisme menempatkan aspirasi biologi atau tubuh yang lengkap sebagai normal dan dengan demikian tampak lebih superior pada diri subyek yang tidak lengkap, cacat, atau abnormal telah menjadikan orang-orang normal sebagai ‘aparatus’ yang mengatur atau mengendalikan tatan sosial kemasyarakatan.
Sementara mereka yang disebut sebagai tidak normal tidak mempunyai pengetahuan dan ruang yang cukup untuk memberikan masukan atau menyanggah istilah dan argumentasi yang digunakan dalam pembentukan suatu kebijakan. Di sisi lain, berbagai sarana dan prasarana yang diproduksi oleh manusia juga tidak memberikan akses dan ruang yang memadai untuk mereka yang disebut sebagai tidak normal.
Diskriminasi dan Kekerasan terhadap Disabilitas
Ableisme dan ableis yang menganggap mereka yang disabilitas sebagai orang yang tidak mampu, cacat, invalid, dan tidak normal, berimplikasi pada nasib mereka yang dikategorikan sebagai tidak mampu dan tidak normal. Dengan kata lain pembagian cacat-normal ini ada yang diuntungkan dan ada yang disingkirkan. Ableisme dan ableis melahirkan diskriminasi, stereotip atau pelabelan terhadap disabilitas, marjinalisasi dan pemiskinan, kekerasan, dan subordinasi.
Sebagai sebuah sistem kepercayaan atau pandangan, ableisme telah mengakar kuat dalam sistem pengetahuan dan sistem sosial. Pengetahuan mengenai disabilitas yang melahirkan kebijakan dan praktik sosial diskriminatif, yang oleh sebagian besar masyarakat menerimanya sebagai sesuatu yang terjadi secara alami. Karena itu, untuk mengubah kebijakan dan kehidupan sosial yang diskriminatif terhadap disabilitas, maka dibutuhkan kerja-kerja yang berbasis pengetahuan untuk merekonstruksi pengetahuan yang selama ini menempatkan disabilitas sebagai kelompok yang tidak mampu dan tidak normal.
Pengetahuan yang selama ini melahirkan dan mengokohkan ableisme dan ableis, perlu dan harus dikritisi dan diimbangi dengan pengetahuan baru yang tidak diskriminatif dan lebih adil. Ini perlu dilakukan karena pengetahuan yang berbasis ableisme dan sikap ableis bertentangan dengan hak asasi manusia. Tuhan juga menyatakan “sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS.95:4). Karena itu, manusia yang disabilitas dan non disabilitas mempunyai kedudukan sama, tidak hanya di dalam negara, tetapi juga di mata Tuhan. Jadi menjadi tugas manusia untuk mengubah kehidupan yang diskriminatif dan tidak adil terhadap manusia yang lain, yaitu disabilitas.