Menentukan Makna Kerentanan di Tengah Pandemi
Penulis : PUSKAPA UI
  • Program bantuan sosial bagi rakyat terdampak Pandemi COVID-19 dari Kementerian Sosial RI  Sumber: https://wanmedia.co.id/wp-content/uploads/2020/12/IMG-20201207-WA0004.jpg�
    Program bantuan sosial bagi rakyat terdampak Pandemi COVID-19 dari Kementerian Sosial RI Sumber: https://wanmedia.co.id/wp-content/uploads/2020/12/IMG-20201207-WA0004.jpg

Ketika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mendadak merumahkan penduduknya untuk mengantisipasi penyebaran virus COVID-19, sebagian besar pihak berasumsi kondisi ini hanya sementara. Namun, pemerintah pusat kemudian memberlakukan pembatasan sosial berskala besar, akibat meluasnya penularan COVID-19 ke berbagai provinsi. Warga mulai cemas karena kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Bisnis pariwisata dan sejumlah usaha berskala kecil menengah yang terkait sektor ini langsung terkena imbasnya ketika sejumlah penerbangan dari luar negeri dihentikan. Moda transportasi antar kota di dalam negeri pun dibatasi. Para pedagang kaki lima di kota-kota besar memilih pulang kampung (tanpa bisa dicegah) karena penghasilan mereka menurun drastis. Para pengusaha di bidang jasa pun limbung, bahkan mati suri.

Dalam keterbatasan itu, pemerintah menggelontorkan sejumlah dana untuk membantu mereka yang mengalami kesulitan ekonomi akibat pandemi ini. Tentu saja, sasaran utama mereka adalah kelompok miskin, yang selama ini terdata oleh Kementerian Sosial. Bantuan sosial (bansos) diberikan kepada mereka berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

Masalah muncul ketika penyaluran ini dimulai. Hingga 31 Juli 2020, Ombudsman-RI melaporkan bahwa pihaknya menerima 1.621 pengaduan terkait masalah pelayanan publik dari dampak wabah COVID-19 (Kompas.id, 5 Agustus 2020). Sekitar 83 persen dari pengaduan tersebut atau sekitar 1.346 di antaranya terkait masalah penyaluran bantuan sosial.

Contoh penyaluran bantuan yang tak tepat sasaran pun ramai menghias media. Salah satunya, kisah viral seorang nenek yang menolak bantuan beras, dan meminta beras diberikan kepada yang membutuhkan di Sumatera Barat (www.merdeka.com, 20 April 2020), Sumatera Utara (sumut.indozone.id, 21 April 2020) hingga Nusa Tenggara Timur (Kompas, 3 Mei 2020). Lalu berita tentang kunjungan kerja Komisi VIII DPR di Banten yang menemukan penerima bantuan adalah pegawai negeri sipil, anggota dewan dan orang kaya (katadata.co.id, 3 Juli 2020).

Data yang tak akurat dan rumit juga menyebabkan penyaluran bantuan sosial tertunda, sehingga banyak bahan sembako membusuk dan terpaksa dimusnahkan (Kompas, 29 Juni 2020). KPK menyampaikan dari 1,047 aduan mengenai bansos yang diterima, sebagian besar adalah aduan warga yang tidak menerima bantuan meski telah memenuhi syarat dan telah mendaftar (Kompas.com, 9 September 2020).

Di sisi lain, pemerintah menyadari bahwa yang perlu dibantu ternyata lebih banyak dari yang selama ini terdata. Gelombang pemutusan hubungan kerja menyusul bergugurannya sejumlah unit usaha, pemotongan upah di berbagai sektor, termasuk industri manufaktur, dan semakin meningkatnya pasien COVID-19 serta jumlah pasien yang meninggal, memunculkan kelompok-kelompok baru yang membutuhkan perhatian, di luar DTKS.

Situasi itu mendorong pemerintah pusat memperluas jangkauan pemberian bantuan.
Pemerintah telah menambah anggaran belanja sebesar 695,2 triliun rupiah ke APBN 2020, bagi penanganan wabah virus Corona (Katadata, 10 Agustus 2020) ). Khusus untuk perlindungan sosial pemerintah meningkatkan anggaran hingga 242,15 triliun rupiah (Kompas.com, 29 September 2020). Bantuan sosial pun diberikan melalui saluran penyaluran bantuan yang telah ada jauh sebelum pandemi. Bantuan itu, antara lain, berupa bantuan langsung tunai, paket sembako, subsidi listrik, bantuan untuk peserta Program Keluarga Harapan (PKH), insentif kartu prakerja, dan Kartu Indonesia Pintar, subsidi kuota internet bagi pelajar, subsidi gaji. Pamerintah pun turut juga mengalokasikan 120,61 triliun rupiah untuk insentif usaha, dan 123,46 triliun rupiah untuk bantuan kepada UMKM (Katadata, 10 Agustus 2020).

Pemerintah daerah pun mencoba berinovasi. Di Jawa Barat, misalnya, perangkat RT/RW mendata keluarga yang tidak termasuk dalam DTKS. Kategori ‘kelompok miskin baru’ pun muncul untuk mencakup keluarga yang kehilangan mata pencaharian akibat pandemi COVID-19 serta keluarga yang memiliki anggota dengan riwayat penyakit kronis. Data baru ini kemudian diajukan bupati atau walikota ke gubernur agar yang tercatat dapat menerima bantuan. Tentu proses ini akan memakan waktu, sehingga tak jarang ada yang berkomentar sinis di laman media daring, seperti yang terlihat di bagian komentar laman pikiran-rakyat.com, pada 8 Mei 2020. Di situ salah seorang berkomentar, “Harese rek mere bantuan oge…nunggu malodar ku covid jeng kalaparan jiga na.. (terjemahan bebas: Mau ngasih bantuan aja susah… mungkin nunggu orang-orang pada meninggal karena COVID-nya dan kelaparan baru dikasih)”.

Bagaimana mendorong agar upaya pemberian bantuan pemerintah menjangkau kelompok-kelompok yang membutuhkan dengan cepat dan tepat sasaran? Jawabannya, menurut Kementerian Keuangan adalah dengan memperbarui data, yang bisa secepatnya diajukan pemerintah daerah mulai tahun ini juga. Namun, jangan lupa, bantuan sosial ini sifatnya jangka pendek dan hanya menyasar pada kebutuhan ekonomi yang sifatnya sementara. Lantas, siapa yang seharusnya memperoleh prioritas dalam penanganan pandemi ini termasuk dampak lanjutannya di masa depan?

Mari kita tengok siapa saja kelompok yang mendesak untuk dibantu dan dilindungi dalam beberapa kebijakan yang berlaku selama ini. Pandemi COVID-19 telah resmi dinyatakan sebagai bencana non alam berskala nasional. Berdasarkan Peraturan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Nomor 3 Tahun 2018, kelompok yang dianggap paling mudah atau berisiko tinggi menjadi korban atau rentan terhadap dampak bencana adalah bayi, anak usia di bawah 5 tahun, anak-anak, ibu hamil atau menyusui, penyandang disabilitas dan orang lanjut usia (lansia). Biasanya, mereka inilah yang memperoleh prioritas dalam kebijakan publik ketika bencana melanda. Di sisi lain, banyak pihak yang mengidentifikasi kelompok lain dalam kategori ‘rentan’ tersebut, misalnya, kelompok minoritas, korban kekerasan, maupun kelompok yang selama ini tidak pernah masuk dalam sistem pendataan nasional.

Sementara itu, dalam menyalurkan bantuan atau menjalankan program pengentasan kemiskinan, pemerintah umumnya merujuk pada data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut BPS, kelompok miskin (yang kemudian menjadi sasaran bantuan pemerintah) adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan. Dengan kata lain, tolok ukurnya adalah daya konsumsi penduduk.

Namun, faktanya, saat ini orang bisa mengalami beberapa kondisi di atas akibat wabah penyakit COVID-19. Misalnya, perempuan hamil yang menjanda karena suaminya meninggal akibat COVID-19 dan harus menghidupi anak-anaknya yang masih kecil. Atau seseorang yang dipecat karena perusahaan bangkrut gara-gara bisnis lesu, tapi harus merawat orang tuanya yang telah lanjut usia dan menopang hidup saudaranya penyandang disabilitas. Bisa juga, anak yang tidak bisa bersekolah karena tak ada akses internet di daerahnya, atau anak tunawisma penyandang disabilitas yang keluarganya terinfeksi COVID-19, dan lain-lain.

Dalam situasi yang semakin tidak menentu karena cepat dan meluasnya penyebaran COVID-19, kondisi tiap orang pun mudah berubah. Karena itu, penting sekali memperluas definisi kelompok yang berisiko tinggi atau rentan karena beberapa penyebab. Pertama, seseorang bisa menjadi rentan, sebagai imbas kebijakan tertentu. Contohnya, orang yang mendadak kehilangan mata pencaharian akibat pemberlakuan pembatasan sosial. Kedua, seseorang masuk dalam kelompok berisiko tinggi karena dukungan dan respons pemerintah yang tidak tepat. Misalnya, seseorang yang tidak bisa mengikuti aturan selama pandemi untuk menjaga jarak ketika berada di tempat-tempat umum dan tidak mengenakan masker, sehingga terinfeksi COVID-19 dan harus dirawat. Penyebab ketiga adalah risiko yang bertambah akibat respons yang tidak tepat tadi. Contoh yang paling mudah, seseorang yang telah terinfeksi berpotensi menularkan pada anggota keluarganya.

Untuk memetakan kelompok-kelompok tersebut, Bappenas bekerja sama dengan Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA UI), UNICEF, dan KOMPAK merumuskan kajian kebijakan yang memperluas definisi ‘kelompok rentan’ akibat pandemi COVID-19. Berdasarkan kajian teoritis, analisis data sekunder dan studi literatur yang ada, definisi kerentanan dalam kajian ini adalah:

“…kondisi yang secara tidak proporsional dialami individu tertentu, akibat ketiadaan akses karena kemiskinan, keterpencilan, atau keterbatasan mobilitas, ketimpangan kualitas layanan publik, dan penyisihan berbasis usia, disabilitas, dan identitas sosial seperti gender, agama, etnis, dan seksual.”

Bagaimana seseorang bisa masuk dalam kategori rentan? Seperti yang dipaparkan oleh Adger (2006) serta Smit & Wandel (2006), kerentanan dipengaruhi oleh tiga aspek yang saling memengaruhi. Ketiga aspek itu adalah paparan (exposure), sensitivitas (sensitivity), dan kurangnya kemampuan adaptasi (lack adaptive capacity). Ketiga faktor ini diimbuhi oleh ketersediaan dukungan dan fasilitas secara struktural. Dengan kata lain, jika terjadi ketimpangan struktural, yang menyebabkan dukungan dan fasilitas tidak dapat diakses dengan setara, maka posisi seseorang akan semakin rentan.

Dinamika ketiga aspek tersebut dapat dijelaskan melalui ilustrasi seperti ini. Tono dan Meni adalah pasangan suami istri di Desa Kembang. Dulu mereka menikah secara agama. Karena tak punya uang, mereka tidak mencatatkan pernikahan mereka ke Kantor Urusan Agama. Keduanya berasal dari keluarga petani penggarap di desanya. Ketika Ayah Tono meninggal dunia, dan tanah garapan dijual pemiliknya, Tono memutuskan untuk pindah ke kota. Untuk itu, dia memboyong Meni, ketiga anaknya, dan ibunya yang telah lanjut usia ke kota Bunga.

Sesampainya di kota Bunga, Tono, Meni dan keluarganya tinggal rumah kontrakan ukuran 3x5 meter di perkampungan kumuh yang padat. Mereka bekerja serabutan. Tono acap bekerja sebagai kuli bangunan, dan Meni berjualan gorengan di pasar. Sayang, anak -anak mereka tak bisa bersekolah di kota, karena tak memiliki akta kelahiran. Tono dan Meni juga tak mampu mengurus dokumen terkait kepindahan mereka karena untuk keperluan itu, mereka harus bolak-balik ke kampung.

Sehari-hari, jika Tono dan Meni mesti bekerja, Mbah Eni, yakni ibu Tono, yang mendampingi cucu-cucunya. Anak Tono dan Meni yang sulung, Cinta (12 tahun), menderita cerebral palsy sejak lahir. Untuk kegiatan sehari-hari, Cinta membutuhkan bantuan dari orang-orang terdekatnya. Mbah Eni dulu mampu membantu. Namun, belakangan karena usia, Mbah Eni mulai menderita demensia. Terpaksa Tono dan Meni mengandalkan tetangga terdekat untuk membantu keseharian Mbah Eni, dan Cinta, dan kedua anaknya yang lain, jika mereka tak di rumah.

Suatu hari, Tono mengalami kecelakaan saat sedang bekerja. Dia terjatuh dari lantai dua karena mengecat tembok tanpa pengaman. Akibat kecelakaan itu, Tono meninggal dunia. Meni pun menjadi satu-satunya pencari nafkah untuk keluarganya. Setiap hari dia berdagang ke pasar, membantu pekerjaan rumah tangga, mengemis bahkan memulung agar mampu menghidupi keluarganya. Kedua anaknya yang lain, Adi (8 tahun) dan Tini (5 tahun) sering dia bawa untuk mengamen di pasar atau memulung di jalanan.

Ketika pandemi melanda, dan pembatasan sosial diberlakukan, Meni tak lagi bisa berjualan bebas, mengamen atau memulung di jalanan. Berjualan di pasar begitu ramai orang, sehingga Meni sulit menjaga jarak. Tinggal di rumah saja pun tak membantu. Meni tak bisa menjangkau pembeli, karena tak mampu membeli telepon genggam, apalagi membeli kuota internet untuk berjualan online. Tawaran pekerjaan membantu rumah tangga berkurang drastis. Demi sesuap nasi, Meni nekat tetap berjualan di pasar.

Sementara itu, di rumah petak mereka, anak-anak merasa sesak dan terkurung. Di tempat mereka tinggal, warga biasa membuang hajat dan mencuci di kali, dan kekurangan fasilitas air bersih. Karena lingkungan begitu padat, susah sekali keluar rumah tanpa harus terjebak dalam kerumunan. Sulit sekali menjalankan kebiasaan hidup sehat. Orang-orang yang biasa membantu merawat Mbah Eni, dan Citra kini tak bisa datang.

Kisah di atas menunjukkan bagaimana ketiga aspek dalam kerentanan melekat dalam kehidupan anak-anak, penyandang disabilitas dan lansia di keluarga Tono dan Meni, yang mengalami kemiskinan struktural sebagai keluarga petani penggarap yang pindah ke kota. Sejak awal, dari segi administrasi kependudukan, keluarga ini menjadi rentan ketika Tono dan Meni tak mencatatkan pernikahannya. Tanpa buku nikah, anak-anaknya pun tak bisa memiliki akta kelahiran. Situasi ini diperberat ketika Tono dan Meni tak melaporkan status kepindahan mereka. Akibatnya, anak-anak dan lansia di keluarga ini amat rentan terhadap peristiwa yang mengguncang keluarga. Contoh, ketika pindah, anak-anak terpaksa tak sekolah karena data mereka tak tercatat. Ketika ayahnya meninggal, akhirnya Adi dan Tini malah ikut mencari nafkah bersama ibunya.

Hidup lebih sulit bagi Citra yang disabilitas  dan Mbah Eni sebagai lansia, yang amat bergantung pada bantuan orang sekitar. Di era pandemi ini, kemungkinan bahwa anak-anak (termasuk Citra yang disabilitas ), serta Mbah Eni bisa terpapar virus Corona amat besar karena harus bersinggungan dengan banyak orang. Pekerjaan Meni yang membuat ia berkecimpung di pasar atau jalanan yang ramai meningkatkan risiko dirinya terpapar virus juga. Sedihnya, tanpa dokumen kependudukan, keluarga Meni kesulitan mengakses layanan dasar, terutama kesehatan maupun bantuan sosial lainnya.

Dari ilustrasi itu, bisa dibayangkan bahwa pandemi kali ini dapat menimbulkan kesulitan yang berlapis pada berbagai kelompok, terutama anak, lansia, dan difabel. Selain itu, wabah Corona juga semakin memperbesar risiko bagi kelompok-kelompok yang terpinggirkan, seperti mereka yang tak dapat mengakses layanan publik karena tak terdata, kelompok miskin, mereka yang tak terungkap melalui data statistik atau tersembunyi, kelompok yang mengalami stigma di masyarakat, mereka yang akibat identitasnya mengalami kesulitan hidup dan diskriminasi.

Kerentanan ini bersifat dinamis. Dan selanjutnya, dalam jangka panjang dapat mengakibatkan seseorang atau suatu kelompok semakin terbatas untuk memperoleh layanan kesehatan, pendidikan, ekonomi, perlindungan, dan secara sosial maupun politik.

Bagaimana mengelompokkan dan mengkategorikan mereka yang termasuk kelompok rentan ini? Kajian kebijakan ini memaparkan secara rinci siapa dan bagaimana kelompok rentan tersebut diidentifikasi dan dikelompokkan.

 

Artikel ini bersumber dari: 

https://puskapa.medium.com/menentukan-makna-kerentanan-di-era-pandemi7bf920ba3b16

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.