Menengok RSUD Paniai, Rujukan di Mee Pago
Penulis : Syaifullah
  • Foto: Syaifullah/Yayasan BaKTI
    Foto: Syaifullah/Yayasan BaKTI

Beberapa bulan lalu saya berkunjung ke RSUD Paniai, salah satu rumah sakit terbaik di pegunungan tengah Papua. Rumah sakit rujukan di kawasan adat Mee Pago. Ini adalah selayang pandangnya.

Perempuan Itu Menggendong seorang bayi mungil, berdiri malu-malu di depan pintu aula. Perawakannya ramping dengan rambut keriting dan kulit gelap, khas orang Papua. Di gendongannya, si bayi mungil itu tidur dengan lelapnya, terbungkus selimut tebal.

“Saya dari Waghete,” jawabnya ketika saya menyapa dan bertanya asalnya. Sebelumnya dia menyebut namanya, Vince. Waghete adalah sebuah kota yang berjarak sekira 15-an km dari tempat itu, masuk ke dalam wilayah Kabupaten Deiyai dan ditempuh dengan taksi (sebutan orang Papua untuk kendaraan umum) selama lebih kurang 30 sampai 45 menit. Vince mengaku sengaja datang dari Waghete ke tempat itu, membawa Jockie, bayi mungilnya yang berumur empat bulan untuk imuninasi.

Tapi, kenapa harus jauh-jauh ke sini? Tanya saya. Apakah di Waghete tidak ada layanan kesehatan untuk ibu dan anak?
“Ada, tapi saya lebih suka di sini,” jawab Vince dengan senyum dan wajah tersipu malu.
“Di sini” yang dimaksud Vince adalah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Paniai.
Letaknya di kota Madi, sekira 3 km dari Enarotali, ibukota Kabupaten Paniai. Hari itu kebetulan hari Rabu minggu ketiga, hari ketika imunisasi gratis diberikan kepada ibu-ibu warga Paniai dan sekitarnya.

Foto: Syaifullah/Yayasan BaKTI
Foto: Syaifullah/Yayasan BaKTI


Paniai adalah sebuah kabupaten di kawasan pegunungan tengah Papua bagian barat. Untuk mencapai Paniai, dapat dilalui dengan transportasi darat dari Nabire selama lebih kurang 7 jam perjalanan, meniti bukit dan jalan berkelok yang cukup menguras tenaga. Jalur Nabire-Paniai adalah bagian dari Trans Papua yang diperbaiki di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Imunisasi di RSUD Paniai itu digelar di sebuah ruangan lantai satu rumah sakit itu. Di dalam ruangan, puluhan ibu-ibu dengan bayi mereka duduk tenang menunggu giliran dipanggil.  Ada empat petugas kesehatan berbaju putih yang bertugas. Mereka membagi tugas, ada yang bertugas memanggil dan mendata ibu dan bayi, ada yang bertugas menimbang, dan ada yang bertugas menyuntik dan mengimunisasi. Suara tangis bayi bergema dan bersahutan ketika lengan bayi mungil itu tertusuk jarum suntik. Suasana riuh namun tetap terasa sejuk. Maklum, Madi terletak di ketinggian 1.700 Mdpl. Udara sejuk terasa hampir sepanjang hari.

“Rumah Sakit Ini berdiri sejak 2005, tapi operasional baru ada sejak tahun 2007,” kata  Dr. Agus, direktur RSUD Paniai yang menjabat sejak 2013. Pria asal Palembang, Sumatera Selatan ini menjadi orang keempat yang menjabat sebagai direktur RSUD Paniai. Dia datang bertugas di Paniai sejak tahun 2007.

Keberadaan RSUD Paniai ini diakui secara resmi melalui Surat Keputusan Bupati No.10 tahun 2006, tertanggal 8 Mei 2006. Surat keputusan ini menetapkan RSUD Paniai sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemda Paniai.

Saat ini statusnya memang masih berstatus D, namun RSUD Paniai sudah diakui sebagai rumah sakit rujukan untuk wilayah adat Mee Pago, melayani empat kabupaten yaitu; Paniai, Deiyai, Dogiyai dan Intan Jaya. Keempat kabupaten tersebut secara geografis memang berdekatan. Ketersediaan tenaga kesehatan dan sarana adalah alasan utama yang menjadikan RSUD Paniai sebagai rujukan untuk keempat kabupaten tersebut.

“Kita punya dua spesialis penyakit dalam, dua spesialis bedah, dua spesialis obgyn, satu spesialis anak, satu patologi klinik dan satu spesialis anestesi. Untuk tenaga memang sudah mencukupi, sementara untuk sarana dan pra sarana kita punya 130 bed dan dengan adanya bangunan-bangunan baru ini rencananya nanti kita genapkan jadi 150 bed,” kata Dr. Agus. Di dalam kompleks rumah sakit itu memang sedang ada pembangunan, beberapa bangunan baru nampak masih dikerjakan oleh tukang.

Untuk sebuah rumah sakit berakreditasi D, menurut Dr. Agus ketersediaan tenaga dan sarana itu sudah mencukupi. Desember 2017, RSUD Paniai mendapatkan sertifikat akreditasi rumah sakit yang menyatakan RSUD Paniai lulus tingkat dasar atau perdana.

Kelengkapan tenaga dan sarana itu pula yang membuat warga di empat kabupaten wilayah adat Mee Pago memilih RSUD Paniai sebagai tujuan utama mereka untuk berobat. Sebenarnya bukan hanya di keempat kabupaten di pegunungan tengah bagian barat itu saja, warga dari Nabire pun ada yang lebih memilih untuk berobat ke RSUD Paniai. Padahal, Nabire termasuk kota yang cukup maju karena berada di daerah pesisir.

“Keluarga saya yang di Nabire ada yang pernah sampai berobat ke RSUD Paniai,” kata Fince Gobay, perempuan muda yang sehari-harinya bertugas di dinas kesehatan Kabupaten Paniai. “Waktu itu dia usus buntu, karena penanganan di Nabire lambat dia memilih ke RSUD Paniai. Akhirnya operasi di Paniai dan bisa sembuh dengan cepat,” sambungnya.

Cerita Fince Gobay ini seakan menguatkan posisi RSUD Paniai sebagai rumah sakit rujukan di wilayah adat Mee Pago. “Masalah Kesehatan Yang Paling Utama di sini masih soal Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA),” kata Ningsih, salah satu perawat di RSUD Paniai.

Ningsih masih muda, usianya tak kurang dari 20 tahun. Pagi itu dia baru saja selesai membantu urusan administrasi di depan salah satu poliklinik. Ada belasan orang di sana, sebagian mereka berkumpul di berdesakan di depan loket pendaftaran. Seorang pria Papua berpakaian putih-putih mencoba mengatur mereka. Ucapan-ucapan dalam bahasa daerah terlontar dari bibirnya, entah apa yang diucapkannya. Mungkin meminta agar orang-orang tersebut mengantri dengan lebih rapi.

Ningsih menceritakan, sebagian besar pasien yang datang berobat memang karena kasus ISPA. Penyakit yang disebabkan oleh virus di udara ini memang gampang sekali menular di lingkungan yang tidak bersih, salah satu masalah kesehatan yang kerap ditemui di Paniai.
RSUD  Paniai

“Sebenarnya kalau di Paniai itu masalah gizi tidak terlalu besar, yang besar itu masalah kebersihan. Kesadaran masyarakat untuk hidup bersih itu yang masih kurang,” kata Fince Gobay ketika kami temui di Nabire. Fince yang juga pegawai Dinas Kesehatan Kab. Paniai itu punya banyak pengalaman dan pengetahuan bila berbicara tentang masalah kesehatan di Paniai. Kondisi tidak higienis itu pula yang diduga menjadi penyebab maraknya virus ISPA.

Selain ISPA, penyakit lain yang juga banyak diderita oleh pasien RSUD Paniai adalah diare dan malaria. Menurut Dr. Agus, khusus untuk kasus malaria ini kasusnya memang semakin meningkat ketika akses ke Paniai semakin terbuka.

Masalah kesehatan yang mendasar masih terus menjadi hambatan, bahkan perilaku hidup sehat pun belum tentu sepenuhnya dimengerti warga. Meski begitu, tantangan tersebut menurut Dr. Agus tidak membuat dia dan semua personil tenaga kesehatan di Paniai menyerah.

Sejauh ini, keberadaan RSUD Paniai sudah cukup menjadi oase di tengah keringnya pelayanan kesehatan di pegunungan tengah Papua bagian barat. Kondisi alam yang berat dan sarana yang tidak lengkap terkadang menjadi alasan kurang tersedianya tenaga kesehatan yang memadai. Beruntung karena RSUD Paniai bisa menyediakan itu semua, menjadi satu-satunya rumah sakit rujukan di wilayah adat Mee Pago untuk saat ini.

“Harapan kami ke depan, tipe rumah sakit bisa meningkat dari D ke C. Semoga alat-alat yang dibutuhkan untuk naik ke akreditasi C bisa kami penuhi, karena tenaga yang sudah ada menurut kami sudah mumpuni. Mudah-mudahan saja dengan dukungan Pemda, masyarakat dan pihak terkait bisa mendukung kami. Mudah-mudahan juga kami bisa menjadi rumah sakit satelit untuk Kabupaten Dogiyai dan Deiyai.” pungkas Dr. Agus ketika ditanya tentang harapannya terhadap RSUD Paniai.

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.