Sulawesi Selatan merupakan provinsi dengan persentase desa dan kelurahan tertinggi kedua (86.9%) setelah DI Yogyakarta (100%) yang sudah berstatus Open Defecation Free (ODF) atau Bebas dari Buang Air Besar Sembarangan (Profil Kesehatan RI, KeMenkes, 2020). Masih tersisa pekerjaan rumah lebih kurang 400 dari 3.047 desa dan kelurahan yang belum berstatus ODF.
Berdasarkan data STBM, 30 November 2020, masih ada 11 dari 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan yang belum mencapai ODF. Kabupaten tersebut yakni Pangkep, Maros, Jeneponto, Tana Toraja, Luwu Timur, Toraja Utara, Luwu Utara, Bone, Takalar, Bulukumba, dan Kota Makassar. Ditengarai desa dan kelurahan yang belum ODF itu boleh jadi menyebar di kabupaten/kota tersebut.
Padahal pemerintah daerah di kabupaten/kota tersebut telah mengalokasikan anggaran secara berkelanjutan untuk percepatan akses jamban sehat keluarga melalui program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), dengan kegiatan pemicuan CLTS (Community Led Total Sanitation), dan sosialisasi program Lima Pilar STBM pada semua lapisan masyarakat yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan, pusat-pusat kesehatan dan sanitarian.
Sejumlah kabupaten tersebut mengalami stagnasi dan keterlambatan akselerasi mencapai 100% akses jamban sehat keluarga. Sebutlah kabupaten Pangkep, Maros, dan Jeneponto adalah kabupaten yang akses cakupan sanitasinya sudah tinggi. Namun ketiganya, berdasarkan data STBM Maret 2020, mengalami keterlambatan pergerakan akselerasi dari capaian terakhir di titik 89,1%, 89,6% dan 94,8%.
Lalu ada apa di 400 desa/kelurahan yang belum bebas dari praktik BABS itu? Didapati masih ada kelompok Last Miles (kelompok warga terakhir yang tidak mengakses jamban sehat keluarga) menjadi penyebab stagnasi dan keterlambatan mencapai 100 % akses jamban sehat keluarga.
Kelompok Last Miles Jadi Hambatan Mencapai 100% Akses Jamban Sehat
Edukasi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) termasuk Stop BABS oleh tenaga kesehatan dan upaya penciptaan kondisi melalui kebijakan pemerintah daerah telah dilakukan. Berbagai upaya dikerjakan melalui pemberian edukasi dan pemicuan serta visitasi door to door dalam berbagai kesempatan belum sepenuhnya dapat mengubah perilaku kelompok last mile untuk tidak melakukan praktik BABS.
Hasil kajian Unicef melalui Yayasan BaKTI bekerjasama dengan Pokja AMPL di kabupaten Pangkep, Maros, dan Jeneponto memetakan kelompok last mile dalam dua klasifikasi status ekonomi, yaitu upper-lower dan lower-lower. Kelas upper-lower merupakan warga dengan pendapatan satu - dua juta rupiah, sedangkan kelas lower-lower kurang dari satu juta rupiah per bulan. Kedua kelompok last mile tersebut masih mempraktikkan BABS disebabkan berbagai faktor.
Faktor penyebab BABS pada kelompok last mile dibedakan dalam tiga kelompok, yaitu: faktor predisposisi (predisposing factors), faktor penguat (reinforcing factors) dan faktor pemungkin (enabling factors).
Faktor predisposisi merupakan faktor penyebab lambatnya akses jamban dari internal kelompok last mile. Kelompok last mile belum menjadikan jamban sebagai skala prioritas (kebutuhan primer) baik bagi kelas upper-lower maupun lower-lower. Skala prioritas kelas lower-lower lebih mengutamakan kebutuhan pokok (primer) untuk menyambung hidup sehari-hari, seperti: makan, minum dan kebutuhan pokok lainnya. Sedangkan kelas upper-lower lebih mengutamakan kebutuhan sekunder dan tersier, seperti: kepemilikan kendaraan bermotor, renovasi rumah, kebutuhan pesta bahkan sampai pada perjalanan umrah.
Pengabaian kebutuhan jamban semakin kuat apabila warga last mile menempati lahan yang bukan milik sendiri. Sebagian last mile menempati rumah yang dibangun di atas lahan milik orang lain. Skala prioritas juga diperparah dengan adanya persepsi terhadap pembangunan jamban yang mahal.
Sementara itu, faktor penguat berasal dari eksternal kelompok last mile. Sinergi lintas sektor khususnya antara puskesmas dengan pemerintah desa dalam upaya pencapaian akses jamban belum optimal. Pemerintah desa cenderung mengharapkan kinerja lebih pada pihak puskesmas. Menurutnya hal itu menjadi tanggungjawab pihak puskesmas karena berkaitan dengan program kesehatan. Pada sisi lain, pihak puskesmas juga sangat berharap kepada pemerintah desa agar menggunakan kewenangannya dalam pencapaian ODF.
Adapun faktor pemungkin berupa faktor lingkungan, seperti akses air bersih yang rendah, akses jalan/transportasi yang sulit, luas lahan, dekat pesisir, dan keberadaan sungai. Namun kondisi ini bisa teratasi jika terjadi sinergitas yang baik antara pihak puskesmas dengan pihak pemerintah desa.
Praktik baik (best practice) sinergi pihak terkait dalam menjangkau kelompok last mile BABS dapat dilihat di Dusun Belaka Desa Gentung Kab. Pangkep. Wilayah tersebut sulit mengakses air bersih dan kondisi jalan hanya pematang empang, namun dusun tersebut bisa ODF. Tercapainya ODF Dusun Belaka Desa Gentung disebabkan adanya program bantuan bak air tahun 2017 dan bantuan jamban tahun 2018. Terlaksananya program ini atas kerjasama antara pihak Puskesmas Labakkang dengan Pemerintah Desa Gentung.
Untuk percepatan ODF, maka disarankan kepada pihak pemerintah desa/kelurahan agar program bantuan pembangunan sarana sanitasi dan air bersih difokuskan kepada kelas lower-lower yang pendataannya dikoordinasikan dengan pihak puskesmas. Pemberian bantuan sarana sanitasi kepada kelas lower-lower perlu dilanjutkan dengan bantuan padat karya yang lebih produktif. Bantuan padat karya disesuaikan dengan teknologi dan potensi sumber daya lokal, untuk menambah pendapatan kelas lower-lower guna keberlanjutan penggunaan sarana sanitasi yang sudah dibangun.
Pihak puskesmas diharapkan agar mengoptimalkan pemberian edukasi mengenai PHBS (Stop BABS), baik melalui pemicuan maupun secara door to door kepada warga utamanya kelas upper-lower melalui kerja sama dengan pihak pemerintah desa. Dibutuhkan sinergi antara camat, kepala desa/lurah, Babinsa, sanitarian, petugas Promkes, petugas PIS-PK, fasilitator STBM, BPMD, dan OPD terkait dalam setiap kegiatan yang berkaitan dengan program pencapaian akses jamban.