Melalui otonomi daerah, pemerintah pusat menyerahkan sebagian kewenangannya. Daerah-daerah pun harus terpacu untuk menciptakan berbagai inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya.
Pelaksanaan otonomi daerah telah berjalan 23 tahun. Selama itu banyak bermunculan Daerah Otonomi Baru (DOB). Hingga kini terdapat 542 daerah otonomi yang terdiri dari 34 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Kelahiran DOB memicu daerah-daerah lain untuk menuntut pemekaran. Hingga tahun 2019, Kementerian Dalam Negeri menerima 314 usulan pemekaran daerah setingkat provinsi dan kabupaten/kota. Namun, pemerintah belum mengabulkan karena masih moratorium. Moratorium bertujuan agar daerah tidak asal dimekarkan. Tetapi harus melalui kajian dan telaah mendalam.
Secara umum, otonomi daerah telah berjalan dengan baik. Daerah-daerah dapat membangun dan menggali potensinya dengan menyerap dan melibatkan masyarakat. Tentu saja juga masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki.
“Sebetulnya otonomi daerah sudah pada jalan yang benar. Cuma memang berbagai hambatan dalam penyelenggaraan otonomi daerah tak bisa kita hindari. Seperti persoalan lemahnya kapasitas, baik personal, kelembagaan, apalagi pembiayaan. Inilah persoalan klasik yang selama ini dianggap persoalan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Berbagai persoalan itu harus dievaluasi dan dijadikan bahan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada,” kata Akmal Malik, Plt. Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri.
Di samping itu, kata Akmal, belum terlihat local wisdom atau kearifan lokal mewarnai otonomi daerah kita. “Saya melihat otonomi daerah masih pendekatan-pendekatan normatif semata. Terlalu kaku. Tidak berani mengedepankan local wisdom dalam mengelola urusan-urusan yang diberikan pusat kepada mereka. Ini karena persoalan kapasitas.”
Dalam menjalankan wewenangnya, daerah memiliki hak untuk menentukan tata cara yang sesuai dengan tuntutan masyarakat, perkembangan zaman, dan kearifan lokal, yang hidup di masing-masing daerah. Dengan demikian, masing-masing daerah berpeluang melahirkan berbagai inovasi dan terobosan model atau mekanisme penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian tak kehilangan makna kebhinekaan sebagai bangsa.
“Memang muncul inovasi-inovasi baru dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tetapi masih kurang. Oleh karena itu kita berharap semakin banyak daerah yang menciptakan inovasi-inovasi dalam mengelola daerahnya,” kata Akmal. Tahun 2019, Kementerian Dalam Negeri memberikan apresiasi terhadap Pemerintah Daerah yang berhasil meraih kinerja terbaik secara nasional, sehingga layak mendapatkan Tanda Kehormatan Parasamya Purnakarya Nugraha yang diberikan kepada Pemerintah Daerah sukses mendapatkan prestasi kinerja tertinggi selama 3 (tiga) tahun berturut-turut dan penghargaan Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Bhakti Praja Nugraha diberikan kepada Kepala Daerah berprestasi kinerja sangat tinggi dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah berdasarkan pada hasil Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (EKPPD) atas Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD)Tahun 2017. Sejarah otonomi daerah sendiri, kendati baru berusia dua dasawarsa, tetapi jejaknya dapat ditelusuri sejak zaman kolonial Belanda.
Sebetulnya otonomi daerah sudah pada jalan yang benar. Cuma memang berbagai hambatan dalam penyelenggaraan otonomi daerah tak bisa kita hindari.
Akmal Malik
Desentralisasi Zaman Kompeni
Pada akhir abad ke-19, tuntutan desentralisasi pemerintahan di Hindia Belanda mencuat dalam persidangan parlemen Belanda (Tweede Kamer). Anggota parlemen L.W.C. Keuchenius membuka perdebatan itu pada 1880. Dia mengusulkan pembentukan gewestelijk raad, yaitu dewan tempat warga Eropa dapat menyuarakan isi hatinya, di daerah-daerah di Hindia.
Di Hindia, muncul penentangan dari kalangan konservatif. Pada 1880, Gubernur Jenderal J.W. van Lansberge berkirim surat kepada Menteri Tanah Jajahan W. Baron van Goldstein van Oldenaller agar perdebatan soal desentralisasi dihentikan saja. Alasannya, selain penduduk bumiputra belum terpelajar, orang Eropa terpelajar umumnya sibuk mencari harta kekayaan dan tak punya waktu mengurus kepentingan lain.
Namun suara di parlemen mengeras. W.K. Baron van Dedem, anggota parlemen lain, mendukung usulan Keuchenius. Dalam persidangan tahun 1881, dia menyuarakan perlunya perubahan tata pemerintahan kolonial di Hindia. Dia bahkan mengusulkan pemisahan urusan keuangan dan anggaran belanja antara negeri induk dan koloni.
Suara pendukung otonomi daerah tersendat ketika terjadi pembaruan pemerintah kolonial melalui Regerings Reglement 1854. UU itu antara lain mengatur penunjukan bupati oleh gubernur jenderal. Ditambah lagi dengan pemberlakuan Reglement op het Beleid der Regering van Nederlandsch-Indie, dimuat dalam Staatsblad No. 2 tahun 1885, yang menyebut Hindia Belanda adalah gecentraliseerd geregeerd land atau suatu wilayah yang diperintah secara sentralistik.
Sempat tenggelam, perdebatan soal otonomi daerah mencuat kembali. Kali ini, tahun 1887, yang menyuarakannya adalah anggota parlemen yang juga pengusaha perkebunan tembakau sukses di Deli, Sumatra Utara, J. Th. Cremer. Menurut Cramer, unsur swasta sebagai pemberi saran dan pemantau haruslah dipandang penting dalam desentralisasi. Dia meyakini, apa yang baik bagi kehidupan usaha di Hindia Belanda akan baik pula bagi kehidupan seluruh penduduk di negeri itu.
“Dengan demikian (Cremer, red.) boleh dipandang sebagai representasi kepentingan elemen-elemen partikelir tanah Hindia,” tulis Soetandyo Wignjosoebroto dalam Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Para penyokong desentralisasi juga melihat pelaksanaan sistem liberal menyebabkan urusan pemerintahan di daerah meningkat, yang memerlukan keputusan dan penanganan cepat. Misalnya, bagaimana menangani kepentingan Belanda di kota-kota, pertumbuhan pabrik, hingga kebutuhan sarana dan prasarana di daerah seperti kereta api dan pelabuhan. Birokrasi, misalnya residen harus melapor setiap urusan ke gubernur jenderal, bisa menghambat pembangunan daerah.
Upaya para pendukung desentralisasi mendapat angin ketika mereka menduduki posisi-posisi strategis. Ketika menjabat menteri koloni, Van Dedem mengajukan rancangan undang-undang (RUU) desentralisasi ke parlemen pada 1893. Upayanya gagal. Pada 1901, Cremer menempuh langkah serupa ketika menjabat menteri koloni namun kandas pada tahun itu juga. Begitu pula penggantinya, T.A.J. van Asch van Wijck, setahun kemudian.
“Tetapi ketika A.W.F. Idenburg menjadi menteri koloni, rancangan dimaksud diajukan lagi disertai beberapa perubahan,” tulis Bayu Surianingrat dalam Sejarah Pemerintahan di Indonesia. Akhirnya, pada 23 Juli 1903, pemerintah Kerajaan Belanda menetapkan Decentralisatie Wet 1903 atau UU Desentralisasi 1903.
Desentralisasi Keuangan
UU Desentralisasi 1903 hanya merupakan amandeman (tambahan) parsial terhadap Regerings Reglement 1854. Penambahan itu adalah pasal 68a, 68b, dan 68c, yang menjadi pijakan bagi setiap residensi (gewest) dan bagian dari gewest untuk memiliki dan mengatur keuangan sendiri serta pembentukan dewan-dewan (raad) di daerah yang berwenang membuat peraturan-peraturan daerah.
“Mengingat konten pasal-pasal tersebut, tidak keliru bila yang tengah terjadi ini adalah desentralisasi anggaran, bukan desentralisasi teritorial semata,” tulis Soetandyo.
Untuk itu perlu dibentuk perangkat pelaksananya, berupa dewan lokal. Untuk merealisasikannya, pada 1905 pemerintah Kerajaan Belanda mengeluarkan Decentralisatie Besluit dan gubernur jenderal mengeluarkan Locale Radenordonnantie. Berdasarkan kedua peraturan ini, daerah yang diberi keuangan sendiri disebut locale ressort, dan dewannya disebut locale raad. Locale raad dibedakan menjadi gewestelijke raad (dewan keresidenan) dan plaatselijke raad (dewan yang dibentuk untuk bagian dari gewest/keresidenan). Dewan untuk bagian dari gewest yang berbentuk kota dinamakan Gemeenteraad.
Mulailah dibentuk berbagai daerah dengan keuangan dan aparatur pemerintahan daerah sendiri. Hak otonomi diberikan kepada keresidenan dan beberapa kota besar yang memiliki cukup banyak penduduk Eropa dan berdekatan dengan daerah perkebunan. Hingga akhir 1908 telah terbentuk 15 gemeente (kotapraja), yaitu Batavia, Messter Cornelis (Jatinegara), Buitenzorg (Bogor), Bandung, Cirebon, Pekalongan, Tegal, Semarang, Surabaya, Magelang, Kediri, Blitar, Padang, Palembang, dan Makassar dan enam gewest (keresidenan), yaitu Banten, Rembang, Madura, Besuki, Banyumas, dan Madiun.
Undang-Undang Desentralisasi 1903 memang masih sempit. Alih-alih membentuk pemerintahan daerah yang otonomi, ia hanya membentuk dewan-dewan daerah yang bertanggungjawab atas pengelolaan dan penggunaan anggaran dari pemerintah pusat. Keanggotaan dewan-dewan itu pun timpang. Hingga 1918, jumlah orang Eropa yang menduduki kursi anggota dewan di kotapraja dan keresidenan di Jawa amat dominan. Dari 388 anggota, 283 anggota di antaranya orang Eropa.
Menurut Soetandyo, dari 338 anggota dewan itu, 223 anggota adalah orang-orang pemerintahan (143 orang Eropa dan 80 pribumi). Penyebabnya, tak mudah mengundang orang non pemerintahan, apalagi yang layak dan punya kecakapan. “Banyak tugas yang didesentralisasikan berupa pelaksanaan pekerjaan yang sifatnya tak cuma finansial akan tetapi juga teknis,” tulis Soetandyo.
Rendahnya keterwakilan bumiputera terhalang peraturan dan persyaratan yang ketat. Bagi bumiputera, hak pilih hanya diberikan kepada orang yang berpenghasilan minimum f.600, dapat berbahasa Belanda, dan memenuhi persyaratan-persyaratan lainnya. Kesempatan bumiputera untuk memiliki wakil di dewan jadi kecil. Kritikan pun datang.
Dalam Sinar Hindia, 24 Juli 1918, Marco Kartodikromo, seorang jurnalis ternama, mengkritik ketimpangan anggota bumiputera di gemeenteraad (dewan kota) Semarang dalam bentuk syair:
Tiada seorang wakil rakjat
Bisa menjadi lid gemeenteraad
Bila raad-raad itoe main soelap
Soepaja kita selaloe gelap
Kita sekarang tak poenja wakil
Di dalam raad jang banjak begedjil
Setan ini selalu mengoesil
Memerasi kita orang ketjil.
Syarif Hidayat, peneliti desentralisasi dan otonomi daerah pada Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengatakan, desentralisasi yang diatasnamakan untuk kepentingan bumiputra itu hanya menguntungkan orang-orang Eropa. “Mereka memanfaatkan desentralisasi agar pemerintah membuka akses infrastruktur, terutama jalan, rel kereta, listrik, dan air, sehingga menguntungkan usaha perkebunan mereka,” ujarnya.
Artikel ini bersumber dari majalah Historia dan dapat dibaca pada link https://historia.id/politik/articles/menelaah-sejarah-otonomi-daerah-Dwg2Z