Jargon komoditas unggulan, tak ubahnya sebuah tools, modal membangun daerah dengan potensi unggulan lokal, peluangnya semakin terbuka dengan kebebasan berinovasi bagi pemerintah daerah pada era otonomi daerah. Isu komoditas unggulan mengemuka dalam diskusi rantai nilai komoditas yang dilaksanakan secara online, sebagai strategi menjalankan fungsi pertukaran pengetahuan lintas geografis dan lintas institusi di masa pandemi COVID-19. Diskusi ini laksanakan BaKTI dan Knowledge Sector Initiative (KSI) bekerjasama Bappelitbangda Provinsi Sulawesi Selatan pada awal Juni 2020.
Diskusi rantai nilai komoditas menghadirkan narasumber dari praktisi berpengalaman dalam melaksanakan kajian rantai nilai komoditas yaitu Bapak Endy Jaweng, seorang peneliti otonomi daerah dan Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Dalam panel narasumber juga hadir akademisi yang berpengalaman dalam kajian rantai nilai komoditas unggulan lokal Sulawesi Selatan, Bapak Dr. Syarif M. Parenreng, seorang dosen pada Departemen Teknik Industri, Universitas Hasanuddin dan peneliti pada CEISS (Center of Excellence for Interdisciplinary and Sustainability Science) Sekolah Pasca Sarjana UNHAS.
Endy Jaweng menyampaikan pengalamannya memfasilitasi proses penentuan komoditas unggulan lokal, di beberapa daerah di Indonesia. Menurut pengalamannya, ada dua dimensi yang secara paralel mempengaruhi dalam proses penentuan komoditas unggulan, adalah dimensi teknoratik dan dimensi politik.
Menurutnya, dimensi teknokratik, berangkat dari suatu kerangka pikir dengan pertimbangan multi-bidang, strategis dengan proyeksi jangka menengah-panjang, relatif lebih terukur metodologi penetapannya berdasarkan data dan fakta. Singkat kata, dimensi teknokratik relatif terkendali, ditetapkan secara obyektif, bisa dipertanggungjawabkan. Tantangannya, adalah dimensi politik, sulit dihindari penentuan komoditas unggulan seringkali diperhadapkan dengan situasi, dengan perbedaan cara pandang para pengambil kebijakan di daerah, ada motif ekonomi, motif politik yang seringkali berbeda antara pemimpin suatu daerah, belum lagi perbedaan cara pandang antara OPD. Namun OPD, masih bisa diatasi dengan konsensus, yang bisa diperoleh dari arahan kepala daerah, untuk mendukung visi-misinya.
Idealnya komoditas unggulan dibangun dari suatu konsensus antara pemerintah bersama masyarakat dan pemangku kepentingan suatu daerah, berdasarkan pertimbangan teknokratik tanpa mengabaikan dimensi politisnya, namun bukanlah faktor dominan. Hal yang tak kalah pentingnya adalah bahwa suatu komoditas diunggulkan bukan semata karena kondisi yang ada, dengan kontribusinya yang paling besar secara ekonomi terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), akan tetapi yang lebih penting adalah proyeksi terhadap prospeknya yang potensial secara jangka panjang, yang tentu saja basisnya adalah potensi lokal. Penekanan potensi lokal, bahkan diatur regulasi pusat.
Regulasi mengatur pengelolaan komoditas unggulan secara hirarki dari pusat hingga daerah. Regulasi menata sedemikian rupa, mulai kriteria dan tata cara penetapan suatu komoditas unggulan hingga mekanisme pengembangan-nya. Demikian lengkap dan terstruktur mulai dari surat edaran, peraturan menteri hingga peraturan tingkat daerah. Penataan komoditas unggulan, bahkan sudah diatur sekitar 20 tahun yang lalu, secara angka-angka, bukanlah waktu yang singkat. Sebagaimana diketahui, tahun 1999 ada Surat Edaran Nomor 050.05/ 2910/III/BANDA, tentang penentuan kriteria suatu komoditas unggulan. Tidak berhenti disitu saja, pada tahun 2014, lahir pula Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengembangan Produk Unggulan Daerah. Secara sektoral, Menteri Pertanian menerbitkan peraturan Nomor 76/Permentan/ Ot.140/12/2012 tentang syarat dan tata cara penetapan produk unggulan hortikultura.
Pedomannya begitu lengkap, dan terstruktur, yang menarik adalah, fakta bahwa ada dimensi yang berpengaruh secara dominan dalam penentuan keunggulan suatu komoditas lokal. Mari kita cermati, bagaimana kebijakan pemerintah daerah merespon secara politik dan kebijakan, terhadap suatu komoditas yang diunggulkannya. Indikatornya dapat dilihat dari dukungan kebijakan perencanaan dan penganggarannya. Menurut Endy Jaweng, ‘’Jargon unggulan suatu komoditas, yang tidak dibarengi dukungan signifikan dalam perencanaan, penganggaran maupun kebijakan lainnya, sesungguhnya hanya klaim belaka, terhadap keberadaan produk, petani yang telah ada sebelumnya’’ .
Dimensi teknokratik yang menempatkan komoditas unggulan sebagai capital, seharusnya menjadi instrumen membangun daerah, mensejahterahkan masyarakat, dengan demikian proyeksi jangka panjang, seharusnya menjadi kekuatan politik yang bersifat mengikat, dan secara regulasi, ditetapkan mekanisme pengelolaan komoditas unggulan lintas periode kepemimpinan, bukan dibatasi dengan sekat masa jabatan kepala daerah. Ini pilihan membangun eksistensi komoditas lokal menjadi unggulan daerah yang sesungguhnya, yang diprioritaskan secara konsisten oleh setiap pemimpin daerah.
Komoditas unggulan memiliki keterkaitan beragam aspek dalam pengelolaannya, dari produsen (hulu) sampai tingkat konsumen, pasar (hilir). Oleh karena itu Dr. Syarif Parenreng, berpendapat bahwa komoditas unggulan yang akan dikembangkan haruslah dengan tujuan yang jelas, termasuk tujuan pasar, domestik atau pasar global. Tanpa tujuan yang jelas sulit dipastikan daya tahannya secara jangka panjang. Termasuk komoditas yang dibudidayakan secara turun-temurun, ditinggalkan oleh petani karena dianggap tidak lagi memberikan nilai.
Ketika komoditas dianggap tidak lagi memberi nilai, petani kehilangan asa, negara harus hadir, menjalankan fungsinya. Di sektor pertanian, dengan menjalankan good agriculture, peremajaan tanaman, pengendalian hama, mengendalikan cukong yang menguasai informasi dan pasar, meningkatkan keahlian petani dan mengubah mindset-nya untuk tujuan jangka panjang, untuk kesejahteraan. Strategi lainnya adalah peningkatan nilai tambah produk.
Area Perbaikan Komoditas Unggulan
Pengalaman pendampingan komoditas unggulan lokal oleh KPPOD melihat empat hal yang perlu dibenahi. Pertama adalah regulasi dan fiskal yang perlu dipastikan sejak perencanaan, penganggaran dan kebijakan yang mendukung pengembangan komoditas unggulan secara konsisten dan menjadi program bersama OPD. Yang kedua adalah penguatan kelompok tani dan kelembagaannya, bukan saja pada aspek teknik produksi, pengelolaan komoditas dan organisasi kelompok tani, tetapi juga pada aspek rumah tangga petani yang membutuhkan dukungan kapasitas. Misalnya pengelolaan keuangan rumah tangga yang penting untuk kesejahteraan petani. Yang ketiga adalah wadah bagi para pemangku kepentingan untuk duduk bersama. Di Kabupaten Sikka, NTT dibentuk Forum Dewan Kerjasama Ekonomi Daerah (DKED) yang menjadi forum komunikasi dan koordinasi lintas sektor dan lintas OPD, yang dilembagakan dengan SK Bupati. Forum ini sebagai pusat informasi dan berbagi pengetahuan bagi semua pihak. Yang keempat adalah penguatan keahlian dan kesejahteraan Petugas Penyuluh Lapangan (PPL). Krusialnya karena isu ini berada di level nasional yang membutuhkan kepastian lembaga atau kementerian yang bertanggung jawab.
Dari 4 (empat) area perbaikan, yang utama adalah penguatan kelembagaan, DKED untuk menjaga kebijakan yang mendukung komoditas unggulan secara berkelanjutan, dan memastikan semua pihak yang datang dengan beragam programnya, duduk bersama berbagi pekerjaan dan saling bersinergi dengan memanfaatkan DKED sebagai media sinkronisasi program untuk menghindari tumpang tindih. Peran dari Bappeda/Bappelitbangda sangat menentukan keberlanjutan wadah ini.