Kekerasan terhadap anak di sekolah dan di masyarakat, oleh sebagian kalangan masih dianggap sebagai hal yang lumrah. Kekerasan dianggap sebagai cara mendisiplinkan dan mendidik anak, agar anak menjadi disiplin, patuh, dan baik. Karena itu, masih ada guru yang melakukan kekerasan fisik dan psikis terhadap anak didiknya. Di rumah, orang tua yang tidak mempunyai pengetahuan dan keterampilan dalam pengasuhan (parenting), menjadikan kekerasan sebagai cara mengatasi anak-anak yang aktif dan hiperaktif.
Pola asuh atau pengasuhan adalah pengetahuan dan keterampilan yang dapat dipelajari, diajarkan, dan dikembangkan oleh siapapun, baik pembelajaran turun-temurun, maupun melalui pendidikan formal dan nonformal. Namun di kalangan masyarakat, pola asuh anak dianggap sesuatu yang hanya dapat diperoleh melalui pembelajaran secara turun-temurun. Karena itu, sering terdengar kalimat seperti ini: “tidak ada sekolah menjadi orang tua”, “menjadi orang tua tidak butuh sekolah”, dan seterusnya.
Budaya Pengasuhan Konvensional
Di negeri ini, tidak ada sekolah khusus untuk calon orang tua atau orang tua. Tapi siapa saja dapat belajar untuk menjadi calon orang tua atau orang tua. Salah satu yang perlu dipelajari adalah pola asuh atau pengasuhan anak yang berlangsung turun-temurun. Terdapat budaya pengasuhan anak konvensional yang sangat baik, namun mulai ditinggalkan oleh masyarakat. Sementara beberapa praktik pengasuhan anak tidak baik, misalnya yang menonjolkan penghukuman fisik dan kekerasan anak masih dianut.
Pengasuhan anak yang dilakukan oleh keluarga dan komunitas merupakan budaya pengasuhan yang sangat baik. Jika anak kehilangan pengasuh utama, maka keluarga akan mengambil alih pengasuhan anak bersangkutan. Demikian juga komunitas bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan anak bersangkutan. Anak tidak dijauhkan, apalagi dipisahkan dari keluarga atau orang-orang yang mempunyai hubungan darahnya dengannya.
Model keluarga dan komunitas akan menjauhkan anak dari panti asuhan atau LKSA (Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak), atau apapun namanya. Panti asuhan bukan hanya alternatif terakhir saja, tetapi panti asuhan seharusnya menjadi lembaga kesejahteraan dan perlindungan anak yang mengadopsi pengasuhan ala keluarga dan komunitas, sehingga panti asuhan hanya menerima anak-anak di komunitas atau anak-anak di sekitar yang membutuhkan pengasuhan alternatif.
Moral pengasuhan anak konvensional menempatkan anak sebagai obyek, hak milik orang tua/pengasuh, manusia kecil, dan tidak mempunyai hak. Karena itu, kekerasan dan eksploitasi anak yang dilakukan oleh orang tua dan orang-orang terdekat menjadi sesuatu yang dianggap lumrah, dan urusan rumah tangga/keluarga.
Kekerasan dan eksploitasi anak, berkembang dan menemukan berbagai legitimasi, baik di dalam keluarga (cara mendidik dan membesarkan anak), pendidikan, budaya, ekonomi, dan hingga politik. Kekerasan dan eksploitasi anak diterima, dibudayakan, dan ditransformasi secara terus-menerus dengan berbagai media dan metode. Kekerasan terhadap anak adalah produksi dan budaya manusia, bukan sesuatu yang turun dari langit.
Moral Pengasuhan Anak Kontemporer
Pengasuhan anak kontemporer mengadopsi praktik pengasuhan anak yang baik di berbagai belahan dunia. Konvensi Hak Anak (KHA) yang disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1989 adalah, pencapaian masyarakat dunia dalam mempertemukan hal-hal baik dan membuat kesepakatan untuk menempatkan anak sebagai subjek, pemilik hak dan perlindungan, serta negara berkewajiban dan bertanggung jawab (state obligation) untuk memenuhi hak-hak anak tersebut.
KHA adalah konvensi induk HAM untuk anak yang mengandung: (1) hak-hak sipil dan politik; dan (2) hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Sedangkan cakupan hak yang terkandung di dalam KHA adalah: (1) hak atas kelangsungan hidup (survival); (2) hak untuk berkembang (development); (3) hak atas perlindungan (protection); dan (4) hak untuk berpartisipasi (participation) dalam kehidupan masyarakat. Ditinjau dari sisi yang berkewajiban melaksanakan KHA yaitu negara (state obligation) dan yang bertanggung jawab untuk memenuhi hak anak adalah orangtua dan orang dewasa pada umumnya. Ada tiga kata kunci yang dipakai di dalam KHA, yaitu: (1) penuhi (fulfill); (2) lindungi (protect); dan (3) hormati/hargai (respect). Satu lagi kata kunci yang perlu ditambahkan adalah majukan (promote).
KHA dan protokol-protokolnya, serta aturan terkait yang dikeluarkan berbagai lembaga kerjasama internasional mengadopsi moral pengasuhan anak kontemporer. Di dalam KHA, anak adalah pemegang hak, subyek, dan korban. Jika anak terlibat dalam pidana, maka anak adalah pelaku sekaligus korban dari pengasuhan, lingkungan, dan negara. Karena itu, anak harus mendapat perlindungan dan perlakuan khusus agar dapat kembali menjalani kehidupan normal.
KHA menekankan pemenuhan hak dan perlindungan anak dari berbagai praktik kekerasan dan eksploitasi. Praktik kekerasan dan eksploitasi harus dicegah sejak dari orang tua atau pengasuh. Rumah harus menjadi tempat yang kondusif tumbuh kembangnya anak-anak. Di dalam Islam, bahkan berkata kasar atau menghardik pun dilarang. Di dalam Al-Quran Surat Surat 107 (Al-Mâ’ûn): 2 ada term “yadu’u” yang diartikan sebagai “menghardik”. Sementara di dalam Surat 37 (AS-Sâffât): 102 dikisahkan bagaimana Nabi Ibrahim meminta pendapat anaknya, Ismail. Artinya pandangan anak atau hak partisipasi yang ada di dalam instrumen-instrumen saat ini pun telah diajarkan oleh para Nabi sejak dulu dan ditegaskan di dalam kitab suci.
Pengetahuan dan Keterampilan Pola Asuh
Namun, saat ini kekerasan terhadap anak semakin meningkat, karena selain kekerasan konvensional yang telah terjadi selama ini, kekerasan juga mendapatkan media dan ruang baru, internet atau media daring (dalam jaringan), yang dikenal sebagai kekerasan berbasis siber atau kekerasan berbasis digital.
Pada kekerasan konvensional, pelaku adalah orang-orang yang selalu bertemu dan berinteraksi dengan korban. Sedangkan kekerasan terhadap anak berbasis siber, pelakunya adalah siapa saja, di mana saja, dan kapan saja, baik yang dikenal maupun tidak dikenal korban. Internet dan media sosial semakin menempatkan anak menjadi rentan kekerasan, baik sebagai korban maupun pelaku.
Untuk itu, upaya pencegahan kekerasan terhadap anak harus melibatkan dan dilakukan pada semua strata sosial, kelompok, komunitas, hingga teritori. Di dalam lingkungan keluarga, anak menjadi korban kekerasan dari orang-orang dekat, termasuk orang tua dan pengasuhnya. Padahal orang tua dan pengasuh adalah lingkungan pertama di mana anak tumbuh kembang dan belajar kehidupan.
Untuk itu, Yayasan BaKTI atas dukungan UNICEF (United Nations Children's Fund) melakukan Sesi Parenting di desa/kelurahan di Kabupaten Maros, Gowa, Bulukumba, dan Kota Makassar. Sesi Parenting dimaksudkan untuk mengenalkan pola pengasuhan yang baik kepada orang tua, calon orang tua, dan pengasuh. Parenting dilakukan oleh Fasilitator Masyarakat yang berada di desa/kelurahan setempat, yang merupakan kader dan tokoh masyarakat desa/kelurahan. Fasilitator Masyarakat sebelumnya telah mengikuti Pelatihan mengenai Pengasuhan, Pertolongan Pertama Psikologis, Memahami Kerentanan, serta Identifikasi Anak dan Keluarga Rentan. Fasilitator Masyarakat ini merupakan sumber daya untuk pengembangan Sistem Perlindungan Anak Berbasis Desa/Kelurahan.
Kegiatan Parenting di desa/kelurahan adalah bagian dari Program Penguatan Lingkungan Aman dan Ramah Anak (Strengthening Safe and Friendly Environment for Children-SAFE4C), kerjasama Yayasan BaKTI, UNICEF, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA), dan Dinas Sosial (Dinsos) di di Kabupaten Maros, Gowa, Bulukumba, dan Kota Makassar.
Pelatihan Parenting kepada orang tua dan pengasuh perlu dilakukan terus-menerus untuk menjangkau orang tua, pengasuh, dan calon orang tua yang lebih luas. Program SAFE 4C ini juga mendorong Sistem Perlindungan Anak Berbasis Desa/Kelurahan, yang di dalamnya termasuk menjadikan Pelatihan Parenting sebagai salah satu program desa/kelurahan untuk pencegahan kekerasan dan eksploitasi anak. Perlu membudayakan pola asuh tanpa kekerasan yang dimulai dari desa dan kelurahan.