Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah, memiliki potensi sumber daya pesisir penting bagi kehidupan flora dan fauna. Namun, ancaman semakin besar karena adanya kerusakan ekosistem hutan mangrove. Dari 7.387 hektar luasnya, 5.652 hektar diantaranya rusak berat.
Kerusakan terjadi karena perubahan hutan mangrove menjadi tambak, permukiman, untuk kayu bakar, pembuatan perahu, bahan bangunan, dan kebutuhan lain.
Masyarakat di dua desa, Uwedikan di Kecamatan Luwuk Timur dan Lambangan di Kecamatan Pagimana, mulai sadar pentingnya mangrove bagi kehidupan mereka. Sebanyak 10.000 bibit mangrove jenis Ceriops tagal ditanam. Jumat pagi, 5 Juli 2019. Puluhan warga di Desa Uwedikan, Kecamatan Luwuk Timur, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, menuju Pulau Batang. Wilayah ini satu dari beberapa gugusan pulau yang menjadi bagian desa. Mereka membawa ribuan propagul, bibit mangrove berbentuk kecambah jenis Ceriops tagal.
Tempat ini biasanya menjadi lokasi nelayan Uwedikan mencari ikan. Namun, sejak mangrove rusak, perairannya tidak lagi produktif. Jarak Batang tak sampai 10 menit, menggunakan perahu ketinting, dari desa yang dihuni mayoritas Suku Saluan itu. “Kami juga menanam mangrove di Pulau Sasapan, sekitar pesisir desa,” kata Ali Hanafi, tokoh masyarakat Uwedikan. Meski berkutat lumpur, Ali dan warga antusias. Total yang ditanam sebanyak 5.000 buah, yang kali ini tahap kedua. Warga sadar, mangrove selama ini memberi dampak signifikan terhadap perekonomian.
“Di Kecamatan Luwuk Timur, bagian Desa Uwedikan, luas hutan mangrovenya 350 hektar. Namun karena ditebang, sekitar 209 hektar rusak,” jelas Mohamad Ikbal Karau, pendamping dari Japesda Gorontalo yang ditugaskan di Desa Uwedikan. Japesda Gorontalo adalah lembaga non-pemerintah yang mendampingi dua desa di Kabupaten Banggai, untuk pemulihan ekosistem mangrove. Berdasarkan laporan mereka, Kabupaten Banggai memiliki potensi sumber daya pesisir yang penting bagi populasi flora dan fauna.
Namun, kehidupannya terancam seperti penyu sisik, kima raksasa, teripang, dan duyung. Ancaman terhadap jenis-jenis tersebut makin besar karena kerusakan mangrove dan terumbu karang. Nur Ain Lapolo, Direktur Japesda mengungkapkan, luas mangrove di Kabupaten Banggai adalah 7.387 hektar. Sekitar 5.652 hektar rusak berat. Penanaman mangrove telah dilakukan di Desa Uwedikan dan Desa Lambangan, Kecamatan Pagimana. “Seperti halnya di Uwedikan, kami bersama warga menanam 5 ribu bibit Ceriops tagal di Desa Lambangan. Total, 10 ribu bibit,” ungkapnya.
Penting
Kecamatan Pagimana memiliki hutan mangrove seluas 762 hektar, namun 605 hektar rusak. Penyebabnya alih fungsi untuk tambak, untuk bahan bangunan rumah, serta kayu bakar. Sopyan Lele, warga Desa Lambangan mengungkapkan, dampak kerusakan mangrove sungguh dirasakan nelayan. Hasil tangkapan berkuran. Selain itu, ketika air laut pasang, memasuki lahan yang mereka garap hingga halaman rumah warga.
“Setelah melihat banyak persoalan, kami sadar betapa pentingnya menjaga hutan mangrove,” katanya. Mangrove di Desa Lambangan memiliki potensi budidaya kepiting bakau. Namun belum dimanfaatkan warganya, justru masyarakat luar. Desa ini juga tempat hidupnya spesies mangrove Soneratia ovata yang tidak terdapat di Banggai. ”Jika degradasi lingkungan dibiarkan, akibatnya akan berdampak pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Partisipasi warga merupakan langkah awal mewujudkan pelestarian mangrove berkelanjutan,” Nur Ain.
Jenis Mangrove
Nur Ain Lapolo yang alumni pascasarjana Pengelolaan Lingkungan Universitas Negeri Gorontalo menjelaskan bahwa berdasarkan hasil penelitian, di Kabuapten Banggai ditemukan 50 jenis mangrove yang terdiri dari 25 jenis mangrove sejasti dan 25 jenis mangrove asosiasi. Salah satu spesies langka dan terancam punah yang mereka temukan adalah Scyphiphora hydrophyllacea.
Survei di beberapa desa, menunjukkan sebaran tegakan Scyphiphora hydrophyllacea hanya ditemukan di Desa Tingki-Tingki, Kecamatan Batui Selatan, dan Desa Uwedikan di Pulau Balean, serta Potean, Kecamatan Luwuk Timur. Menurutnya lagi, ditemukan juga beberapa fauna seperti kepiting dari kelompok fiddler crabs, Scyilla serrata, serta jenis reptil seperti ular dan kadal. Berdasarkan hasil identifikasi spesies, metode transek kuadrat, jelajah, maupun pengamatan visual, di Kabupaten Banggai hampir seluruhnya terdapat burung di ekosistem mangrove. Meski demikian, ia belum mengetahui pasti jenis-jenis burung endemik apa saja yang terdapat di Kabupaten Banggai.
Sementara jenis-jenis mangrove sejati yang tumbuh dan berkembang adalah Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Xylocarpus, dan Lumnitzera. “Masyarakat di Kabupaten Banggai umumnya kurang interaksi dengan mangrove. Pengetahuan mereka hanya nama lokalnya saja. Secara umum, masyarakat Saluan yang mendominasi wilayah pesisir memberikan nama bakau untuk mangrove keseluruhan,” jelas Nur Ain.
Dari 50 spesies yang teridentifikasi, terdiri 32 famili yang secara umum berfungsi obat-obatan tradisional, tanaman pelindung, pakan ternak, serta indikator kebersihan air tawar. Seperti di muara sungai Desa Tohiti Sari, Kecamatan Toili dan Desa Kamiwangi, Kecamatan Toili Barat. Jenis mangrove yang paling banyak ditemukan di Desa Uwedikan dan Lambangan didominasi Bruguiera gymnorhiza, Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa, dan Ceriops tagal. Sedangkan di lokasi yang diamati secara visual, lebih bervariasi sesuai zonasinya yakni di Desa Tohiti Sari, Kecamatan Toili dan Desa Kamiwangi Kecamatan Toili Barat, yakni Soneratia, Rhizophora, Bruguiera, Avicennia dan Xylocarpus.
Sumber: https://www.mongabay.co.id/2019/07/28/mangrove-yang-kembali-bersemi-di-banggai/