“Dahulu tanah yang hampir sehektar ini berjajar ditumbuhi pohon mete tempat menggantungnya uang dan rencana besar setelah buahnya dipanen untuk mendapatkan biji mete.” Begitu kata Bapak Lita, panggilan akrab dari Lorensius Ndera di kebun sayur belakang rumahnya.
Hari masih pagi saat fasilitator Program Forum Pengembangan Penghidupan Masyarakat yang Inklusif di Perdesaan Kawasan Timur Indonesia (BangKIT) bertandang ke rumah Lorensius Ndera di Kecamatan Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya. Lorensius menjelaskan bahwa masyarakat wilayah Kecamatan Kodi khususnya di Desa Wura Homba pernah berada dimasa serba berkecukupan ekonomi.
Dua puluh tahun silam komoditi pertanian unggulan masyarakat di Desa Wura Homba adalah jambu mete. Berhektar-hektar tanaman jambu mete tumbuh di lahan milik warga. Tanaman itu menghasilkan biji jambu mete berlimpah dan berkualitas. Namun kini, lahan kebun jambu mete itu telah beralih fungsi. Usia tanaman yang tidak lagi produktif menjadi alasan kini komoditi biji jambu mete tidak lagi diminati dan jadi tumpuan ekonomi masyarakat Desa Wura Homba dan sekitarnya. Para petani pun kini harus berjerih payah mengembangkan komoditas tanaman palawija yang berdasarkan perhitungan ekonomi tidaklah sebanding penghasilannya dengan biji jambu mete.
Semasa usia subur tanaman jambu mete selesai, Lorensius bersama dengan kebanyakan petani di desa pun mengikuti tren pengembangan tanaman palawija. Mereka mengorbankan lahan kebun mete yang mereka miliki untuk dialihfungsikan menjadi lahan pertanian jagung dan padi ladang. Meskipun demikian, ia tak pernah sedikitpun hilang arah dengan perubahan jenis pekerjaan dan penghasilan. Pria bersahaja ini selalu senang mendengarkan cerita sukses dari para petani lain. Baginya ruang-ruang pertemuan menjadi sarana untuk mendapatkan ilmu dan inspirasi baru serta menambah pengetahuan untuk memacunya meningkatkan produktivitas lahan pertanian yang ia miliki.
Pria yang suka bercerita dan mendengar banyak hal terkait pertanian ini juga dikenal sebagai penyuluh swadaya pertanian, dengan berbekal pemahaman yang dia dapatkan dari penyuluh pertanian Kabupaten Sumba Barat Daya. Predikat penyuluh swadaya yang dilaksanakannya secara mandiri dan sukarela ini tidak hanya mencakup pada pelayanan kelompok tani di wilayah Desa Wura Homba. Ia juga sering membantu kegiatan penyuluhan kelompok tani di wilayah desa lain.

Lorensius Ndera. Foto: Dokumentasi Program BangKIT
Tidak jarang Lorensius berkeluh dalam ceritanya bahwa aktivitas bertani di tempatnya saat ini baru bisa bergeliat ketika musim penghujan tiba. Tanah subur yang dimiliki sebagian besar wilayah Kodi tiba-tiba berubah menjadi lahan gersang pada musim kemarau. Kurangnya suplai air baku masih menjadi salah satu masalah dan alasan bagi petani dalam mengembangkan kegiatan pertanian di lahan kering. Pada musim kemarau kebanyakan dari masyarakat desa akan beralih profesi menjadi buruh bangunan atau pedagang kaki lima yang menjajakan dagangan seadanya dari pasar ke pasar. Bahkan ada yang mencari peruntungan di luar pulau sebagai buruh tani atau bangunan.
Berbekal profesi sebagai petani yang digelutinya sedari kecil serta pengetahuan pertanian yang dimiliki dari penyuluh, Lorensius bersama perwakilan masyarakat Desa Wura Homba mengikuti kegiatan pelatihan pertanian organik terintegrasi berupa pembuatan pupuk organik, pestisida alami, dan teknik penanaman tanaman hortikultura.
Program pelatihan pertanian organik terintegrasi yang diselenggarakan pemerintah Desa Wura Homba ini merupakan bagian dari dukungan program BangKIT di Kabupaten Sumba Barat Daya. Pelatihan ini dilaksanakan sebagai upaya peningkatan penghidupan berkelanjutan masyarakat di Desa Woro Humba yang telah memasukkan kegiatan pelatihan pertanian organik terintegrasi ke dalam Rencana Kerja Pemerintah Desa Wura Homba.
Dengan keterampilan baru dari pelatihan yang didapat, Lorensius bersama kelompok tani Hotu Home yang digawanginya melakukan sosialisasi dan praktik pengembangan usaha budidaya tanaman hortikultura. Mula-mula berbekal hasil pelatihan serta dukungan bibit hortikultura dari dinas pertanian dan stimulan program BangKIT, Lorensius bersama anggota kelompoknya mulai memproduksi pupuk organik yang bersumber dari bahan-bahan alam yang mudah didapati.
Pembuatan pupuk ini kemudian dilanjutkan dengan proses pengolahan lahan yaitu pembuatan bedengan untuk media tanam sayuran hijau. Menurut Lorensius, lahan garapan bukanlah menjadi permasalahan karena selama ini lahan akan dibiarkan tidak produktif saat setelah musim panen kedua (panen tanaman palawija) selesai. Hal inilah kemudian dimanfaatkan oleh Lorensius untuk kegiatan pengembangan budidaya tanaman hortikultura.

Lahan sayur Lorensiusn. Foto: Dokumentasi Program BangKIT
“Di desa kami air masih menjadi alasan utama mengapa lahan-lahan yang tersedia tidak dimanfaatkan untuk kegiatan produktif pertanian pada musim kemarau.” Ungkap Lorensius. Kebanyakan masyarakat desa sangat bergantung pada hasil panen pertanian di musim penghujan serta hasil penjualan ternak yang dimiliki untuk pemenuhan rumah tangga serta kebutuhan ekonomi selama masa musim kemarau sampai dengan hasil panen musim tanam pertama tahun berikutnya. Namun tidak demikian dengan Lorensius. Ia tak ingin menjadikan permasalah air sebagai alasan untuk tidak produktif bertani di musim kemarau.
Memanfaatkan Penampung Air Hujan (PAH) dengan kapasitas dua puluh ribu liter yang dibangunnya untuk kebutuhan rumah tangga, kini Lorensius telah menjadikan PAH sebagai salah satu aset penunjang untuk perawatan tanaman pada lahan yang berada di belakang rumahnya. Dengan modal uang seratus dua puluh ribu rupiah, Lorensius membeli air dari jasa mobil tangki air bersih berjumlah lima ribu liter air untuk setiap kali pengisian.
Menurut Lorensius, kegiatan pertanian dapat dilakukan pada musim kemarau. Air semestinya tidak menjadi masalah karena sudah ada jasa pengantaran air bersih. Pengembangan pertanian hortikultura telah memberi Lorensius keuntungan sekaligus membantunya menambah modal untuk pengadaan air bersih bagi pengolahan lahan hortikultura, hingga pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan belanja modal lainnya untuk kegiatan pertanian hortikultura yang berkelanjutan.
Kini Lorensius telah memanen hasil dari kebunnya sendiri berupa cabe rawit, sayur bayam, pakcoy dan sawi. Saat ini Lorensius sedang mengembangkan jenis sayuran kangkung karena menurutnya jenis sayuran ini memiliki peminat yang tinggi di wilayah Kecamatan Kodi. Satu kilogram bibit tanaman kangkung seharga tujuh puluh lima ribu rupiah dapat menghasilkan keuntungan hingga enam ratus ribu rupiah untuk usia tanam dua puluh sembilan hari. Dikarenakan peminat yang cukup tinggi dari masyarakat untuk jenis sayuran hijau ini, kini jenis tanaman kangkung menjadi salah satu usaha yang terus ia tingkatkan.
Kini Laurensius bersama istri dan anak-anaknya dapat memanen hasil dari apa yang telah mereka upayakan selama ini. Bagi Lorensius, kegiatan pendampingan yang telah diberikan oleh para penyuluh pertanian dan program BangKIT dalam meningkatkan kapasitas masyarakat desa telah berdampak dan membantunya dalam proses belajar mengembangkan pertanian hortikultura mulai dari teknik pembuatan pupuk organik, teknik pengolahan lahan, teknik perawatan tanaman, sampai dengan proses perhitungan jadwal tanam tanaman hortikultura untuk menghindari gagal produksi seperti yang pernah dialami sebelumnya.
Pelatihan dan pendampingan yang diikuti Lorensius telah membantunya dalam usaha pemanfaatan lahan agar tetap produktif meskipun pada musim kemarau. Ia berharap melalui kegiatan yang telah dirintisnya ini dapat menjadi contoh bagi masyarakat sekitar untuk dapat meningkatkan pendapatan serta pemenuhan rumah tangga. Hal yang tak kalah penting, masyarakat dapat tetap produktif melakukan pengolahan lahan pertanian mereka secara berkelanjutan.
Info lebih lanjut:
Ade Simon adalah Project Facilitator Program BangKIT di Kabupaten Sumba Barat Daya.
Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai Program BangKIT, Anda dapat menghubungi info@bakti.or.id