Awal November ini, Wakil Presiden (Wapres) Republik Indonesia K.H. Ma'ruf Amin, mengadakan rapat terbatas yang dihadiri sejumlah menteri terkait yang berfokus pada pengentasan kemiskinan dan stunting.
Setelah pertemuan tersebut, Wapres mengatakan bahwa stunting harus ditangani dengan pendekatan holistik. Misalnya, pencegahan stunting tidak hanya berfokus pada wanita hamil dan bayi tetapi juga dimulai dari mereka di usia pra-nikah. Langkah cepat pemerintah ini tentu patut untuk direspon positif, mengingat stunting masih menjadi salah satu masalah demografi di Indonesia.
Riset Kesehatan Dasar Indonesia (Riskesdas) tahun 2018 memperkirakan bahwa sekitar 30 persen anak di bawah usia 5 tahun di Indonesia menderita stunting. Persentase tersebut mengalami sedikit peningkatan dibandingkan dengan survei pada 2013, yakni sekitar 37 persen.
Dengan kata lain, dalam rentang tahun 2013 hingga 2018, prevalensi stunting menurun sekitar 1,4 persen per tahun. Namun, penurunan jumlah stunting di Indonesia masih perlu ditangani dengan usaha yang lebih keras lagi karena persentasenya masih belum memenuhi standar WHO, yaitu kurang dari 20 persen. Oleh karena itu, penanganan stunting yang komprehensif, sebagaimana disebutkan oleh wakil presiden, harus segera ditindaklanjuti dengan kebijakan strategis.
Secara umum, stunting adalah suatu kondisi dimana anak-anak memiliki pertumbuhan terhambat karena kekurangan gizi. Kondisi tersebut secara kasat mata dapat terlihat dari tinggi badan mereka yang kurang maksimal.
Kurangnya nutrisi tersebut dapat dijelaskan melalui tiga kondisi, yaitu tidak memiliki cukup makanan, memakan makanan yang tidak layak atau tidak sehat, atau tidak mampu makan seperti selayaknya. Maka dari itu, stunting memiliki korelasi kuat dengan kemiskinan karena stunting diakibatkan dari kondisi kurang mampu.
Korelasi tersebut tercermin dari data dari Riskesdas (2018) tentang stunting dan data dari BPS (2019) tentang kemiskinan menurut provinsi. Tiga provinsi dengan jumlah prevalensi stunting tertinggi di Indonesia juga memiliki persentase kemiskinan yang besar, yaitu Aceh, Sulawesi Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Nusa Tenggara Timur sebagai daerah dengan prevalensi stunting tertinggi yakni 42,6 persen, tingkat kemiskinannya adalah sekitar 21 persen. Dengan kondisi yang kurang lebih sama, Sulawesi Barat dan Aceh yang mempunyai persentase stunting tertinggi kedua dan ketiga masing-masing memiliki angka kemiskinan 11 dan 15 persen. Data tersebut menunjukkan bahwa untuk memerangi stunting di Indonesia, akar permasalahnya di mana salah satunya adalah kemiskinan, perlu untuk diperhitungkan.
Ada beberapa hal strategis yang bisa dilakukan agar prevalensi stunting bisa ditekan semaksimal mungkin. Pertama, Indonesia harus kembali fokus pada konsep mikro di mana sejatinya infrastruktur tersebut sudah ada, namun perlu dimaksimalkan. Sebagai contoh, mengoptimalkan fungsi Posyandu sebagai sarana edukasi dan pemberdayaan masyarakat, terutama berkaitan dengan masalah stunting.
Sejauh ini, fungsi dari Posyandu terlihat seperti menurun dari waktu ke waktu. Lahirnya Posyandu hampir 40 tahun yang lalu membawa semangat pembangunan kesehatan dengan konsep gotong royong, saat ini mulai termakan oleh pesatnya perkembangan zaman.
Dalam beberapa kasus, Posyandu hanya dimanfaatkan untuk mereka yang berpenghasilan menengah kebawah, sedangkan bagi mereka yang hidup berkecukupan, akan memilih pelayanan kesehatan lain yang dirasa lebih bagus, misalnya Klinik atau Rumah Sakit. Padahal, jika dirunut ke belakang, peran Posyandu sangat luar biasa dalam pembangunan kesehatan.
Tentu perlu kerja keras dan komitmen pemerintah untuk kembali menempatkan Posyandu sebagai sarana kesehatan strategis masyarakat, misalnya dengan peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia, serta anggaran untuk mendukung pelayanannya. Namun, mengingat infrastrukturnya sudah ada dan tidak memerlukan payung hukum baru, peran lembaga tersebut dalam penanganan stunting patut untuk dipertimbangkan.
Optimalisasi kelembagaan mikro juga perlu ditujukan untuk Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Dahulu, peran PKK sangat penting dalam pembangunan bangsa dengan berbagai macam agenda yang melatih wanita untuk lebih mandiri dan terampil, misalnya pelatihan kesehatan, memasak dan sharing berbagai macam tips rumah tangga.
Namun saat ini, ada kecenderungan bahwa PKK hanya dijadikan ajang untuk mengikuti arisan dan agenda lainnya yang bersifat rutinitas saja. Dengan pendekatan yang sama dengan Posyandu, hal-hal positif dari PKK, antara lain tradisi getok tular (penyebaran berita dari mulut ke mulut / word of mouth) tentang penanganan stunting serta penguatan kapasitas masyarakat mikro dalam pencegahan stunting menjadi hal yang sangat penting. Apalagi jika melihat sejarah bahwa PKK dulunya pernah menjadi sarana gotong royong dan getok tular yang efektif.
Kedua, masih dalam konteks mikro, perlunya untuk merubah stigma umum bahwa ibu adalah yang paling bertanggung jawab dalam merawat anak. Dengan kata lain, kolaborasi ayah dan ibu dalam tumbuh kembang anak sangatlah dibutuhkan. Untuk itu perlu adanya rekonstruksi ulang stigma umum yang berkembang di masyarakat. Teknisnya, kembali lagi bagaimana penyuluhan posyandu dan PKK mengarah ke sana. Selain itu, peran media juga sangatlah dibutuhkan dalam merekonstruksi ulang stigma tersebut.
Ketiga, negara, dalam hal ini adalah pemerintah, harus berani untuk berbagi peran dengan seluruh stakeholders dalam penanganan stunting. Merujuk kepada penta helix approach, misalnya, penanganan stunting harus secara komprehensif melibatkan lima aktor penting, yakni pemerintah, swasta, masyarakat, akademisi dan media.
Tentunya secara teknis, perlunya pedoman atau aturan teknis yang mengatur itu. Selama ini, dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah sosial maupun kebencanaan, belum secara spesifik mengarah ke kolaborasi yang komprehensif.
Kolaborasi tersebut juga sangat penting terutama berbicara mengenai akar permasalahan dari stunting, yakni kemiskinan. Merujuk kepada sustainable livelihood approach, pengentasan kemiskinan harus melalui koordinasi dan kolaborasi dari banyak sektor sehingga masyarakat miskin mempunyai aset, opsi maupun strategi untuk berbenah memperbaiki keadaanya (Chapman, 2003).
Oleh karena itu, lima modal yang kebanyakan masyarakat miskin tidak mempunyainya harus segera dipenuhi, yakni, human, natural, financial, social, physical capitals. Tentunya pemenuhan seluruh capitals tersebut akan lebih cepat dan efektif jika melibatkan banyak aktor yang terlibat. Namun jika pemerintah terlambat dalam tindak lanjut rapat Wapres tersebut di atas, potensi bonus demografi bukan tidak mungkin malah menjadi sebuah bencana.
Artikel ini terbit pertama kali pada 28 November 2019 di GEOTIMES https://geotimes.co.id/op-ed/kolaborasi-untuk-atasi-stunting/