“Demam wisata merayu orang-orang untuk berebut lahan di Malino”
Saya kembali ke Batulapisi saat kemarau hebat, saat petak sawah berwarna coklat tersengat matahari. Kebun sayur dibiarkan terkulai tanpa perhatian. Pemiliknya pasrah dengan keadaan. Kemarau panjang membuat sungai mengering dan air semakin sulit.
Pemandangan ini jauh berbeda waktu saya datang tiga tahun sebelumnya. Sawah hijau yang tersusun rapi seperti anak tangga menyegarkan mata, udara segar dan dingin yang menenangkan pikiran. Di depan mata, gunung Karampuang berdiri kokoh dan mempesona.
Sungai mengalir di kaki bukit. Pohon bambu rimbun di tepi sungai. Menyempil petak sawah yang tampak hijau melegakan mata. Petak-petak kebun yang ditanami aneka sayuran beragam rupa dan warna seperti tomat, cabai, kol menjadi sumber penghasilan warga.
Pada pagi hari hingga menjelang petang warga mengasuh tanaman sampai waktu panen tiba. Di musim tanam, agak sulit menemukan warga di rumah mereka, sebab mereka menghabiskan waktunya di kebun bersama anggota keluarga.
Lapangan berada di tengah kampung menjadi pusat keramaian di sore hari. Para pemuda bermain bola dengan kaki telanjang dengan riang gembira. Para orang tua yang pulang dari kebun duduk menjadi penonton di tepi lapangan atau dari atas rumah panggung yang bersebelahan dengan lapangan.
Batulapisi adalah nama lingkungan di Kelurahan Malino, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Pertama kalinya saya ke Batulapisi ketika mengikuti kegiatan kampus, sekitar sepuluh tahun yang lalu. Bersama puluhan mahasiswa lainnya, kami menyewa rumah warga untuk kegiatan kemahasiswaan. Saat itu jumlah vila masih bisa dihitung dengan mudah.
Pada awal tahun 2020, saya kembali datang. Pemandangannya jauh berbeda. Kampung ini sudah mulai ramai dengan vila dengan beragam rupa dan warna. Tampakkannya seperti Eropa di tengah desa. Kebun telah berubah menjadi vila yang berdiri di atas bukit, saling berdempetan dengan pemilik yang berbeda-beda.
Pada akhir pekan, lapangan yang berada di tengah kampung dipenuhi mobil wisatawan. Saking banyaknya, jalanan menjadi sesak dan macet.
Batulapisi menjadi magnet baru di daerah Malino. Banyak orang berlomba-lomba membeli tanah dan membangunnya. Ketika akhir pekan tiba, mereka akan datang dengan sanak keluarga.
Tanah-tanah sudah dipetak-petak, dibeli para orang kaya dari kota. Di atasnya, warga masih menanam sayuran. Bila pemilik baru ingin menggunakannya, mereka terpaksa berhenti menanam.
Warga yang dulunya pemilih tanah berubah menjadi penjaga vila yang mengabdi pada pemilik vila. Keadaan di mana ketika dulunya mereka berdaulat atas kepemilikan tanah, berubah setelah mereka melepasnya. Relasinya berubah seketika, menjadi pekerja dan majikan.
Membuka lahan baru tak mungkin dilakukan karena sudah masuk dalam kawasan hutan. Sebagai warga dengan status sosial ekonomi biasa saja, membuka lahan baru dapat berujung pada pidana. Agak berbeda, dengan para juragan tanah, yang berani membuka lahan dengan privilege yang dimilikinya.
Di dataran tinggi Malino, pembukaan lahan masih terus terjadi, terutama daerah-daerah yang sebenarnya masuk dalam Kawasan hutan. Pelakunya biasanya mereka yang punya modal ekonomi yang kuat. Wujud nyatanya seperti para tuan tanah lokal.
Di Batulapisi, kenyataan penguasaan dan pengelolaan lahan sempit sudah menjadi hal yang lazim. Kondisi ini terjadi karena masifnya penjualan tanah dan situasi ini masih terus berlangsung. Menyedihkan.
Bekerja sebagai petani membutuhkan tanah yang cukup untuk bercocok tanam. Namun bagaimana jika petani tak memiliki tanah atau bagaimana jika mereka hanya mampu menyewa atau meminjam tanah.
Selain itu, dibutuhkan modal untuk membeli bibit tanaman, biaya pemeliharaan dan obat tanaman seperti pestisida untuk mengusir hama. Petani sudah terlanjur terjebak dalam industri racun tanaman yang diproduksi oleh korporasi untuk membantu agar tanaman mereka bisa dipanen. Keberhasilan tanaman sangat ditentukan penggunaan racun tanaman seperti pestisida, fungisida dan insektisida. Kondisi ini diperburuk dengan krisis iklim yang membuat cuaca tak bisa diprediksi.
Dari yang awalnya memiliki lahan yang cukup, namun seiring berjalannya waktu, para petani ini mulai kehilangan tanahnya. Proses kehilangan tanah ini berlangsung tak melalui kekerasan atau paksaan (force) sebagaimana di banyak tempat di Indonesia, banyak petani yang kehilangan tanahnya karena dirampas oleh proyek infrastruktur pemerintah atau diambil oleh korporasi melalui skema Hak Guna Usaha atau konsesi pertambangan.
Di Batulapisi, penjualan tanah begitu deras terjadi, berlangsung secara horizontal sesama warga, baik petani dengan petani, maupun petani dengan orang kota yang ingin membangun vila di Batulapisi. Akhirnya, mereka tiba pada situasi menjadi petani tanpa tanah atau petani dengan kepemilikan dan penguasaan tanah yang sempit.
Saya pernah bertamu pada seorang keluarga yang hanya menggantungkan hidup keluarganya dari lahan yang sangat sempit. Keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu beserta lima orang anak. Dua anak perempuannya menikah muda dan masih menumpang tinggal pada orang tua dan tentu bersama suaminya. Keluarga ini tak punya lahan tambahan, sementara mereka punya beban tambahan untuk diberi makan.
Pasangan suami istri ini mengandalkan panggilan warga untuk bekerja di kebun atau menjadi buruh bangunan. Sang menantu ingin bertani, sementara tak punya lahan untuk bercocok tanam.
Gencarnya pembangunan di Batulapisi punya dampak lain terhadap warga seperti kepemilikan dan penguasaan tanah. Banyak warga tergiur melepas lahan mereka kepada para pendatang yang berniat membangun vila di sini.
Biasanya, warga melepas lahan mereka untuk membiayai pernikahan anak mereka. Warga seperti tak kuasa melepas lahan mereka ketika mulai ditawar dengan harga yang cukup tinggi. Ditambah situasi mendesak saat mereka harus menikahkan anak mereka.
Berada di Batulapisi, melihat petak-petak kebun berisi sayuran maupun tanah kosong nyatanya tanah milik orang luar kampung ditumpangi oleh warga untuk bercocok tanam. Hanya menunggu waktu, jika pemilik ingin membangun, mereka akan berhenti menanam karena tak punya tanah lagi untuk menanam.
“Untungnya saya punya bos tidak suka membangun, kalau dia sama dengan pemilik tanah yang lain, saya tidak tahu mau menanam di mana lagi,” ungkap Arief, seorang warga.
Arief hanya bisa menyimpan sesal. Sebagai petani, ia sudah tak punya tanah lagi. Ia menanam di pekarangan villa yang dijaganya. Dibantu istrinya, ia menanam sayuran seperti kol, tomat dan cabai. Setiap pagi dan sore hari ia berada di kebun yang jaraknya sekitar 100 meter dari rumahnya. Menjelang akhir pekan, ia akan membersihkan vila seperti mencukur rumput, memotong dahan pohon, menyapu daun yang berserakan, dan membersihkan bagian dalam villa.
Arief pernah merantau dalam waktu yang lama. Menghabiskan masa remajanya di tanah rantau dengan bekerja sebagai seorang sopir truk. Ia kembali ke Batulapisi dan memutuskan menetap setelah menikah untuk kedua kalinya di kampung halamannya.
Sebagai seorang petani, ia hanya meminjam lahan untuk bercocok tanam. Arief tak punya tanah lagi di kampungnya sendiri. Apa yang dialaminya tak jauh berbeda dengan petani lain di Batulapisi. Jika masih ada tanah yang tersisa, ia menganjurkan warga untuk tak menjualnya lagi.
Arief tak ingin warga lain seperti dirinya, menjadi seorang petani tanpa tanah. Namun, agaknya itu menjadi perkara yang sulit. Ada banyak godaan yang datang pada warga agar mereka mau melepas tanah.
Petani berambut gondrong ini bercerita kesedihan lain kehidupan petani di kampung halamannya itu. Untuk mengkonsumsi sayuran banyak keluarga petani harus membeli.
“Masa petani beli sayur,” celetuk Arief.
Makanya, ia memulai kebiasaan kecil dan sederhana yakni menanam sayuran di pekarangan rumah. Saya sempat merasakan sawi yang dipanennya di tengah malam saat kami memasak mie instan untuk mengusir lapar dan dingin.
Gempuran pembangunan vila mengundang banyak masalah. Persoalan hukum terkait tanah mulai mengemuka. Banyak warga dikagetkan dengan kedatangan orang dari luar kampung yang mengklaim tanah di Batulapisi. Di antara mereka adalah orang-orang yang punya kuasa di masa lalu.
Sengketa tanah ini terjadi setelah demam wisata merebak. Mungkin bila tak ada demam wisata, meluasnya Pembangunan vila mungkin tak ada orang yang datang mencari tanah.
Tanah yang diklaim seperti tanah yang menjadi lokasi rumah warga maupun tanah yang menjadi fasilitas umum seperti lapangan. Suatu waktu saya pernah mendampingi salah seorang warga yang dilaporkan dugaan penyerobotan oleh seorang yang mengaku pemilik tanah. Pelapor mengklaim lapangan dan rumah-rumah yang berada di pinggir lapangan juga masuk dalam klaim tersebut. Orang tersebut mengklaim memiliki sertifikat atas lapangan dan rumah yang berbaris di pinggir lapangan.
Para pemilik rumah di tepi lapangan pun merasakan demikian, mereka merasa was-was ketika ada orang datang mengaku pemilik tanah di mana rumah rumah beton mereka berpijak.
Warga tak terima. Lapangan dianggap sebagai milik bersama yang tak mungkin dimiliki seorang saja yang ternyata juga berasal dari luar Batulapisi.
Saya bertemu dengan imam kampung yang pernah menjadi kepala lingkungan Batulapisi. Ia menuturkan bahwa tidak mungkin lapangan itu diambil oleh orang lain. Lapangan adalah milik bersama, selalu digunakan warga saat acara-acara kemasyarakatan.
Secara hukum, kepemilikan masyarakat lemah ketika harus berhadapan dengan sertifikat. Tak jauh berbeda dengan masyarakat kecil di banyak daerah yang tak memiliki dokumen kepemilikan berupa sertifikat yang menjadi dasar kepemilikan. Penguasaan dan pengelolaan lahan mereka yang sudah berlangsung lama cukup menjadi bukti bahwa mereka adalah pemilik sah dari tanah tersebut.
Saya merasakan lapangan ini. Saat sore hari, anak-anak muda bermain bola di lapangan ini. Menggiring bola di Batulapisi punya sensasi yang berbeda, udara yang dingin dan segar menjadi pembedanya.
Pemerintah daerah harus memberi kebijakan perlindungan terhadap kepemilikan dan penguasaan masyarakat. Tak boleh masyarakat dibuat bertarung bebas dengan mereka yang punya kekuasaan ekonomi dan kuasa serta koneksi politik dengan masyarakat kecil. Dibutuhkan kebijakan dan bantuan yang bisa memberi kontribusi terhadap pertanian Masyarakat Batulapisi. ini penting karena kebanyakan masyarakat masih bekerja sebagai petani.
Di situasi pelik ini, saya melihat kebijakan pemerintah yang melihat Malino hanya dari aspek pengembangan wisata tanpa mempertimbangkan kenyataan bahwa sebagian besar masyarakat Malino bekerja sebagai petani.
Tengok saja pagelaran acara “Beautiful Malino” yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah setiap tahunnya. Kegiatan tahunan yang sengaja dibuat untuk mengundang wisatawan untuk datang ke Malino. Artis-artis lokal dan nasional diundang sebagai magnet untuk menarik wisatawan. Kegiatan ini diselenggarakan berhari-hari hingga sering membuat jalan menjadi macet parah.
Lalu, apakah ada kebijakan atau setidaknya kegiatan dengan dana yang besar untuk mendukung dan melindungi petani dari ancaman kehilangan tanah?
Masyarakat di Batulapisi tak boleh bertarung langsung dengan ancaman modal yang mendatangi mereka setiap hari. Perlu ada kebijakan yang melindungi mereka dan mendorong agar Masyarakat yang bekerja sebagai petani bisa tetap bertahan. Saya kira ini penting.
Sumber: bollo.id