Kesehatan Mental Punya Peranan Besar dalam Perekonomian – Kta Membutuhkan Tolak Ukur Selain PDB

 

Individu dengan tingkat stres menengah hingga tinggi kerap mengalami penurunan produktivitas. Ratana21/ShutterstockRaphael Gunawan Hasudungan, University of Sydney; Andrea Natalie Natsky, University of Sydney, dan Jo-An Occhipinti, University of Sydney

Di tengah ancaman resesi global, perekonomian Indonesia bisa dikatakan tumbuh dengan baik.

Indonesia mencatat pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) – basis ukur perekonomian negara berdasarkan nilai produksi dan penjualan barang dan jasa selama periode tertentu – sebesar 5,3% pada 2022, dibandingkan 3,7% pada tahun sebelumnya.

Ini pencapaian yang luar biasa bagi Indonesia, mengingat hampir semua anggota G20 lainnya mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi dibandingkan kinerja mereka pada 2021.

Namun, pertumbuhan ekonomi Indonesia bukanlah indikator yang ideal untuk mengukur kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.

Indonesia bertengger di peringkat 87 dari 146 negara pada Indeks Kebahagiaan Dunia 2022 keluaran Sustainable Development Solutions Network yang diluncurkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Indeks ini disusun berdasarkan survei kepuasan hidup. Peringkat Indonesia berada di bawah negara-negara ASEAN lain seperti Singapura (27), Filipina (60), Thailand (61), Malaysia (70) dan Vietnam (77).

Padahal, emosi positif seperti perasaan bahagia dan sejahtera memainkan peran penting dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk kesehatan mental dan produktivitas dalam pekerjaan.

Kesehatan mental merupakan faktor penting dalam produktivitas. Meskipun prospek ekonomi Indonesia tampak menjanjikan, kesehatan mental sebagai faktor yang penting dalam menunjang pertumbuhan ekonomi masih kerap diabaikan.

Bagaimana kesehatan mental mempengaruhi perekonomian

Orang dengan tingkat stres menengah hingga tinggi kerap mengalami penurunan produktivitas dan memerlukan lebih banyak perawatan kesehatan. Hal ini berujung pada meningkatnya beban ekonomi sosial.

Pada 2020, tahun pertama pandemi COVID-19, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menemukan adanya kenaikan prevalensi kecemasan dan depresi hingga 25% di seluruh dunia.

Angka ini cukup mengkhawatirkan. Masalah kesehatan mental dapat menyebabkan individu untuk absen dari pekerjaan atau sekolah (absenteeism), atau hadir di tempat kerja tanpa bisa berfungsi dengan baik (presenteeism) – dan berujung pada hilangnya produktivitas.

Uni Eropa, misalnya, mencatat kerugian US$430 miliar (Rp 6.424 triliun) akibat penurunan produktivas pada 2012. Sementara, Australia kehilangan hingga US$27 triliun akibat presenteeism dan absenteeism pada 2019.

Di Indonesia, Kementerian Kesehatan memperkirakan bahwa 20% populasi berisiko mengidap masalah kesehatan mental. Pada 2022, penelitian Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) melaporkan bahwa pada kelompok remaja saja (usia 10-17 tahun) – artinya bahkan sebelum mereka umumnya memasuki lapangan kerja – satu dari tiga di antaranya sudah mengalami masalah kesehatan mental. Sementara itu, 1 dari 20 remaja terdiagnosis memiliki gangguan kejiwaan pada setahun ke belakang.

Sejauh ini, belum ada perkiraan berapa banyak kerugian yang ditanggung Indonesia akibat hilangnya produktivitas. Namun, kami menduga bilangannya kemungkinan cukup tinggi.

Hilangnya produktivitas akibat masalah kesehatan mental berpotensi meniadakan perolehan produktivitas yang berasal dari populasi muda Indonesia.

Fakta bahwa hanya 9% dari penderita depresi di Indonesia memiliki akses terhadap perawatan yang dibutuhkan, berdasarkan sebuah penelitian pada 2020, sudah seharusnya menjadi keprihatinan nasional.

Kemakmuran Lebih dari Sekadar PDB

Terlepas dari potensi beban ekonomi dan sosial yang begitu besar akibat gangguan kejiwaan, WHO memperkirakan bahwa hanya 2% dari anggaran kesehatan Indonesia dialokasikan untuk mengatasi isu kesehatan mental.

Oleh karena itu, sebagai bagian dari manajemen perekonomian yang baik, penting bagi Indonesia untuk mempromosikan investasi dan kebijakan khusus demi menanggulangi masalah kesehatan mental.

Terkait hal ini, beberapa negara telah menunjukkan komitmennya untuk mewujudkan wellbeing economy – kerangka ekonomi yang berfokus pada bagaimana kesejahteraan masyarakat dapat menciptakan kemakmuran negara. Dalam kerangka ini, kebutuhan dasar masyarakat menjadi tujuan yang perlu diutamakan.

Membangun wellbeing economy memerlukan kebijakan yang terkoordinasi di bidang kesehatan, sosial, dan ekonomi. Hal ini juga memerlukan basis ukur baru karena sekadar PDB saja tak cukup untuk mengukur aspek-aspek tersebut.

Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) telah menyusun kerangka kesejahteraan yang melingkupi berbagai indikator. Indikator-indikator ini termasuk – namun tak terbatas pada – keterlibatan sipil, keterhubungan sosial, kualitas lingkungan, keamanan, kesejahteraan subjektif, kesehatan, dan keseimbangan hidup dan kerja (work-life balance).

Senada dengan itu, Selandia Baru, Wales, Skotlandia, Finlandia, Islandia, dan Kanada telah mengembangkan dan menambahkan anggaran dan pengeluaran mereka dengan pengukuran kesehatan, budaya, edukasi, lingkungan hidup, dan kualitas hidup.

Demi menerapkan pendekatan yang menyeluruh, Pemerintah Skotlandia, misalnya, mengadopsi 81 indikator untuk mengukur perkembangan mereka dalam mencapai wellbeing economy.

Namun, meski alat ukur ini cukup komprehensif, PDB masih menjadi indikator dominan untuk mengukur kemakmuran. Hal ini karena PDB memang menyediakan satu indikator yang menyeluruh bagi pemerintah untuk melacak kinerja mereka dalam mengelola perekonomian.

Dalam mengatasi tantangan ini, studi Mental Wealth Initiative dari University of Sydney di Australia telah menghasilkan alat ukur tunggal dengan cakupan yang luas untuk mengukur wellbeing economy. Alat ukur ini bertajuk “Mental Wealth” (kekayaan mental) karena menyadari pentingnya kesehatan mental dan kesejahteraan dalam mendorong kemakmuran ekonomi dan sosial.

Tidak seperti alat ukur lain yang tak menyertakan PDB, Mental Wealth tetap memasukkan indikator tradisional tersebut ke dalam pengukuran.

Indonesia sebaiknya mempertimbangkan untuk beralih ke wellbeing economy demi meningkatkan kesejahteraan, produktivitas, dan kemakmurannya secara sistematis agar dapat menjaga pertumbuhan ekonomi yang stabil. Mengukur dan memantau Mental Wealth dapat membantu memetakan progres dan memberi masukan terhadap kebijakan yang mendukung transisi ini.


Jika kamu atau orang yang kamu kenal memiliki keluhan terkait kesehatan mental, hubungi hotline Halo Kemenkes di 1500-567.The Conversation

Raphael Gunawan Hasudungan, Economist, University of Sydney; Andrea Natalie Natsky, Postdoctoral Research Fellow , University of Sydney, dan Jo-An Occhipinti, Assoc. Professor and Head of Systems Modelling, Simulation & Data Science, Brain and Mind Centre, University of Sydney

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.