Kerugian dan Kerusakan: Siapa yang Bertanggung Jawab Atas Derita Krisis Iklim Negara Miskin
Penulis : Bethany Tietjen
  • Banyak dari jutaan orang yang terkena dampak banjir 2022 di Pakistan sudah hidup dalam kemiskinan. <br> Foto: Gideon Mendel For Action Aid/ In Pictures/Corbis via Getty Images
    Banyak dari jutaan orang yang terkena dampak banjir 2022 di Pakistan sudah hidup dalam kemiskinan.
    Foto: Gideon Mendel For Action Aid/ In Pictures/Corbis via Getty Images

Anda mungkin mendengar istilah loss and damage (kerugian dan kerusakan) dalam beberapa pekan ke depan saat para pemimpin dunia berkumpul dalam Konferensi Iklim Perserikatan Bangsa Bangsa (COP27) di Sharm el Sheikh, Mesir.

Istilah di atas terkait dengan ongkos ekonomi maupun fisik yang ditanggung negara berkembang dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Banyak negara yang sangat rentan tapi justru berkontribusi sangat kecil terhadap perubahan iklim. Mereka juga yang menderita akibat gelombang panas ekstrem, banjir, ataupun bencana terkait iklim lainnya.

Nah, negara-negara ini menuntut negara kaya untuk menanggung ganti kerugian tersebut. Sebab, secara historis, negara-negara maju merupakan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar.

Contohnya di Pakistan, tempat curah hujan ekstrem di tengah mencairnya gletser karena gelombang panas mengakibatkan banjir besar merendam sepertiga negara itu pada beberapa bulan lalu.

Banjir tersebut mengakibatkan lahan-lahan pertanian Pakistan menjadi danau, sehingga warga setempat kehilangan sumber penghasilan selama berpekan-pekan. Lebih dari 1.700 orang meninggal karena banjir. Jutaan warga yang kehilangan rumah dan kehidupan. Banjir juga merusak 1,6 juta hektare lahan pertanian, termasuk juga peternakan. Ini belum terhitung dampak kesehatannya seperti lonjakan kasus malaria di tengah-tengah permukiman warga.

Derita berlipat tersebut amat berkebalikan dengan kontribusi emisi gas rumah kaca Pakistan yang hanya satu persen di tingkat global.

Inilah yang terjadi. Karena tidak bisa dikurung oleh batas negara, emisi yang terlepas dari manapun akan membebani iklim global. Iklim yang menghangat akan membuat hujan lebih intensif, dan studi menyatakan perubahan iklim meningkatkan intensitas hujan di Pakistan hingga 50%.

Image removed.

Banyak dari jutaan orang yang terkena dampak banjir 2022 di Pakistan sudah hidup dalam kemiskinan. Gideon Mendel For Action Aid/ In Pictures/Corbis via Getty Images

Pembayaran kompensasi kerugian dan kerusakan merupakan isu yang terus-menerus dibahas dalam konferensi iklim PBB sejak 1995. Meski demikian, belum ada kemajuan berarti untuk isu ini, termasuk soal mekanisme finansial pembayaran kompensasi yang disepakati negara-negara.

Karena itulah, banyak negara berkembang yang menaruh harapan dalam COP27 sebagai momen krusial untuk menyepakati mekanisme formal pembayaran kompensasi atas kerugian dan kerusakan..

Konferensi iklim Afrika

Karena Mesir menjadi tuan rumah COP27, tidak mengejutkan bahwa isu kerugian dan kerusakan akan menjadi sorotan utama.

Data berbicara bahwa negara-negara Afrika melepaskan emisi yang terendah dibandingkan kawasan lainnya di dunia. Benua tersebut juga menjadi tempat negara-negara yang paling rentan terimbas perubahan iklim.

 

Dalam mengatasi perubahan iklim, kebanyakan negara Afrika yang tergolong negara miskin harus mengucurkan duit untuk menempuh langkah adaptasi, seperti membangun tanggul laut besar, pertanian ramah iklim, ataupun infrastruktur lainnya yang tahan gelombang panas dan badai ekstrem.

Laporan Badan PBB untuk Program Lingkungan (UNEP) tentang Ketimpangan Adaptasi Iklim yang dirilis 3 November lalu, menyatakan negara-negara berkembang membutuhkan bantuan dana lima hingga sepuluh kali lipat lebih banyak dari jumlah bantuan yang sudah dikucurkan negara maju.

Ketika bencana iklim menyerang, negara-negara ini juga membutuhkan dana pertolongan untuk membantu penyediaan kebutuhan dasar darurat, aktivitas pemulihan, perbaikan dan revitalisasi infrastruktur.

Inilah yang dimaksud dengan kerugian dan kerusakan.

Mesir menekankan perlunya negara-negara kaya untuk lebih bergerak guna menggelontorkan sokongan finansial untuk membantu langkah adaptasi iklim, sekaligus menanggung kerugian dan kerusakan.

 

Ketidakadilan iklim, kerugian, dan kerusakan

Kerugian dan kerusakan pada dasarnya adalah perbincangan tentang kesetaraan. Lalu muncullah pertanyaan: kenapa negara-negara yang berkontribusi sangat kecil terhadap pemanasan global harus bertanggung jawab dengan kerusakan akibat emisi yang dihasilkan negara-negara maju?

Para negosiator menyadari bahwa gagasan kompensasi kerugian dan kerusakan dapat menggiring ke perbincangan lebih jauh seputar kompensasi finansial terhadap ketidakadilan pada masa lampau. Misalnya tentang perbudakan di Amerika Serikat, ataupun penjajahan dan eksploitasi oleh Eropa.

Dalam COP26 di Glasgow, Skotlandia, pada 2021, para negosiator membuat kemajuan dalam beberapa isu. Misalnya target emisi yang lebih baik, dan komitmen pendanaan adaptasi untuk negara-negara berkembang.

Di sisi lain, COP26 dianggap sebagai kegagalan para advokat yang mencoba menyusun mekanisme finansial agar negara kaya dapat menyediakan dana kerugian dan kerusakan bagi negara berkembang.

 

Seperti apa pembayaran kompensasi kerugian dan kerusakan?

Mengingat kurangnya resolusi dalam COP26, ditambah dengan komitmen Mesir sebagai tuan rumah, isu pendanaan adaptasi serta kerugian dan kerusakan menjadi pembahasan utama dalam COP27.

Organisasi nirlaba Center for Climate and Energy Solutions mengharapkan diskusi dapat berfokus pada pengaturan kelembagaan dari jaringan negara-negara rentan perubahan iklim, Santiago Network for Loss and Damage, yang memberikan pendampingan teknis untuk membantu negara-negara berkembang meredam kerugian dan kerusakan.

Diskusi juga diharapkan bisa menyempurnakan Dialog Glasgow, sebuah proses formal yang dirintis sejak 2021. Dialog ini bertujuan mempertemukan negara-negara agar mendiskusikan isu pendanaan kerugian dan kerusakan.

Kelompok menteri keuangan dari negara-negara V20 yang mewakili 58 negara rentan terhadap dampak perubahan iklim, dan G7 kelompok negara-negara kaya, pada Oktober 2022 sebenarnya menyepakati mekanisme finansial bernama Global Shield Against Climate Risks. Global Shield fokus menyediakan asuransi risiko dan pendampingan finansial pascabencana secara cepat bagi sejumlah negara.

Namun, belum ada kejelasan bagaimana kesepakatan tersebut dapat sejalan dengan diskusi yang sedang berkembang di tingkat global. Sejumlah kelompok juga mewanti-wanti bahwa ketergantungan terhadap sistem asuransi dapat membuat kita terlewat dari persoalan kelompok termiskin sekaligus mengalihkan dunia dari perkara yang lebih besar, yakni penyediaan dana khusus untuk kerugian dan kerusakan.

Ada dua aspek yang membuat negara maju enggan menyepakati mekanisme kerugian dan kerusakan. Pertama terkait dengan cara penentuan negara ataupun komunitas mana yang memenuhi syarat untuk pembayaran kompensasi. Sedangkan aspek kedua menyangkut batasan-batasan dalam mekanisme tersebut.

Lantas, bagaimana kriteria suatu negara agar layak mendapatkan pembayaran kerugian dan kerusakan? Kriteria berdasarkan emisi negara atau masyarakat saat ini, ataupun kriteria produk domestik bruto, bisa menjadi proses yang bermasalah dan rumit.

Sebagian besar ahli merekomendasikan penentuan kelayakan berdasarkan kerentanan iklim, tapi hal ini juga tidak mudah.

Bagaimana tanggapan para pemimpin dunia?

Lebih dari satu dekade yang lalu, negara-negara maju berkomitmen untuk menyediakan US$100 miliar (sekitar Rp 1.565 triliun) per tahun untuk mendanai adaptasi dan mitigasi iklim di negara-negara berkembang. Namun, realisasi komitmen ini sangat lambat. Itu pun tidak mencakup kerusakan dari dampak iklim yang sudah terjadi di dunia saat ini .

Kesepakatan mekanisme kerugian dan kerusakan dianggap sebagai salah satu solusi untuk menyelesaikan persoalan ketidakadilan iklim global. Semua mata akan tertuju pada Mesir hingga 18 November 2022, untuk melihat bagaimana para pemimpin dunia merespons hal ini.

Artikel ini diperbarui pada 3 November 2022, dengan temuan Laporan Kesenjangan Adaptasi UNEP.Image removed.

Bethany Tietjen, Research fellow in climate policy, The Fletcher School, Tufts University

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.