Fungsi organisasi yang efektif dan efisien masih menjadi sebuah topik diskusi yang seru hingga saat ini, khususnya dalam hal bagaimana sebuah organisasi dapat secara efektif mencapai tujuannya dan efisien mengelola sumber dayanya. Topik ini cukup umum berlaku bagi berbagai organisasi, baik organisasi publik, dunia usaha, politik, sosial kemasyarakatan, berskala besar ataupun kecil.
Selain fungsi organisasi, kinerja manusia, baik yang mengelola maupun yang berperan teknikal dalam mencapai tujuan organisasi juga sering menjadi sorotan. Mengapa? Karena dalam dunia yang konstan berubah dan sulit diprediksi, ternyata organisasi maupun manusianya sangat lamban atau bahkan tidak banyak berubah untuk mampu beradaptasi pada perubahan zaman. Di sini faktor kepemimpinan sepatutnya mampu mengambil peran yang dominan.
Margaret J. Wheatley (MJW), 1999, menulis dalam edisi revisi bukunya yang berjudul ‘Leadership and the New Science’ bahwa lebih lucu lagi karena kinerja organisasi yang baik dianggap sering bersumber dari hal-hal yang tidak tercakup dalam rencana ataupun diluar perkiraan. Dalam bab pengantarnya MJW menegaskan para pengelola organisasi patut menyadari bahwa organisasi yang membasiskan diri pada cara pandang Sains Modern sudah ketinggalan jaman. Dalam hal inilah peran kepemimpinan menjadi sangat strategis dan mendasar. Karena itu perlu wawasan dan cara pandang terhadap perubahan. Apalagi di alam kesemestaan yang konstan berubah dan sulit diprediksi.
Memang patut disadari betapa sulitnya melakukan perubahan cara pandang yang sudah berabad-abad melekat dalam pemikiran, sebagaimana tuntunan sains modern ini. Suka atau tidak, organisasi dan pemimpin melalui kepemimpinannya adalah sejatinya juga merupakan organisme yang cenderung tidak akan pernah mempunyai bentuk akhir, melainkan secara kontinu selalu perlu berproses mengikuti perubahan alam semesta. Perubahan ini tidak terjadi sekadar untuk menghasilkan kondisi yang berbeda, melainkan harus sesuai dengan kompetensi dan kapasitas adaptasinya dalam perkembangan alam semesta tersebut.
Karena itu, kita bisa mencermati seorang pemimpin ataupun tokoh yang tidak jarang tampak gagap dalam mencerminkan kepemimpinannya. Seorang pemimpin yang terpilih atau dipilih untuk memimpin suatu organisasi, besar ataupun kecil, sering melupakan bahwa kepemimpinannya sepatutnya lebur dalam organisasi yang dipimpinnya tersebut.
Implikasinya adalah sebagai pemimpin yang memiliki jiwa kepemimpinan, referensi kepemimpinan pribadinya sebenarnya tidak bisa dianggap utuh lagi seperti sediakala. Kepemimpinan pribadi yang dimilikinya sudah berinteraksi dengan struktur dan manusia yang terdapat dalam organisasi tersebut. Betapapun hebat jejak dan kinerja kepemimpinan yang pernah dicapainya, struktur dan manusia dalam organisasi itulah yang akan menjadi batasan indikator baru yang akan menguji keberhasilan kepemimpinannya.
Sains baru sangat lekat dengan wawasan dan cara pandang kompleksitas. Dimana dalam kaitan sebuah organisasi, kompleksitas yang dihadapi memiliki dua sisi dari sekeping mata uang logam. Pada sisi internal, adalah kompleksitas struktur dan manusia, sedangkan pada sisi eksternal, adalah faktor lingkungan dimana organisasi itu terkait. Kondisi lingkungan dimana organisasi itu terkait juga memiliki dinamika sendiri. Hal inilah yang membuat kepemimpinan benar-benar berhadapan dengan kompleksitas yang nyata dalam kesehariannya.
Dalam banyak realitas, seorang pemimpin yang tetap mampu berkinerja baik dalam berbagai organisasi yang dipimpinnya, itu karena kemampuan adaptasi kepemimpinannya pada struktur dan manusia yang ada pada semua dan masing-masing organisasi yang dipimpinnya tersebut. Organisasi yang sejenis sekalipun mungkin saja memiliki variasi struktur dan manusia yang berbeda. Dengan demikian seorang pemimpin amat disarankan untuk bisa mencermati terlebih dahulu kondisi struktur dan manusia pada organisasi yang akan dipimpinnya, sebagai langkah awal untuk mengimplementasikan kepemimpinannya. Proses adaptasi pemimpin berhadapan dengan struktur dan manusia yang dipimpinnya, sepatutnya bisa segera mengambil bentuk di tahap awal. Dimana semakin singkat waktu yang digunakan, tentunya akan semakin baik.
Dalam perspektif sains baru, simplifikasi sangat tidak disarankan. Berbeda dengan sains modern yang basis berpikirnya adalah reduksionisme, bahwa dengan memahami sebahagian sudah memungkinkan untuk menyimpulkan keseluruhannya. Tidaklah demikian adanya dalam perspektif sains baru, bahkan mengabaikan error-term akan mengakibatkan terjadinya misleading pada realitas kompleksitas. Itu berarti pemahaman yang bersifat menyeluruh terhadap struktur dan manusia dalam organisasi menjadi sangat penting dan mendasar. Seperti itulah tugas awal seorang pemimpin organisasi yang patut diemban.
Bahkan lebih jauh, Warren Bennis (1992) dalam bukunya ‘On Becoming a Leader’ menegaskan bahwa sebenarnya pemimpin sudah tidak banyak dibutuhkan. Kebutuhan peran pemimpin dalam organisasi yang sebenarnya adalah kehadirannya sebagai Coach (pelatih). Dengan peran seperti ini akan memungkinkan setiap manusia dalam organisasi merasa ikut berperan dalam pencapaian tujuan ataupun keberhasilan organisasi. Ketiadaan peran seperti yang dimaksud W.Bennis ini, membuat akan ada saja manusia yang tidak concern pada kepentingan organisasi.
Karena itu pemimpin perlu lebih awal meyakini dan memberi keyakinan bahwa keberhasilan organisasi adalah jauh lebih penting dibandingkan dengan keberhasilan dirinya sebagai pemimpin ataupun manusia-manusia yang dipimpinnya. Hal ini tentu lebih mudah diucapkan, tetapi tidak selalu mudah dilakukan. Namun patut diingat, pikiran yang simplisistik dalam mengemban gaya kepemimpinan akan lebih menyulitkan untuk mencapai keberhasilan. Termasuk dalam upaya untuk membangun dan membentuk karakter organisasi. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa pemimpin, perannya untuk membentuk karakter organisasi serta membangun kesadaran manusia yang dipimpinnya merupakan hal yang amat penting untuk mampu beradaptasi dalam perubahan yang terjadi.
Dengan hal-hal di atas pula, pada sisi yang lain untuk beradaptasi dengan lingkungan eksternal organisasi, yang bukan hanya bersifat dinamis, tapi jauh lebih kompleks lagi. Rubrik mingguan Karier Experd Harian Kompas Sabtu, 19/03/2022, mengulas peran manusia untuk membawa organisasinya mencapai kesuksesan. Diungkapkan pandangan Nelson Phillips dan George Yip mengenai pentingnya Organizational Intelligence, kecerdasan organisasional, yaitu kemampuan untuk mengerahkan organisasi bergerak sesuai dengan arah pengembangan yang diinginkan. Kecerdasan organisasional sungguh-sungguh merupakan tantangan dan sekaligus kebutuhan bagi kepemimpinan dan pemimpin organisasi.
Dijelaskan lebih jauh bahwa ada beberapa kompetensi yang tercakup dalam kecerdasan organisasional, antara lain, pertama, kehadiran pemimpin yang cerdas mengemas pesan yang mampu memotivasi manusia dalam organisasi. Kedua, kemampuan membangun karakter organisasi berbasis nilai untuk menampilkan who we are. Ketiga, mampu mengeksekusi rencana ditengah besarnya tantangan, yang pada intinya making things happen. Keempat, pemimpin yang berani mengatakan tidak terhadap hal-hal yang akan menghambat perkembangan. Nampak jelas bahwa, dalam kaitan kecerdasan organisasional ini, kehadiran strong leadership untuk mencapai tujuan dan kesuksesan organisasi menjadi hal yang niscaya.
Semua yang telah diuraikan diatas memperjelas bahwa kepemimpinan dan pemimpin mungkin saja bisa hadir dari bakat seseorang, berkembang secara berjenjang, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah pembelajaran dalam organisasi akan memperkayanya. Organisasi sepatutnya menjadi wadah pelatihan untuk pengembangan kapasitas dan kompetensi pemimpin dan kepemimpinannya. Untuk menghindarkan seseorang pemimpin dengan kepemimpinannya jatuh tersungkur dalam organisasi yang dipimpinnya.